Ketika BPK Sebagai Pengawas Negara Jadi Tersangka, Bayangan Gelap Integritas Audit

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Di negeri ini, lembaga yang paling dipercaya untuk menelanjangi penyimpangan keuangan negara justru tengah berjuang melawan bayangannya sendiri. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang seharusnya menjadi benteng terakhir integritas fiskal, kini kerap tampil di headline bukan karena temuan audit yang mengguncang, melainkan karena kasus hukum yang menjerat orang dalamnya.

Ironis? Jelas. Tapi di balik ironi itu tersimpan persoalan struktural dan budaya organisasi yang jauh lebih dalam dari sekadar pelanggaran etik individu.

Dari “laporan bersih” ke jeruji besi

Kasus demi kasus bermunculan, seolah menjadi pola baru yang memalukan. Mulai dari anggota BPK yang terseret kasus suap dalam proyek jalan, auditor yang tertangkap tangan KPK karena “main mata” dengan pejabat daerah, hingga staf pelaksana yang menjual bocoran hasil audit kepada pihak yang diaudit.

Semua ini bukan lagi anomali, melainkan gejala sistemik yang menandakan betapa rentannya lembaga pengawas ketika pengawasan internalnya sendiri lemah. BPK yang selama ini berdiri di menara gading integritas kini berhadapan dengan kenyataan getir: pengawas pun bisa tergoda oleh godaan yang diawasinya.

Budaya feodal dan ‘transaksi’ integritas

Laporan-laporan investigatif yang beredar menggambarkan satu benang merah, yaitu budaya feodal di tubuh BPK masih kuat. Auditor muda harus “setoran” loyalitas pada atasan, bukan pada kebenaran audit. Penugasan di daerah-daerah strategis sering dianggap proyek basah, bukan tugas negara. Dalam beberapa kasus, bahkan ada cerita klasik, yakni “Selama auditor belum di-acc, hasil audit belum bisa keluar.”

Situasi ini menciptakan ruang bagi transaksi integritas, itu sesuatu yang tidak kasatmata, tapi sangat nyata di lapangan. Hasil audit bisa dinegosiasikan, opini bisa “diperhalus”, dan temuan bisa menguap di antara draft laporan.

Bila auditor menjadi pedagang, maka kepercayaan publik menjadi korban pertama.

Pengawasan yang diawasi siapa?

Secara kelembagaan, BPK memiliki Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE). Namun, efektivitasnya sering dipertanyakan. Banyak kasus internal diselesaikan secara senyap, tanpa publikasi, tanpa preseden yang menimbulkan efek jera. Dalam sistem seperti ini, “disiplin etik” berubah jadi formalitas administratif, cukup minta maaf, lalu pindah jabatan.

Padahal, di atas kertas, BPK adalah lembaga konstitusional yang setara dengan MA, MK, dan DPR. Jika lembaga sekuat ini tidak bisa menegakkan integritas di dalam tubuhnya sendiri, bagaimana publik bisa percaya pada laporan hasil auditnya?

Ketika integritas jadi komoditas

Fenomena ini bukan semata soal individu yang lemah iman. Ia mencerminkan komodifikasi integritas.

Dalam ruang politik yang makin transaksional, hasil audit sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Seorang pejabat bisa menekan auditor agar opini laporan keuangannya “WTP” (Wajar Tanpa Pengecualian). Di sisi lain, ada pula pihak yang sengaja menjadikan hasil audit sebagai alat barter dukungan atau perlindungan hukum.

Maka jangan heran, beberapa kasus besar yang menyangkut pejabat daerah baru meledak setelah pergantian kekuasaan, itu bukan karena temuan baru, tapi karena politik audit yang berubah arah.

Solusi IAW: kembalikan BPK ke jalur akuntabilitas publik

Indonesian Audit Watch menilai bahwa akar persoalan ini terletak pada tertutupnya mekanisme pertanggungjawaban internal BPK. Maka sudah saatnya BPK:

1. Membuka laporan etik dan sanksi pegawai secara publik.

2. Menerapkan whistleblowing system yang benar-benar independen dan dilindungi hukum.

3. Menghapus penugasan berbasis kedekatan, menggantinya dengan sistem rotasi berbasis rekam jejak integritas.

4. Dan yang terpenting: mengembalikan orientasi BPK ke mandat konstitusional, bukan ke kepentingan politik atau individu.

Integritas bukan sekadar kata di spanduk; ia harus menjadi napas di setiap lembar laporan audit.

Catatan penutup: audit diri sebelum mengaudit negara

BPK bisa tetap menjadi pilar keuangan negara, tapi hanya jika berani mengaudit dirinya sendiri terlebih dahulu. Sebab, seperti yang sering dikatakan auditor senior sejati: “Tak ada laporan yang benar bila nurani auditor sudah salah.”

Dan di sinilah publik menunggu: bukan sekadar opini WTP, tapi opini moral dari lembaga yang seharusnya paling bersih di republik ini.

Penulis : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *