Menelisik Kontroversi Ekspor Sedimen Pasir Laut, Penolakan dari Pendukung Jokowi
MoneyTalk, Jakarta – Pada Selasa, 1 Oktober 2024, Cuotient TV menyiarkan narasi Alvin Lim yang mengangkat perdebatan hangat mengenai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait ekspor sedimen pasir laut. Dalam tayangan tersebut, Alvin Lim secara tegas menolak kebijakan ini, yang ia anggap sebagai langkah untuk “menjual tanah air.” Sementara Jokowi menjelaskan bahwa hanya sedimen yang mengganggu jalur kapal yang dapat diekspor, pendukungnya menyatakan bahwa pelaksanaan di lapangan sering kali tidak sejalan dengan pernyataan tersebut.
Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan setelah meresmikan produksi smelter milik PT Freeport Indonesia di kawasan ekonomi khusus Gresik, Jawa Timur. Ia mengingatkan masyarakat dan pelaku usaha untuk berhati-hati dalam memahami regulasi ekspor pasir laut, menegaskan bahwa yang diperbolehkan adalah sedimen yang berada di jalur kapal. Jokowi juga menyampaikan pentingnya pemahaman yang jelas agar tidak terjadi kesalahan atau pelanggaran aturan.
Namun, muncul pertanyaan mendasar: apa perbedaan antara pasir laut dan sedimen laut? Sedimen laut merupakan material yang mengendap di dasar laut dan terdiri dari berbagai partikel yang berasal dari proses alam. Pasir laut, di sisi lain, adalah jenis sedimen yang lebih besar, dihasilkan dari erosi batuan di daratan dan terbawa oleh aliran sungai atau ombak ke pesisir. Meskipun sedimen memiliki manfaat ekosistem yang penting, eksploitasi pasir laut yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif seperti abrasi pantai dan kerusakan ekosistem.
Menariknya, kebijakan ekspor sedimen pasir laut ini tidak hanya menuai penolakan dari kalangan oposisi, tetapi juga dari beberapa pendukung Jokowi. Salah satunya adalah Immanuel Ebeneser, Ketua Umum Jokowi Mania. Dalam wawancara, Noel menegaskan bahwa kebijakan ini sama dengan menjual kedaulatan Indonesia. Ia juga meminta pemerintah untuk segera membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang mendasari kebijakan ini, mengingat pengalaman buruk terkait sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan akibat kebijakan serupa di masa lalu.
Bagi Noel, ekspor pasir laut tidak hanya berpotensi mengancam kedaulatan negara, tetapi juga bisa mengarah pada korupsi dan konflik kepentingan. Ia mengingatkan bahwa saat ini banyak pejabat dan penguasa yang terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan kepentingan masyarakat.
Dari sudut pandang hukum, Alvin Lim menekankan bahwa pelaksanaan kebijakan ini harus dilakukan dengan ketat untuk mencegah penyimpangan. Ia khawatir bahwa meski peraturan sudah ada, praktik di lapangan sering kali disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Dalam hal ini, Lim berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih tegas dan transparan dalam mengawasi implementasi kebijakan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar bagi negara.
Kritik terhadap kebijakan ini juga mengarah pada dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas. Lim menunjukkan bahwa meskipun Jokowi berusaha menunjukkan bahwa pemerintah berfokus pada bisnis, kenyataannya banyak masyarakat yang merasakan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dalam pandangannya, eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkelola dengan baik hanya akan memperburuk keadaan sosial ekonomi rakya.
Kebijakan ekspor sedimen pasir laut yang diterapkan oleh pemerintahan Jokowi menghadapi tantangan dan penolakan dari berbagai kalangan, termasuk pendukung setianya. Dalam menghadapi masalah ini, penting bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan memperhatikan suara masyarakat agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga dapat menjamin kesejahteraan dan kedaulatan Indonesia. Diskusi tentang kebijakan ini menjadi semakin relevan menjelang akhir masa jabatan Jokowi, di mana harapan akan adanya perubahan positif sangat dinanti oleh masyarakat.(c@kra)