Babak Baru Kasus Ijazah Jokowi: Luka Kepercayaan dalam Demokrasi

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Penyerahan dokumen ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke publik beberapa waktu lalu menandai babak baru dalam polemik yang telah lama membelah opini masyarakat. Dokumen yang diserahkan tersebut dikabarkan memiliki bentuk dan detail yang identik dengan salinan yang selama ini diteliti oleh Roy Suryo dan sejumlah pihak lainnya. Bila kesamaan itu benar adanya, maka bangsa ini dihadapkan pada kenyataan pahit: bahwa polemik yang seharusnya selesai melalui transparansi justru membuka luka baru dalam kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan kejujuran pejabat publik.

Dalam negara demokrasi, kejujuran adalah fondasi utama legitimasi. Ijazah bukan sekadar selembar kertas administratif, tetapi simbol integritas, bukti pencapaian, dan legalitas moral seorang pemimpin. Karena itu, ketika keaslian dokumen presiden ke-7 menjadi perdebatan berkepanjangan, publik wajar merasa cemas dan terluka. Mereka mempertanyakan: bagaimana mungkin di negeri sebesar Indonesia, dengan sistem pendidikan dan birokrasi yang mapan, keaslian ijazah seorang kepala negara masih menjadi misteri yang tidak kunjung terjawab tuntas?

Apabila benar dokumen dari KPU identik dengan yang selama ini diragukan, maka muncul dua kemungkinan yang sama-sama menyakitkan. Pertama, bahwa keraguan publik selama ini sebenarnya tidak berdasar dan dibangun di atas disinformasi. Kedua, yang lebih mengkhawatirkan, bahwa sistem administrasi negara telah gagal menjaga keotentikan dan keterbukaan data publik. Dalam kedua pandangan itu, yang kalah tetaplah rakyat karena kepercayaan mereka terhadap institusi negara telah hancur.

KPU sebagai penyelenggara pemilu sejatinya memegang peran penting dalam menjaga kredibilitas demokrasi. Penyerahan dokumen seharusnya dilakukan secara transparan, dengan melibatkan pihak independen untuk melakukan verifikasi forensik. Sayangnya, selama ini proses tersebut cenderung berlangsung tertutup dan birokratis. Publik hanya diberi kesimpulan tanpa ruang cukup untuk memahami data yang sesungguhnya. Dalam situasi seperti itu, wajar bila kecurigaan dan teori konspirasi berkembang liar.

Luka demokrasi bukan hanya lahir dari kecurangan, tetapi juga dari ketertutupan informasi. Ketika warga merasa tidak diberi kejelasan, mereka kehilangan rasa memiliki terhadap negara. Pemerintah dan lembaga terkait harus menyadari bahwa keterbukaan adalah satu-satunya jalan untuk memulihkan kepercayaan publik. Menutup-nutupi atau menunda kebenaran justru memperlebar jurang ketidakpercayaan yang sudah terlanjur dalam.

Kasus ijazah Jokowi kini bukan sekadar perkara dokumen, melainkan ujian moral bagi bangsa ini: sejauh mana kita berani menegakkan kejujuran tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pemimpin tertinggi. Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh di atas kebenaran, bukan kepalsuan yang dipelihara.

Oleh karena itu, langkah berikutnya haruslah verifikasi terbuka oleh lembaga independen yang kredibel. Jika ijazah itu benar asli, maka bangsa ini perlu bukti yang meyakinkan agar polemik bisa berakhir dengan damai dan terhormat. Namun jika ditemukan ketidaksesuaian, negara wajib bertindak adil tanpa kompromi.

Karena pada akhirnya, demokrasi tanpa kejujuran hanyalah panggung sandiwara. Dan bangsa yang terbiasa menutup mata terhadap kebohongan, sedang menulis luka panjang dalam sejarahnya sendiri. Entahlah

Penulis : Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *