MoneyTalk, Jakarta – “Siapa yang sebenarnya butuh didorong, mitra dapur atau lembaga penggeraknya?”
Pertanyaan itu kini menggema di ruang publik setelah Badan Gizi Nasional (BGN) tiba-tiba mengumumkan akan menghapuskan 1.414 calon SPPG (Satuan Pelaksana Pangan Gizi) yang dianggap “tidak berprogres”.
Tapi publik melihat fakta lain. Para mitra dapur itu bukanlah kelompok tanpa daya. Mereka sudah memiliki aset riil beruoa tanah, bangunan, alat masak, yang seharusnya menjadi modal untuk mempercepat pembangunan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sayangnya, bukan dorongan yang mereka dapat, justru kebijakan “hapus nama” yang mereka terima.
Rencana megah, eksekusi yang pincang
Dokumen Surat Penetapan SPPG Terpencil menunjukkan bahwa BGN sebenarnya punya peta besar, yaitu ribuan lokasi sudah dipetakan sampai ke level desa dan kelurahan, lengkap dengan estimasi penerima manfaat. Namun di balik perencanaan rapi itu, eksekusi di lapangan justru tumpul.
Alih-alih membangun sistem pendukung dan mekanisme pembiayaan, BGN terjebak pada logika administratif. Seleksi dan penghapusan dilakukan seolah-olah masalah ada di mitra, padahal akar persoalannya justru pada lembaga yang tidak menyediakan ekosistem pendukung.
Lebih ironis lagi, banyak lokasi yang ditetapkan justru berada di wilayah terpencil seperti Nias, Mentawai, hingga Pegunungan Bintang. Tapi tidak ada strategi realistis dari BGN tentang bagaimana membangun dapur di wilayah yang akses logistiknya terbatas.
Seolah-olah investor akan datang sendiri membawa semen dan panci, tanpa dukungan perbankan maupun insentif. Ini yang dilupakan oleh BGN. Mereka tidak memposisikan mitranya agar berkinerja baik sehingga kinerja BGN juga terdampak baik.
Dapur butuh api, bukan formulir penghapusan
Konsep dasar dapur MBG sederhana, yakni tempat memasak dan mendistribusikan makanan bergizi untuk anak sekolah. Di sinilah titik risiko tertinggi keracunan makanan berada, jadi bukan di server aplikasi, apalagi bukan di meja kebijakan.
Namun anehnya, fungsi vital ini justru tidak ditopang oleh kebijakan dan pembinaan yang kuat.
Tiga pegawai SPPG yang bertugas di setiap dapur tempat pengelola bahan makanan, pengawas kebersihan, dan pelapor progres, nyaris bekerja tanpa arah. Tanpa pelatihan, tanpa pengawasan, tanpa pembiayaan yang mumpuni. BGN seolah lupa bahwa “dapur tanpa api hanyalah ruang kosong.”
Kebijakan yang tak simpatik
Alih-alih menjadi fasilitator, BGN tampil sebagai pengawas yang menghukum. Ribuan calon mitra akan dihapus dari sistem tanpa ada pendampingan sedari awal, tanpa dukungan membantu topangan pembiayaan, tanpa ada upaya membangun jembatan akses ke Himbara. Padahal, BGN memiliki data lengkap tentang siapa pemilik tanah, siapa punya bangunan, siapa punya alat untuk direkomendasi ke perbankan, namun itu tidak terlihat dilakukan.
Jika data sekuat itu tidak digunakan untuk mempercepat pembiayaan mitra, buat apa BGN dibentuk sebagai lembaga penggerak nasional?
Langkah semacam ini bukan hanya tidak efektif, tapi juga tidak simpatik bagi para pelaku lapangan yang sedang berjuang merealisasikan visi negara.
Menkeu sudah menyalakan api, tapi BGN masih meniup abu
Kontras terasa ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melompat cepat. Ia mendorong bank-bank Himbara menggulirkan ratusan triliun rupiah untuk menggerakkan ekonomi rakyat, itu pesan jelas bahwa uang negara harus bekerja untuk publik.
Namun BGN masih sibuk di dapur birokrasi. Ketika Menkeu berbicara tentang konsolidasi nasional, BGN malah mengelola data tanpa aksi.
Ketika Menkeu menyiapkan bahan bakar untuk dapur-dapur bangsa, BGN bahkan belum bisa memegang korek api.
Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa program MBG adalah gerakan nasional, bukan proyek sektoral. Artinya, setiap lembaga harus menjadi mesin penggerak, bukan rem kepercayaan publik.
Struktur yang sentralistik dan akuntabilitas kabur
Surat Penetapan SPPG Terpencil memperlihatkan struktur yang sangat terpusat. BGN memegang kendali atas pendaftaran investor, sementara Satgas Daerah hanya pelaksana teknis. Bahkan, dalam tujuh hari setelah batas waktu, BGN pusat bisa menetapkan lokasi secara sepihak.
Pertanyaannya, jika dapur di pedalaman Papua gagal beroperasi, siapa yang harus bertanggung jawab? Bupati? Investor? Atau BGN yang tidak ikut memberikan akses pembiayaan dan pendampingan teknis? Akuntabilitas model seperti ini kabur, padahal BGN-lah yang memegang kontrol penuh atas sistem.
Rekomendasi untuk Kepala BGN
Indonesian Audit Watch menilai bahwa BGN harus berubah paradigma. “Lembaga ini seharusnya menggerakkan, bukan menghambat. Kalau mitra sudah punya aset dan niat, maka tugas BGN adalah menghidupkan api mereka, bukan memadamkannya.”
Maka, ada empat langkah yang harus segera dilakukan oleh Kepala BGN:
1. Ubah paradigma dari pengawas menjadi fasilitator. Dorong kemitraan, bukan eliminasi.
2. Bentuk satuan tugas akses keuangan. Hubungkan mitra dapur dengan perbankan nasional agar mereka bisa mengakses kredit kerja.
3. Bangun ekosistem operasional yang nyata.
Dari pelatihan, logistik, hingga aplikasi sederhana untuk pelaporan.
4. Transparansi progres dan kendala.
Publik tak butuh angka serapan, tapi cerita nyata dari lapangan.
Kesimpulan, jangan biarkan api mati di dapur bangsa
Program MBG adalah simbol komitmen negara memberi makan generasi masa depan. Tapi tanpa manajemen yang cerdas, dapur kebangsaan ini bisa kehilangan panasnya.
Menkeu sudah menyalakan api, mitra sudah menyiapkan panci, masyarakat sudah menunggu aroma nasi bergizi. Kini tinggal satu pertanyaan besar: Apakah BGN siap menyalakan kompor, atau justru terus meniup abu sambil menyalahkan orang lain?
Penulis : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)