MoneyTalk,Jakarta – Para pembaca mungkin tidak asing dengan Marcus Tullius Cicero. Dialah yang pertama kali berdalil tentang Ubi Societas Ibi Ius (Di mana ada masyarakat di situ ada hukum). Ada satu lagi dalil yang terkenal bahkan akhir-akhir ini “disesorahkan” di mana-mana, yakni dia pernah berujar: “salus populi suprema lex esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Jika dalil tersebut dihubungkan dengan konsep negara modern, maka sebuah keniscayaan jika negara dengan organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran melalui tugas dan fungsinya masing-masing untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan mengusahakan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Melalui upaya ini berarti adalah benar jika KESELAMATAN dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara.
Tujuan nasional bangsa Indonesia mendirikan negara telah termaktub dalam Alinea ke 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia NRI 1945 yakni “membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Tujuan nasional tersebut seharusnya menjadi visi setiap kegiatan pemerintah negara. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah betulkah pada tataran implementasi atau secara realitas asas “salus populi suprema lex esto” telah sepenuhnya direalisasikan?
Fakta bicara lain: “salus populi suprema lex esto” just a myth that lie daily. Misalnya terkait dengan isu utama sekarang tentang pengadaan lahan untuk investasi di sebagian wilayah Pantai Indah Kapuk-2 (PIK-2) yang oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
CNBC Indonesia 20 Nopember 2024 menurunkan berita tentang anggapan yang salah terkait dengan penetapan PIK-2 sebagai PSN. Disebutkan bahwa banyak orang menilai masuknya proyek PIK 2 sebagai PSN tak tepat, sebab pengembangan wilayah baru di Utara Jakarta itu dikendalikan oleh kontraktor swasta, Agung Sedayu Group, milik konglomerat Aguan. Berbagai persoalan yang ada tentu saja memantik kembali pertanyaan dasar: bagaimana duduk perkara PIK 2 dan proyek PSN?
Pada 24 Maret 2024, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengeluarkan rilis terkait 14 PSN baru di berbagai sektor. Antara lain 8 kawasan industri, 2 kawasan pariwisata, 2 jalan tol, 1 kawasan pendidikan, riset, dan teknologi kesehatan, serta 1 proyek Migas lepas pantai. Dari 14 PSN baru tersebut salah satu di antaranya berada di kawasan PIK 2, yakni pengembangan Green Area dan Eco-City yang dinamai Tropical Coastland. Artinya persepsi bahwa seluruh proyek PIK 2 sebagai PSN kurang tepat. Karena, kawasan PSN yang dimaksud Pemerintah hanya sebagian kecil saja di dalam kawasan pengembangan PIK2.
Pengembangan Green Area dan Eco-City (Tropical Coastland) sebagai PSN pemerintah menggunakan lahan seluas 1.756 hektar dari total luas lahan PIK 2 sebesar lebih kurang 30.000 hektar. Nantinya, lahan tersebut akan diubah menjadi destinasi pariwisata baru dan dapat mengakomodasi kawasan wisata mangrove sebagai pengamanan pesisir alami.
Sebagaimana diberitakan, diketahui bahwa Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengungkapkan bahwa penetapan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berasal dari usulan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno. Menurutnya, proyek ini mendukung konsep destinasi hijau atau green destination yang menjadi salah satu fokus pengembangan pariwisata nasional. Seharusnya, PIK 2 dikembangkan khusus untuk ekowisata di kawasan pesisir mangrove dengan total investasi senilai Rp 65 triliun. Selain itu, kawasan ini akan dilengkapi fasilitas riset biomedis dan mendukung berbagai kegiatan pendidikan.
Namun, ada fakta lain, bahwa ternyata sejak 2022 laut di wilayah cakupan PIK-2 khususnya di Tangerang Banten telah diusahakan oleh pengembang untuk menjadi daratan dengan disiapkannya penyertifikatan area laut berupa SHGB dan bahkan ada yang bersertifikat Hak Milik (SHM). Apakah mungkin area perairan laut dibebani alas hak berupa SHGB dan SHM? Dan atas dasar HGB inilah pada akhirnya pengusaha akan diberikan hak pengusahaan perairan pesisir, padahal berdasarkan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), HP-3 tidak bisa diberikan (dilarang) kepada pihak pengembang swasta. Sekalipun atas dasar PSN, maka larangan itu tetap dapat diterapkan.
Pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir atau HP-3 juga akan potensial mengancam posisi masyarakat adat dan nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya secara turun temurun dari sumber daya yang ada pada perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, karena keterbatasan mereka untuk memperoleh HP-3 dibanding pengusaha swasta yang memiliki segala-galanya. Ditambah lagi dengan tidak adanya perlakuan khusus bagi masyarakat adat serta masyarakat tradisional untuk memperoleh HP-3 sehingga terancam kehilangan sumber daya yang menjadi sumber kehidupannya.
Dengan pertimbangan itu, MK menilai pemberian HP-3 telah nyata melanggar prinsip demokrasi ekonomi yang berdasar atas prinsip kebersamaan dan prinsip efisiensi berkeadilan. Prinsip kebersamaan harus dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan ekonomi termasuk pengelolaan sumber daya alam bagi keuntungan ekonomi, harus melibatkan rakyat seluas-luasnya dan menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat banyak.
Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh semata-mata memperhatikan prinsip efisiensi untuk memperoleh hasil sebanyak-banyaknya yang dapat menguntungkan kelompok kecil pemilik modal, tetapi harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pemanfaatan wilayah 3 pesisir dan pulau-pulau kecil dengan memberikan HP-3 sebagaimana telah diuraikan di atas, akan mengakibatkan wilayah perairan pesisir dan pulau pulau kecil menjadi wilayah HP-3 yang dikuasai oleh pemilik modal besar.
Sebaliknya bagi masyarakat nelayan tradisional yang sebagian besar berdiam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya pesisir akan tersingkir. Dalam kondisi yang demikian, negara telah lalai menyelenggarakan tanggung jawabnya untuk melaksanakan perekonomian nasional yang memberikan perlindungan dan keadilan kepada rakyat. Lebih dari itu, menurut MK, pemberian HP-3 akan melanggar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu menurut MK untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Dengan mekanisme ini, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dapat dikelola secara terintegrasi dan membangun sinergi berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih pengelolaan, konflik pemanfaatan dan kewenangan serta memberikan kepastian hukum.
Perihal pemagaran laut di wilayah pesisir laut di Tangerang Banten, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid menyebut daerah yang dipagari itu sudah bersertifikat HGB. Nusron mengatakan jumlah sertifikat hak guna bangunan itu mencapai 263 bidang. Sertifikat atas nama beberapa perusahaan. Pertama, PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang dan kedua atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang kemudian atas nama perseorangan sebanyak 9 bidang. Dan selain SHGB, juga tercatat ada 17 bidang yang bersertifikat HM. Menteri Nusron kemudian menegaskan bahwa oleh karena SHGB tersebut cacat material dan prosedur, maka SHGB tersebut akan dicabut, apalagi usian SHGB tersebut belum genap 5 tahun karena baru diterbitkan tahun 2023.
Dari sisi regulasi, kita bisa melihat bahwa pengelolaan laut di Indonesia mengintegrasikan aspek hukum internasional, nasional, dan lokal untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat pesisir dan seluruh bangsa. Hukum nasional Indonesia yang terwujud dalam berbagai peraturan, mengatur pengelolaan laut melalui beberapa aspek penting:
Pertama, kedaulatan dan hak Indonesia atas Laut. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan diimplementasikan melalui UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia mengklaim wilayah lautnya hingga 200 mil laut sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang memberikan hak kepada negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di dalamnya.
Kedua, pengelolaan SDA laut. Pengelolaan sumber daya laut, termasuk perikanan, pertambangan, dan ekosistem laut, diatur oleh berbagai UU seperti UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengelolaan ini menekankan pada pemanfaatan yang berkelanjutan dan pemeliharaan ekosistem laut agar tidak mengalami kerusakan.
Ketiga keamanan Laut. Hukum nasional Indonesia juga mencakup pengaturan tentang keamanan laut, termasuk dalam hal pencegahan pencurian ikan ilegal dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di laut. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, serta peraturan terkait aparat penegak hukum seperti TNI AL, Bakamla, dan Polairud, bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah laut Indonesia.
Keempat, konservasi dan perlindungan laut. Indonesia juga mengatur pentingnya konservasi laut untuk melindungi keanekaragaman hayati laut. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur perlindungan spesies laut yang terancam punah serta kawasan konservasi laut seperti taman nasional laut dan cagar biosfer.
Pengelolaan wilayah pesisir yang tidak terintegrasi berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan dan kewenangan serta ketidakpastian hukum. Kasus pemagaran laut yang ada di Tangerang sepanjang 30,16 km misalnya terbukti telah menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal bahkan membahayakan kedaulatan negara.
Secara ideologis, pemagaran laut misterius di perairan pesisir utara Tangerang mencerminkan kegagalan negara dalam mengontrol aktor-aktor tertentu yang mungkin bergerak secara ilegal atau tidak transparan hingga mengancam kedaulatan. Berikut beberapa dampak signifikan terhadap kedaulatan negara serta kehidupan masyarakat nelayan;
Pertama, dampak terhadap kedaulatan negara.
a. Penguasaan wilayah secara ilegal. Pemagaran laut oleh pihak tertentu tanpa izin dapat merusak tatanan pengelolaan wilayah laut yang sah, menantang kewenangan negara atas pengelolaan sumber daya alam (SDA) di laut. Hal ini bisa menurunkan kontrol negara terhadap sumber daya perikanan dan keberlanjutannya.
b. Pelanggaran hukum internasional. Pemagaran laut secara ilegal berpotensi melanggar hukum internasional terkait hak akses bebas untuk semua pihak di perairan yang seharusnya terbuka, seperti dalam konvensi hukum laut internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara atas wilayah perairan.
Kedua, dampak terhadap kehidupan masyarakat nelayan.
a. Kehilangan akses ke sumber daya laut. Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut bisa kehilangan akses ke tempat-tempat penangkapan ikan yang dulunya terbuka. Hal ini mengurangi hasil tangkapan mereka, memperburuk kondisi ekonomi, dan mengancam mata pencaharian mereka.
b. Kerusakan ekosistem laut. Pemagaran laut ilegal seringkali melibatkan pembangunan yang merusak ekosistem pesisir, seperti terumbu karang dan mangrove. Ekosistem ini penting bagi kelangsungan hidup biota laut yang menjadi sumber ikan dan hasil laut lainnya.
c. Tingkat ketegangan sosial. Ketika nelayan atau kelompok masyarakat lokal merasa kehilangan akses (hak) mereka atas SDA laut, hal ini dapat memicu ketegangan sosial antara nelayan dengan pihak yang melakukan pemagaran.
d. Nilai kerugian ekonomi akibat pagar laut ilegal mencapai Rp116,91 miliar per tahunnya berdasar Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran, Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Dengan perincian; Rp93,31 miliar per tahun penurunan pendapatan nelayan, Rp18,60 miliar per tahun peningkatan biaya operasional, dan Rp5 miliar per tahun kerusakan ekosistem laut.
Secara keseluruhan, pemagaran laut secara ilegal tidak hanya merugikan kedaulatan negara dalam mengelola SDA, tetapi juga membahayakan kehidupan sosial dan ekonomi nelayan yang bergantung pada kelestarian ekosistem laut.
Seringkali, pembangunan suatu wilayah meniscayakan adanya relokasi. Dan prinsip yang harus dipegang adalah bahwa orang yang terkena dampak (Affected Peoples (APS)) harus memperoleh jaminan bahwa kehidupannya pasca relokasi (resettlement) harus lebih baik menyangkut mata pencahariannya, rumah tempat tinggal, kesehatan hingga persoalan infra struktur lainnya. Cara-cara penggusuran, relokasi dan pengosongan lahan oleh Gubernur Anies di DKI Jakarta sewaktu menjadi Gubernur saya kira patut untuk dijadikan rujukan dalam pembangunan dengan relokasi sehingga konflik dapat ditekan seminimal mungkin.
Jika pembangunan suatu kawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui jalur investasi swasta justru menyengsarakan rakyat yang seharusnya dilindungi, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah telah menjadi fasilitator penindasan terhadap rakyat melalui tangan-tangan oligarki. Dan bisa dipastikan ketika rakyat melawan rencana dan pelaksanaan proyek tertentu, termasuk Proyek Rempang sekalipun termasuk PSN, akan terjadi bentrokan, kekerasan bahkan peperangan. Di lapangan kondisi ini telah terindikasi terjadi di Rempang, Batam dan juga yang sekarang PSN di wilayah PIK-2 di Tangerang Banten. Ini bukan soal hukum, melainkan sudah merambah pada persoalan politik, sosial, ekonomi dan budaya bahkan hankam yang sangat rentan terancam.
Atas dasar keprihatinan kita terhadap fakta lapangan ini, lalu, masihkah pantas kita meneriakan dalil “SALUS POPULI SUPREMA LEX ESTO”? Ternyata kalau sudah bicara tentang politik, patut diduga tidak ada kawan dan musuh abadi, yang abadi itu kepentingan. Tidak ada hukum tertinggi itu di atas konstitusi kecuali: KEPENTINGAN. Jadi, kepentingan adalah hukum tertinggi, bukan keselamatan rakyat. Itu faktanya!
Penulis : Pierre Suteki