MoneyTalk, Jakarta – Kasus proyek jalan di Sumatera Utara yang menyeret nama Bobby Nasution bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ini adalah episode terbaru dari sebuah pola kronis dalam penanganan kasus korupsi APBD di Sumut oleh KPK, yakni penyidikan yang mandek di level teknis administratif, sementara pengadilan justru membongkar fakta-fakta kebijakan yang melibatkan aktor politik puncak!
Analisis ini menyajikan kronologi terpadu, menempatkannya berseberangan dengan kasus serupa, dan mengukuhkan kelemahan struktural KPK dengan temuan audit BPK selama satu dekade.
Kronologi terpadu dari OTT hingga kekosongan pemeriksaan
1. Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan ttik awal kebutaan, 26 Juni 2025, saat KPK melakukan OTT dan menetapkan lima tersangka dari lingkaran teknis yaitu Kepala Dinas PUPR Sumut, pejabat pembuat komitmen (PPK), dan dua direktur kontraktor. Nilai proyek yang disorot Rp 231,8 miliar. Sejak saat itu, penyidikan seolah memasuki zona nyaman dengan hanya membidik pelaksana lapangan.
2. Pernyataan publik KPK: antara komitmen dan keraguan, menyatakan “terbuka memanggil” Bobby Nasution sebagai saksi. Namun, pernyataan ini segera diikuti oleh klausul pengaman: “belum ada panggilan resmi” karena masih “pendalaman informasi”. Ini adalah sinyal awal keengganan untuk melompat ke level politik.
3. Persidangan membuka kotak pandora, sehingga KPK ditinggalkan fakta! Di ruang pengadilan, terungkap fakta yang mengoyak kredibilitas berkas penyidikan KPK. Hakim secara tegas menyatakan bahwa kebijakan Gubernur dalam bentuk Pergub dan pengalihan anggaran adalah pemicu dan motif korupsi. Hakim kemudian memerintahkan Bobby Nasution dipanggil sebagai saksi, itu sebuah langkah yang tidak berani diambil oleh penyidik.
4. Posisi Bobby dan kekosongan bukti KPK terlihat saat Bobby Nasution malah menyatakan kesiapan hadir, namun hanya menunggu “undangan resmi” yang tak kunjung datang. KPK tidak memasukkan namanya dalam daftar saksi, itu sebuah kekosongan yang kontras dengan urgensi yang disampaikan hakim. Pengamat menyoroti bahwa “orang dekat Bobby” adalah kunci yang tidak dijamah oleh penyidikan!
Dua wajah KPK: kasus Bobby versus kasus lain di Sumut
Di sinilah analisis menjadi tajam. Marilah kita membandingkan dua “wajah” KPK dalam menangani kasus yang secara prinsip sama yakni korupsi APBD yang melibatkan pejabat tinggi. Untuk memahami ironi ini, mari bandingkan dua wajah KPK dalam kasus serupa di Sumatera Utara, yang satu takluk pada politik, satu lagi nyaris berani menghadapi kebenaran.
Wajah pertama, KPK yang takluk pada kasus Bobby Nasution.
– Lingkup penyidikan dikebiri karena hanya menyentuh level Kepala Dinas, PPK, dan kontraktor.
– Pendekatan hukum hanya kebenaran formil, yakni berhenti pada dalih “tidak ada bukti langsung Bobby menerima uang.”
– Keberanian politik lumpuh, mungkin kalkulasi politik menantu mantan presiden membuat KPK beku.
– Hasil akhir status quo terjaga, aktor politik aman, pelaksana teknis jadi tumbal.
Wajah kedua, KPK yang nyaris sangat berani pada kasus Labuhan Batu Utara.
– Pola kasus: sama, yaitu proyek infrastruktur dan bansos dengan indikasi arahan kepala daerah.
– Fakta sidang Hakim memaksa membuka notulen kebijakan yang semula dianggap tidak relevan oleh penyidik.
– Dampaknya beberapa pejabat dihukum, hakim menyebut “arahan kebijakan kepala daerah” bagian dari tindak pidana.
– Respons KPK langsung menindaklanjuti hasil persidangan dengan penyelidikan baru, sesuatu langkah yang jarang terjadi.
Inilah bentuk “kebenaran materiil” yang mestinya jadi fondasi penyidikan, yaitu hukum yang hidup, bukan hukum yang takut.
Tambahan cermin:
Kasus OTT Bupati Langkat, KPK berani menyentuh jaring suap dan eksploitasi tenaga kerja, tapi berhenti di tingkat kabupaten, walau tak berani naik ke provinsi.
Kasus Deli Serdang, KPK berani audit ulang proyek sesuai temuan BPK, tapi berhenti karena bukti uang tak langsung.
Ketiganya menunjukkan hal sama, bahwa KPK bukan tidak mampu! Sekarang KPK terlihat nyata tidak berani!
LHP BPK adalah konfirmasi ilmiah atas kelemahan struktural KPK
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam 10 tahun terakhir memberikan konfirmasi yang tak terbantahkan atas akar masalahnya. LHP-LHP BPK itu bukan hanya merinci kelemahan di pemerintah daerah, tetapi juga secara konsisten menyoroti kelemahan struktural dalam sistem penyidikan KPK, yakni:
1. Pemanfaatan audit Investigatif yang tidak optimal: BPK berulang kali menemukan bahwa hasil audit investigatifnya yang telah menghitung kerugian negara dan memberi titik awal yang jelas seringkali tidak segera dijadikan entry point penyidikan oleh KPK. Ada jeda waktu dan koordinasi yang lemah.
2. Penyidikan yang abai terhadap aspek kebijakan, dimana BPK merekomendasikan agar penyidikan tidak hanya berfokus pada kerugian finansial, tetapi juga pada penyimpangan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Rekomendasi ini sering diabaikan, menyebabkan penyidikan KPK, seperti dalam kasus Bobby, menjadi dangkal. Jadi publik sudah semakin mahfum.
3. Tumpang tindih dan inefisiensi internal: BPK mencatat adanya masalah tata kelola internal di KPK, seperti tumpang tindihnya kewenangan antar direktorat. Hal ini menghambat aliran informasi dan membuat analisis kebijakan menjadi terfragmentasi, tidak menjadi tulang punggung penyidikan.
Dengan kata lain, apa yang kita saksikan dalam kasus Bobby Nasution adalah puncak gunung es dari kelemahan sistemik KPK yang telah lama diingatkan oleh BPK.
Jalan keluar adalah dari penyidikan “pelaku” ke penyidikan “kebijakan”
Indonesian Audit Watch mendesak sebuah perubahan paradigma mendasar, yakni:
Berhenti hanya mengejar “siapa yang menerima uang”. Mulai selidiki “mengapa kebijakan ini lahir, dan untuk kepentingan siapa?” Sebuah proyek fiktif atau bermark-up tidak mungkin terjadi tanpa:
1. Kebijakan penganggaran yang dirancang untuk mengakomodirnya.
2. Perencanaan teknis yang direkayasa.
3. Proses pengadaan yang dimanipulasi.
4. Pengawasan yang dibiarkan lumpuh atau diintervensi.
Keempat titik kunci inilah yang harus menjadi sasaran penyidikan. Seorang Gubernur atau Wali Kota mungkin tidak memegang uang suap, tetapi dialah yang menandatangani kebijakan yang menjadi pintu masuk korupsi. Pertanggungjawaban politiknya harus bisa dijerat dengan pendekatan hukum yang lebih cerdas dan berani.
Kesimpulan dan rekomendasi final
Kronologi kasus Bobby Nasution ini adalah bukti nyata dari dualismenya KPK. Di satu sisi, mereka adalah lembaga yang tahu kebenaran harus ditegakkan ke mana pun. Di sisi lain, mereka adalah organisasi yang takut pada bayang-bayang kekuasaan.
1. Rekomendasi untuk KPK: beranikan diri untuk memeriksa Bobby Nasution dan aktor politik level tinggi lainnya dengan pendekatan audit investigatif berbasis kebijakan. Jadikan temuan BPK sebagai peta jalan untuk memperbaiki kelemahan struktural internal.
2. Rekomendasi untuk publik: teruskan tekanan agar KPK tidak hanya gigih di konferensi pers, tetapi juga berani di ruang penyidikan. Awasi proses persidangan, karena di sanalah seringkali kebenaran sesungguhnya membebaskan diri dari berkas penyidikan yang dikebiri.
Masyarakat tidak butuh KPK yang pandai beretorika. Kita butuh KPK yang berani menelusuri setiap jalur kebijakan hingga ke ujungnya, seberat apapun tekanan politiknya, dan siapapun aktor di belakangnya.
Tanpa keberanian itu, KPK akan tetap menjadi macan ompong yang mengaum keras ke media, tetapi giginya hanya sanggup mengunyah mangsa-mangsa kecil, membiarkan predator sejati di jantung kekuasaan terus memangsa uang rakyat.
Penulis :