Makan Bergizi Gratis: Antara Niat Baik, Risiko Praktis, dan Tuntutan Transparansi

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai langkah nyata pemerintah untuk memperbaiki gizi anak Indonesia dan mendukung dunia pendidikan. Tujuannya sederhana: agar siswa bisa belajar dengan perut kenyang, gizi cukup, dan kesehatan terjaga. Namun di balik niat baik itu, muncul banyak pertanyaan: dari mana dananya, apakah diambil dari anggaran pendidikan, bagaimana mutu makanannya, sampai kenapa muncul istilah “Makanan Beracun Gratis”.

Tulisan ini mencoba melihat MBG secara jernih bukan untuk menolak niat baiknya, tetapi untuk mengingatkan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan kebebasan pilihan keluarga dalam menjalankan program yang menyentuh kehidupan jutaan anak.

Secara konsep, Makan Bergizi Gratis dirancang untuk memastikan siswa terutama dari keluarga kurang mampu mendapat asupan gizi yang layak. Program ini ingin menjawab tiga tantangan besar: gizi buruk, stunting, dan rendahnya konsentrasi belajar akibat kurang makan. Dengan menyediakan makanan bergizi di sekolah, diharapkan anak-anak bisa tumbuh sehat dan berprestasi.

Pertanyaan paling sering muncul: dari mana dana MBG berasal? Banyak rumor beredar bahwa anggaran MBG diambil dari dana pendidikan, bahkan disebut “mengorbankan biaya belajar demi makan gratis”. Faktanya, sumber pendanaan MBG dari APBN.

Yang justru perlu didorong adalah transparansi biaya per siswa. Publik berhak tahu berapa nilai setiap porsi, berapa komponen bahan, pengolahan, distribusi, hingga biaya administrasi. Tanpa keterbukaan ini, wajar bila muncul kecurigaan bahwa dana besar itu rawan diselewengkan.

Program MBG sering dipersepsikan “wajib” bagi semua siswa. Padahal, pendekatan memaksa tidak sejalan dengan hak anak dan keluarga. Tidak semua anak bisa makan menu yang sama ada yang alergi, ada pula yang lebih nyaman membawa bekal dari rumah.

Idealnya, pemerintah menerapkan sistem “opt-out”: siswa boleh tidak ikut makan MBG selama orang tua menyatakan keberatan dengan alasan jelas. Sekolah juga seharusnya mendorong budaya bekal dari rumah yang sehat dan higienis, bukan melarangnya. Justru dengan memberi ruang seperti ini, niat baik MBG menjadi lebih menghormati peran keluarga.

Di lapangan, persoalan yang paling banyak disorot adalah mekanisme pengadaan dan kualitas makanan. Banyak laporan tentang makanan basi, tidak higienis, bahkan menimbulkan keracunan. Inilah yang membuat sebagian masyarakat sinis, menyebutnya “Makanan Beracun Gratis”.

Masalah ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan standar mutu. Proses pengadaan sering tidak transparan, pemasok tidak tersertifikasi, dan distribusi makanan tidak diawasi oleh tenaga ahli gizi maupun petugas kesehatan. Padahal, seharusnya setiap dapur MBG memenuhi standar keamanan pangan BPOM/SNI, menggunakan bahan segar dari pemasok lokal, serta diaudit rutin oleh dinas kesehatan dan dinas pendidikan.

Pertanyaan ini sangat rasional. Jika tujuannya agar anak bisa makan bergizi, kenapa tidak memberikan bantuan langsung tunai kepada orangtua agar mereka bisa menyiapkan makanan sendiri?

Jawabannya: memang ada plus minus. Bantuan uang tunai memberi fleksibilitas bagi keluarga, tapi pemerintah khawatir dana itu tidak digunakan untuk kebutuhan gizi anak. Namun pendekatan yang lebih modern sebenarnya bisa dilakukan — misalnya melalui voucher makanan bergizi atau bantuan tunai bersyarat, di mana orangtua tetap punya kendali, tapi penggunaannya tetap diarahkan untuk kebutuhan gizi anak.

Program MBG memang fokus pada siswa, tapi sesungguhnya masalah gizi tidak berhenti di sekolah. Keluarga yang tidak mampu tetap kesulitan menyediakan makan bergizi di rumah. Maka, alternatif yang lebih menyentuh akar masalah adalah jaminan sosial pangan bagi keluarga miskin, bukan hanya untuk anak sekolah.

Pemerintah bisa memadukan dua kebijakan: MBG di sekolah untuk menjamin anak tidak lapar saat belajar, dan bantuan pangan keluarga agar seluruh anggota rumah tangga mendapat gizi cukup. Kombinasi inilah yang akan benar-benar mengatasi akar kemiskinan gizi.

Rekomendasi untuk Pemerintah:

1. Transparansi total: Publikasikan sumber dana, biaya per porsi, dan daftar pemasok.

2. Jaminan mutu dan pengawasan ketat oleh dinas kesehatan dan lembaga independen.

3. Berikan hak memilih: siswa boleh membawa bekal sendiri tanpa diskriminasi.

4. Pertimbangkan sistem voucher/tunai bersyarat bagi keluarga yang lebih membutuhkan.

5. Libatkan masyarakat dan komite sekolah dalam pengawasan pengadaan.

6. Gunakan bahan lokal dan libatkan petani daerah agar ekonomi lokal ikut hidup.

Makan Bergizi Gratis adalah ide besar dengan niat yang baik. Tapi niat baik tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel bisa menjadi bumerang. Ketika pengadaan tidak jelas, mutu rendah, dan kebebasan keluarga diabaikan, niat baik bisa berubah menjadi ironi.

Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar slogan “makan gratis”, tetapi sistem yang jujur, terbuka, dan berpihak kepada anak dan keluarganya. Karena pada akhirnya, gizi bukan hanya soal makanan tapi soal kepercayaan publik terhadap negara yang benar-benar peduli.

Penulis : Nano Hendi Hartono

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *