MoneyTalk, Jakarta – Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST (Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure), baru-baru ini mengeluarkan surat terbuka yang ditujukan kepada Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam surat tersebut, Daryoko menyoroti sejumlah persoalan serius terkait pengelolaan PLN, termasuk tuduhan bahwa perusahaan listrik milik negara ini telah diselewengkan dari visi dan misinya yang asli.
Daryoko menuduh sejumlah oknum pejabat, termasuk Wakil Presiden dan Direktur Utama PLN, hanya menggunakan PLN sebagai alat komersial demi memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Artikel ini akan membahas secara rinci poin-poin yang disampaikan oleh Ahmad Daryoko, termasuk sejarah pendirian PLN, manipulasi misi PLN, serta implikasi hukum yang terkait dengan UU Ketenagalistrikan.
PLN didirikan pada 27 Oktober 1945, tidak lama setelah Indonesia merdeka, sebagai bagian dari upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan listrik Belanda seperti Ogem, Aniem, dan Ebalom. Menurut Daryoko, ideologi pendirian PLN berlandaskan prinsip etatisme yang termaktub dalam Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dengan kata lain, PLN didirikan untuk memastikan bahwa kebutuhan listrik rakyat Indonesia dikelola sepenuhnya oleh negara demi kemakmuran bersama.
Pada awal berdirinya, PLN beroperasi sebagai Perjan (Perusahaan Jawatan), sebuah entitas yang sepenuhnya dimiliki oleh negara dengan misi melayani kepentingan publik. Pada tahun 1972, melalui PP No 18/1972, status PLN berubah menjadi PERUM (Perusahaan Umum), namun tetap dengan misi sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) yang menguasai seluruh rantai produksi listrik dari pembangkitan hingga distribusi.
Transformasi besar dalam struktur PLN terjadi pada tahun 1994 ketika statusnya berubah dari PERUM menjadi PT PLN (Persero) melalui PP No 23/1994. Perubahan ini membuka jalan bagi kepemilikan saham PLN oleh swasta, baik asing maupun domestik. Daryoko menyoroti bahwa sejak saat itu, sejumlah perusahaan multinasional seperti General Electric (GE), Siemens, hingga konsorsium lokal yang melibatkan taipan seperti Tommy Winata, telah mengambil alih sejumlah pembangkit listrik besar di Indonesia, termasuk PLTU Paiton dan PLTU Suralaya.
Menurut Daryoko, perubahan status ini adalah awal dari apa yang disebut sebagai “manipulasi” misi PLN. PLN yang semula berfungsi sebagai perusahaan vertikal terintegrasi milik negara yang beroperasi demi kepentingan publik, perlahan-lahan berubah menjadi entitas yang lebih berorientasi pada keuntungan. Oknum pejabat negara diduga menjadikan PLN sebagai alat komersialisasi pribadi. Bahkan, beberapa mantan pejabat seperti Dahlan Iskan dan Jusuf Kalla dituding terlibat dalam konsorsium yang memiliki proyek pembangkit listrik independen (IPP).
Ahmad Daryoko mengkritik keras keberadaan UU No. 20 Tahun 2002 dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Menurutnya, kedua undang-undang ini membuka jalan bagi privatisasi sektor ketenagalistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Daryoko merujuk pada dua putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan No. 001-021-022/PUU-I/2003 (Desember 2004), yang menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena memungkinkan swasta untuk menguasai sektor ketenagalistrikan.
Putusan No. 111/PUU-XIII/2015 (Desember 2016), yang juga membatalkan beberapa ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 2009 terkait liberalisasi listrik.
Daryoko menegaskan, meskipun kedua UU tersebut telah dibatalkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah tetap “berlagak pilon” atau berpura-pura tidak tahu dan tetap menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Dia menganggap hal ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanat Pasal 33 UUD 1945.
Menurut Daryoko, perubahan status PLN dan kebijakan liberalisasi yang diterapkan pemerintah telah membuka peluang besar bagi terjadinya korupsi terselubung di sektor ketenagalistrikan. Sistem yang disebut sebagai “Unbundling Vertikal”—di mana pembangkitan, transmisi, dan distribusi listrik dipecah menjadi entitas terpisah—menjadi celah bagi para pejabat untuk berbisnis di sektor yang seharusnya menjadi monopoli alamiah. Sistem ini, yang disebut sebagai “Multi Buyer Multi Seller System” (MBMS), telah terbukti di negara lain seperti Filipina dan Kamerun menyebabkan tarif listrik melonjak hingga lima kali lipat.
Daryoko menuding sejumlah pejabat, termasuk Wakil Presiden dan Direktur Utama PLN, menggunakan posisinya untuk memperkaya diri melalui proyek-proyek listrik yang melibatkan swasta. Hal ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membebani masyarakat dengan tarif listrik yang lebih tinggi.
Dalam surat terbukanya, Daryoko mendesak Wakil Presiden RI untuk membuktikan keseriusan program “MAS WAPRES” (Program Pengaduan Masyarakat) dengan mengambil tindakan tegas terhadap para oknum pejabat yang terlibat dalam bisnis listrik. Dia menekankan bahwa jika pemerintah serius dalam memberantas korupsi, maka sektor kelistrikan harus menjadi prioritas utama.
Daryoko menuntut agar pemerintah segera menghentikan praktik komersialisasi PLN oleh oknum pejabat, mengembalikan PLN ke fungsi utamanya sebagai infrastruktur publik yang melayani kepentingan rakyat, serta menindak secara hukum mereka yang terlibat dalam skandal kelistrikan ini.
Surat terbuka dari Ahmad Daryoko ini menjadi pengingat bahwa PLN, sebagai salah satu aset strategis bangsa, harus dikembalikan kepada fungsi utamanya sesuai dengan amanat konstitusi. Transformasi PLN dari perusahaan yang dikelola untuk kepentingan publik menjadi alat komersialisasi oleh segelintir pihak harus dihentikan. Kini, bola ada di tangan pemerintah—apakah mereka akan memilih untuk melindungi kepentingan rakyat atau membiarkan kepentingan pribadi terus menggerogoti sektor kelistrikan?(c@kra)