MoneyTalk, Jakarta – “Sekolah kita masih pola pikir abad ke-20, padahal muridnya abad ke-21.” Kalimat dari Anies Baswedan ini mungkin sudah sering kita dengar, tapi justru di situlah letak kekuatannya. Ia seperti cermin yang memantulkan wajah pendidikan kita hari ini jelas, tapi membuat kita terdiam lama.
Bayangkan, di era ketika anak-anak bisa mempelajari fisika lewat YouTube dan belajar bahasa lewat gim daring, sekolah masih menilai mereka lewat lembar ujian dan hafalan. Dunia sudah bergerak dengan kecepatan internet, sementara banyak ruang kelas masih berjalan di irama mesin tik. Murid hidup di masa yang serba digital dan adaptif, tapi dididik dengan cara yang statis dan linear.
Bukan rahasia, sebagian besar sistem pendidikan kita masih berdiri di atas pondasi abad ke-20: disiplin kaku, pola seragam, dan orientasi nilai ujian. Murid diharapkan patuh, duduk rapi, dan mendengarkan, sementara guru menjadi satu-satunya sumber pengetahuan. Padahal, menurut Jean Piaget dan Lev Vygotsky, belajar adalah proses konstruktif pengetahuan tidak ditransfer begitu saja dari guru ke murid, melainkan dibangun melalui pengalaman, interaksi sosial, dan refleksi. Dengan kata lain, belajar adalah proses aktif mencipta makna, bukan sekadar menerima informasi.
Namun di banyak kelas, murid masih diajarkan untuk mengulang, bukan memahami; untuk menjawab, bukan bertanya. Kita masih sibuk mengejar hafalan dan nilai ujian, padahal UNESCO sejak 2005 sudah mengingatkan bahwa pendidikan sejati berdiri di atas empat pilar: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Empat hal ini menekankan pentingnya membentuk manusia seutuhnya berpengetahuan, terampil, mampu hidup bersama, dan berkarakter. Tetapi yang lebih sering terjadi di sekolah kita adalah yang pertama: learning to know.
Akibatnya, anak-anak kita sibuk mengingat, tapi tak sempat berpikir. Padahal dunia hari ini menuntut keterampilan yang jauh lebih kompleks. Partnership for 21st Century Learning (P21) sudah merumuskan empat kemampuan utama yang disebut 21st Century Skills: critical thinking, creativity, communication, dan collaboration. Empat kemampuan ini tidak tumbuh dari hafalan, melainkan dari ruang belajar yang menantang, dialogis, dan terbuka terhadap kesalahan.
Sayangnya, ruang seperti itu masih langka. Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, sudah sejak lama mengkritik model banking education, di mana guru dianggap sebagai penyetor pengetahuan dan murid hanya sebagai celengan kosong. Pengetahuan “disimpan” tanpa dipahami. Freire menawarkan konsep pendidikan dialogis, di mana guru dan murid sama-sama belajar, saling menafsir, dan saling mencipta kesadaran. Dalam konteks Indonesia, gagasan Freire ini masih terasa segar, sebab banyak guru sebenarnya paham arah perubahan, tetapi terjebak dalam administrasi dan kurikulum yang terlalu sempit untuk menampung kreativitas.
Lebih jauh, Howard Gardner lewat teori Multiple Intelligences (1983) mengingatkan bahwa kecerdasan manusia itu beragam. Ada yang unggul secara linguistik, musikal, logis, spasial, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, bahkan naturalis. Namun sistem kita masih menilai anak berdasarkan satu jenis kecerdasan: akademik. Anak yang pandai berhitung dianggap pintar, sedangkan yang jago menggambar, menari, atau berpikir kritis seringkali dicap tidak fokus. Padahal mereka hanya sedang mengekspresikan kecerdasan yang berbeda.
Kesenjangan antara cara berpikir sekolah dan dunia nyata semakin terasa ketika kita melihat kehidupan sehari-hari murid. Di luar sekolah, mereka belajar dari YouTube, TikTok edukatif, komunitas daring, bahkan dari kegagalan mereka sendiri. Mereka tumbuh dalam budaya learning by doing, sementara di sekolah, mereka masih diminta duduk diam dan menyalin dari papan tulis. Bukan murid yang malas, tapi sistemnya yang belum berubah.
Kita tidak bisa terus mendidik anak-anak abad ke-21 dengan cara abad ke-20. Dunia berubah terlalu cepat untuk dihadapi dengan metode yang sama. Mungkin yang perlu diubah bukan hanya kurikulum, tapi pola pikir kita tentang belajar. Dari teaching the past menjadi preparing for the future. Dari guru yang mengajar dan murid yang belajar, menjadi guru dan murid yang belajar bersama.
Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mencoba, berdialog, berdebat, dan bahkan gagal. Karena dunia kerja dan kehidupan nyata tidak menilai siapa yang paling hafal rumus, tapi siapa yang paling mampu mencari solusi ketika rumusnya tidak ada. Abad ke-21 menuntut manusia yang fleksibel, kritis, kolaboratif, dan kreatif dan itu tidak akan tumbuh dari sistem yang kaku dan seragam.
Paulo Freire pernah berkata, “Education is an act of freedom, not domination.” Pendidikan sejati adalah tindakan kebebasan membebaskan pikiran manusia dari ketakutan untuk bertanya, dari kebiasaan meniru tanpa memahami, dan dari sistem yang menilai kepatuhan lebih tinggi daripada keingintahuan.
Jika sekolah kita masih berpikir seperti mesin tik di tengah dunia ChatGPT, jangan salahkan murid-murid kalau mereka lebih memilih belajar di luar kelas. Karena di luar sana, mereka menemukan kebebasan: belajar dari dunia yang nyata, dari kesalahan, dari rasa ingin tahu.
Pendidikan sejatinya bukan pabrik yang mencetak manusia seragam, melainkan taman yang menumbuhkan keunikan setiap anak. Kita tidak bisa terus menyiapkan anak-anak untuk dunia yang sudah lewat, dan berharap mereka mampu memimpin masa depan. Sudah waktunya kita berhenti mendidik dengan nostalgia, dan mulai mendidik dengan visi agar sekolah tak lagi menjadi penjara masa lalu, melainkan jendela menuju masa depan.
Penulis : Agung Nugroho, Direktur Jakarta Institute.