SWL di Pesisir Timur Surabaya, Proyek Raksasa yang Mengundang Polemik

  • Bagikan
SWL di Pesisir Timur Surabaya, Proyek Raksasa yang Mengundang Polemik
SWL di Pesisir Timur Surabaya, Proyek Raksasa yang Mengundang Polemik

MoneyTalk, Jakarta – Proyek Surabaya Waterfront Land (SWL) yang direncanakan di pesisir timur Surabaya menjadi pusat kontroversi. Digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional (PSN), SWL direncanakan melibatkan reklamasi laut yang membentuk pulau-pulau buatan untuk memperluas kawasan perkotaan. Namun, rencana ambisius ini justru memantik kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok masyarakat pesisir, nelayan, dan organisasi lingkungan. Mereka menilai proyek ini membawa ancaman besar bagi ekosistem laut dan kehidupan para nelayan lokal.

Pembangunan SWL mendapat penolakan keras dari masyarakat pesisir, terutama nelayan yang menggantungkan hidup mereka pada hasil tangkapan laut di sekitar lokasi proyek. Rencana reklamasi yang diperkirakan akan bernilai hingga Rp72 triliun ini berada di zona tangkapan ikan (fishing ground) yang menjadi mata pencaharian utama para nelayan. Misbahul Munir, Ketua DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Timur, menjelaskan bahwa proyek ini akan membawa dampak langsung pada kehidupan nelayan dan keberlangsungan sumber daya laut.

Menurut Misbahul, reklamasi laut ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem laut, mulai dari terumbu karang hingga habitat biota laut lainnya, yang menjadi tempat berkembang biak berbagai jenis ikan. Kerusakan ini, lanjutnya, akan mengurangi jumlah tangkapan ikan, yang tentu saja berdampak langsung pada pendapatan nelayan dan kesejahteraan mereka. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengancam masa depan para nelayan yang sejak dulu menggantungkan hidup dari laut.

Pada Jumat, 20 September 2024, ribuan warga Surabaya, termasuk nelayan dan pegiat lingkungan, menggelar aksi protes di Gedung DPRD dan Balai Kota Surabaya. Tergabung dalam Forum Masyarakat Madani Maritim, mereka menuntut agar proyek SWL ini dihentikan. Para demonstran membawa berbagai spanduk dan meneriakkan seruan penolakan, menyatakan bahwa proyek ini hanya menguntungkan perusahaan besar tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang akan terdampak.

Protes ini bukanlah kali pertama terjadi. Sejak awal diumumkannya proyek ini, berbagai pihak sudah menyatakan keprihatinannya terhadap dampak lingkungan dan sosial yang mungkin ditimbulkan. Menurut mereka, pembangunan pulau buatan ini akan berdampak signifikan pada keberlanjutan ekosistem laut yang rentan dan berpotensi merusak keseimbangan alam di kawasan pesisir Surabaya.

Wahyu Eka Styawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, mengatakan, proyek SWL di Surabaya tampak seperti “copy paste” dari proyek reklamasi di pantai utara Jakarta. Wahyu menyatakan bahwa proyek ini jelas-jelas hanya mengakomodasi kepentingan bisnis besar dengan mengorbankan kepentingan lingkungan dan masyarakat. Menurutnya, ada banyak pelajaran dari reklamasi di Jakarta yang menunjukkan dampak buruk reklamasi, seperti banjir yang meningkat dan hilangnya lahan tangkap nelayan.

Pertanyaannya adalah, lanjut Wahyu, “Kepentingan siapa proyek ini sebenarnya?”

Bagi Walhi dan kelompok-kelompok yang menentangnya, proyek SWL tidak mencerminkan kepentingan masyarakat. Mereka khawatir bahwa proyek ini hanya akan memberikan keuntungan finansial besar bagi segelintir pihak, sementara masyarakat pesisir dan nelayan harus menanggung beban akibatnya.

Dengan adanya proyek ini, banyak yang mempertanyakan bagaimana nasib kawasan pesisir Surabaya ke depan. Selain hilangnya habitat alami, ada pula risiko peningkatan banjir akibat perubahan struktur alam di pesisir. Reklamasi juga berpotensi meningkatkan polusi air laut, yang akan memengaruhi kualitas ekosistem laut. Para nelayan yang menggantungkan hidupnya dari laut kini merasa terancam kehilangan sumber daya yang selama ini menopang ekonomi mereka.

Proyek SWL juga menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan partisipasi publik. Banyak pihak yang merasa bahwa proses konsultasi publik untuk proyek ini tidak memadai, di mana suara masyarakat yang terdampak kurang didengar. Hal ini menambah kesan bahwa proyek ini dijalankan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat.

Surabaya Waterfront Land di pesisir timur Surabaya menjadi gambaran nyata dari dilema pembangunan dan pelestarian lingkungan di Indonesia. Di satu sisi, pemerintah dan pihak pendukung proyek memandangnya sebagai upaya memperluas kawasan perkotaan dan meningkatkan ekonomi lokal. Namun, di sisi lain, kritik keras dari masyarakat, nelayan, dan aktivis lingkungan mengingatkan bahwa pembangunan yang tidak mempertimbangkan ekosistem dan kepentingan masyarakat lokal akan membawa dampak negatif jangka panjang.

Dengan adanya protes yang semakin meluas, penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mempertimbangkan kembali kelayakan proyek ini. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta mencari solusi yang lebih ramah lingkungan menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya menguntungkan beberapa pihak, tetapi juga tidak merugikan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir yang telah lama bergantung pada laut.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *