Danantara Dari Pemadam Utang ke Penjaga Sampah, Menuai Rugi Sebelum Berbunga

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Pernah dengar lembaga investasi yang lebih sibuk memadamkan kebakaran daripada menanam uang?

Selamat datang di Danantara, itu lembaga yang katanya “sovereign wealth fund” Indonesia, tapi belakangan lebih sering berperan sebagai Sovereign Waste Fund.

Lahir dengan semangat mulia untuk mengelola kekayaan negara agar tumbuh. Tapi sejak dini, langkahnya justru terseret ke proyek-proyek yang sudah lama jadi “sarang rugi”. Mulai dari menalangi utang Whoosh hingga merangkul bisnis sampah jadi listrik. Dua kata yang seharusnya membuat kita siaga, yakni talangan dan sampah, dua-duanya lebih dekat ke lubang rugi ketimbang laba.

Dari Whoosh ke Waste pola talangan yang sama

Kita mundur sedikit ke Whoosh, proyek kereta cepat kebanggaan yang kini justru jadi beban berat. Ketika cicilan jatuh tempo, siapa yang turun tangan? Bukan investor swasta, bukan APBN langsung, tapi Danantara. Skema yang disebut standby loan itu seolah keren di atas kertas, tapi sejatinya hanya talangan dengan wajah baru.

Kini pola itu tampak diulang lewat proyek Waste-to-Energy (WtE) ada 33 proyek pengolahan sampah jadi listrik, menggandeng perusahaan asing dan lokal dengan rekam jejak yang… ya, mari kita bilang saja tidak secerah energi surya. Jika Whoosh ditalangi, jangan heran bila nanti WtE juga ditalangi. Danantara seperti terjebak dalam peran yang sama, yaitu sebagai pemadam proyek BUMN yang terbakar utang.

Bisnis sampah jalan pintas yang berisiko panjang

Mengapa tiba-tiba bisnis sampah? Secara konsep, Waste-to-Energy memang terdengar hijau dan berkelanjutan. Tapi data BPK 10 tahun terakhir berbicara lain. Hampir semua proyek serupa di Indonesia gagal menghasilkan keuntungan.

Dari PLTSa Surabaya tanpa AMDAL, PLTSa Bekasi yang tendernya tidak transparan, hingga proyek Makassar yang mangkrak dan merugikan negara Rp120 miliar. Laporan BPK bahkan mencatat bahwa tak satu pun proyek WtE nasional yang berhasil mencapai ROI positif dalam lima tahun pertama.

Danantara seakan melupakan pelajaran sejarah itu.

Jika proyek sampah di tingkat kota saja penuh masalah, bagaimana mengelola 33 proyek besar serentak, lintas provinsi, dengan teknologi insinerasi yang sensitif, dan modal dari Patriot Bonds yang notabene juga utang?

Menkeu sudah ingatkan, “Anda penyelenggara negara, bukan pemadam BUMN”

Pernyataan Menteri Keuangan jadi pembatas moral yang tegas bahwa pejabat BUMN dan Danantara adalah penyelenggara negara, tunduk pada audit BPK. Artinya, setiap keputusan investasi bukan hanya urusan korporasi tapi juga publik dan hukum.

Jika proyek Whoosh dan WtE bermasalah, yang dipertaruhkan bukan sekadar return, tapi reputasi negara. Karena setiap rupiah yang hilang, pada akhirnya bersumber dari kekayaan publik.

Dan bila sudah menyentuh uang rakyat, tak ada istilah “eksperimen bisnis”.

Prediksi keras: Danantara akan rugi di bisnis sampah

Mari kita hitung sederhana. Feedstock (bahan bakar) sampah Indonesia tidak konsisten, teknologi insinerasi mahal, emisi dioksin tinggi, sementara tarif listrik dari WtE lebih mahal dari EBT biasa. Ditambah skema pendanaan via obligasi, Danantara menanggung risiko ganda: gagal teknologi dan gagal bayar.

IAW memprediksi, dalam tiga tahun pertama, potensi kerugian akumulatif bisa mencapai Rp1 triliun jika tidak ada pengawasan dan transparansi tender.

Itu belum termasuk risiko hukum bila konflik kepentingan dan pelanggaran AMDAL terbukti di kemudian hari.

Jalan pulang nasih ada

Masih ada cara agar Danantara tak benar-benar menjadi “Danantara Waste Fund”, yaitu:

1. Hentikan ekspansi proyek WtE besar-besaran.

Mulailah dengan proyek percontohan kecil yang bisa diuji hasilnya, bukan proyek nasional yang penuh risiko politik dan lingkungan.

2. Audit total skema talangan Whoosh dan Patriot Bonds. Pastikan tidak ada “utang dalam bayangan” yang bisa menyeret APBN.

3. Fokus ke investasi yang memberi nilai tambah riil, seperti sektor logistik, agritech, energi bersih non-insinerasi, atau infrastruktur digital. Bukan bisnis sampah yang sudah berulang kali gagal di audit negara.

Sekolahkan investasi, jangan sekolahkan rugi

Danantara punya peluang menjadi ikon keuangan negara baru. Tapi hanya jika ia berani jujur pada mandatnya untuk menghasilkan keuntungan, bukan menalangi kegagalan.

Kalau tujuannya menyelamatkan proyek bermasalah, kita tidak butuh SWF, lebih tepat kita butuh Badan Pemadam BUMN Nasional.

Karena kalau semua proyek gagal ditalangi Danantara, cepat atau lambat rakyat akan bertanya, “Kapan Danantara berhenti menyekolahkan rugi, dan mulai menyekolahkan untung?”

“Negara tidak kekurangan ide besar. Yang kurang hanyalah disiplin menghitung mana yang untung dan mana yang sekadar terlihat keren di konferensi pers.”

Penulis : Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *