MoneyTalk, Jakarta – Penunjukan Aceh dan Sumatera Utara sebagai tuan rumah PON XXI seharusnya menjadi momentum kebangkitan olahraga di Indonesia. Dengan dukungan dana triliunan rupiah, pembangunan fasilitas olahraga berskala internasional di kedua provinsi tersebut diharapkan dapat menjadi ikon baru kebanggaan nasional. Namun, ironisnya, proyek ambisius ini justru menampilkan kegagalan pengelolaan dan kepentingan politik yang menggerogoti esensi penyelenggaraan PON itu sendiri.
Kegagalan Perencanaan dan Pengelolaan Proyek
Permasalahan utama dalam penyelenggaraan PON XXI di Aceh dan Sumut adalah ketidakcocokan antara perencanaan dan pelaksanaannya. Pada awalnya, pemerintah dan para pejabat daerah di kedua provinsi ini bersemangat dalam membangun fasilitas olahraga untuk memenuhi standar internasional. Namun, dalam perjalanannya, realisasi dari proyek-proyek tersebut sangat jauh dari harapan. Di Aceh, meskipun kontrak senilai Rp536 miliar untuk rehabilitasi dan pembangunan 12 venue berhasil diselesaikan lebih cepat dari target, adanya monopoli tender oleh perusahaan besar menjadi sorotan tajam. Hal ini tidak hanya mengabaikan partisipasi kontraktor lokal tetapi juga menimbulkan ketidakpuasan publik.
Sementara itu, di Sumut, pembangunan Sport Center yang digadang-gadang akan menjadi pusat olahraga terbesar di Indonesia, justru mengalami banyak kendala. Mulai dari konflik lahan, ketidakcocokan desain, hingga keterlambatan penyelesaian proyek, semuanya mencerminkan buruknya manajemen pembangunan. Bahkan, jumlah kursi di stadion utama yang awalnya direncanakan untuk menampung 75.000 penonton, akhirnya harus dikurangi menjadi hanya 25.000 penonton. Ini jelas menunjukkan bahwa proyek yang awalnya dibanggakan sebagai simbol prestasi, berakhir menjadi simbol kemunduran.
Konflik Kepentingan dan Politisasi Proyek
Di balik kegagalan pembangunan ini, tersirat adanya kepentingan politik yang merusak jalannya proyek. Di Aceh, konflik antara KONI Aceh dan Pj. Gubernur Aceh Bustami Hamzah memicu keterlambatan pembangunan yang diduga terkait dengan manuver politik menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh 2024. Dugaan bahwa Bustami memanfaatkan proyek ini untuk keuntungan politiknya mengindikasikan adanya politisasi dalam penyelenggaraan PON.
Di Sumut, konflik lahan yang terjadi antara pemerintah daerah dengan masyarakat lokal semakin memperparah situasi. Pemerintah terlihat tidak segan-segan menggunakan kekuatan aparat untuk menyingkirkan warga yang mengklaim hak atas tanah mereka, seperti yang terjadi di Desa Sena, Deli Serdang, dan Desa Partibi Lama, Kabupaten Karo. Tindakan ini memicu protes keras dari masyarakat dan memperpanjang sengketa agraria, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kelancaran pembangunan.
Kekecewaan Presiden dan Buruknya Tata Kelola Pemerintah
Kegagalan pembangunan PON XXI juga ditandai dengan kekecewaan Presiden Joko Widodo, yang batal meresmikan Sport Center Sumut pada 10 September 2024. Keputusan Presiden untuk membatalkan kehadirannya dalam acara penting tersebut dan lebih memilih menghadiri pernikahan putra Khofifah Indah Parawangsa, Bakal Cagub Jawa Timur, mencerminkan sikap apatis pemerintah terhadap masalah mendasar dalam proyek ini. Terlepas dari klaim bahwa anggaran dan progres pembangunan terhambat oleh persiapan Pemilu 2024, keputusan tersebut mengindikasikan lemahnya pengawasan dan koordinasi dari pemerintah pusat.
Dugaan Korupsi dan Manipulasi Tender
Selain kegagalan dalam manajemen proyek, dugaan korupsi juga mencuat dalam berbagai aspek penyelenggaraan PON XXI. Dari penyelewengan honor volunteer hingga dugaan penyelewengan oleh vendor-vendor yang terlibat dalam pengadaan konsumsi, transportasi, dan akomodasi, semua ini semakin menambah buruk citra pemerintah dalam mengelola proyek berskala besar. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran menjadi sorotan utama, dan kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam menyelenggarakan proyek-proyek nasional di masa mendatang.
Refleksi Akhir: Harapan yang Pupus
PON XXI Aceh-Sumut seharusnya menjadi simbol kemajuan olahraga Indonesia, namun yang terjadi justru sebaliknya. Kegagalan pengelolaan, politisasi proyek, konflik lahan, dan dugaan korupsi mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan proyek besar yang dapat dibanggakan oleh rakyat. Ironi proyek ini menjadi cerminan dari masalah sistemik dalam tata kelola pembangunan nasional, di mana ambisi besar seringkali tidak diimbangi dengan integritas dan kemampuan untuk mengelola proyek dengan baik.
Publik kini menanti langkah tegas dari pemerintah untuk menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan ini. Jika tidak, PON XXI akan dikenang bukan sebagai pesta olahraga yang membanggakan, melainkan sebagai bukti nyata dari gagalnya pemerintah dalam memprioritaskan kepentingan rakyat di atas kepentingan politik dan pribadi.
Penulis : Rahmat Hidayat, Direktur LAPPOR, Fungsionaris PB HMI