MoneyTalk,Jakarta – Sama seperti era orba dulu, harian Kompas saat ini tetap wajib baca meski saya kurang sreg politik keredaksiannya.
Namun Kompas punya bakat sampingan yang nggak bisa disepelekan; membaca suhu politik seraya memberitahu kita saat ini lagi berdiri di sebelah mana dari salah satu 4 penjuru angin?
Lagi, Kompas mampu membaca tanda tanda keruntuhan rejim tanpa repot2 investigasi bocor alus ala Tempo. Cukup menampilkan sebuah foto saat Pemimpin IMF Camdesus berdiri sambil tangan bersedekap mengawasi Pak Harto menandatangani Letter of Intent alias Surat Pengakuan Utang.
Inti pesan foto Kompas itu bukan perkara IMF mendikte Indonesia. Tapi pesan bahwa kekuasaan Suharto usai sudah. Selebihnya cuma peristiwa2 kembangan saja.
Maka selama Kompas belum memberi isyarat yang aneh aneh dan berbelit, berarti kita masih bisa ngopi2 dan ngerokok.
Jangan salahkan Kompas dengan talenta khususnya sebagai pewarta. Memang itu sudah sifat bawaan bayi koran besutan PK Oyong dan Jakob Oetama itu.
Saya paling senang kalau bung Jakob sudah mulai mengatakan “mari kita bahas duduknya perkara.”
Pertanyaan pentingnya sekarang, apakah ilmunya bung Jakob itu masih jadi pakem harian Kompas hari ini? Sementara para wartawan2 juniornya bung Jakob dari generasi kedua seperti Sularto, Parakitri, Rikard Bagun, Bre Redana dan Rene Patirajawane, pun saat ini sudah keluar pentas dan pensiun. Mereka ini 10 tahunan lebih tua dari saya.
Yang saya rasakan saat ini, Kompas sepertinya sedang mengalami krisis kepujanggaan. Tidak ada lagi Omar Khayam, MAW Brower, Sujoko, Romo Mangun, Pater Drost, Arif Budiman, Emha Ainun Nadjib dan Kolom Fachry Ali .
Para empu ini kalau boleh meminjam istilah wartawan senior New York Times, Thomas Friedman, tergolong para exsplanatory journalists. Para wartawan sang juru penerang atau pencerah. Bukan cuma menjelaskan apa penyebab, alasan dan asal muasal suatu peristiwa terjadi.
Tapi juga apa tujuan strategis dan konsekwensinya ke depan. Nyondro kalau kata orang jawa.
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)