MoneyTalk, Jakarta – Abstrak, Teori Kebenaran dianut kaum oligarki (konglomerat), harus segera dipangkas.
Pada hakekatnya rakyat bangsa Indonesia, tidak pernah berada pada posisi di persimpangan jalan, pada saat kondisi apapun akibat dari pengaruh praktik politik globalisasi (interaksi kehidupan bangsa-bangsa internasional), andai saja bangsa ini selalu berpegang teguh serta menerapkan teori hakekat kebenaran dengan versi Teori Pancasila untuk menolak konsep Teori Kebenaran versi western-isme.
“Teori Kebenaran” sesuai filosofi, hasil buah pikir dari William James Sidis (WJ. Sidis) filsuf yang hidup pada abad ke 18-19 pra awal kehidupan modern atau awal pemikiran demokratisasi di Amerika Serikat, merupakan teori pragmatisme yang menekankan bahwa, “kebenaran suatu ide atau konsep harus dinilai berdasarkan efek praktisnya”. Juga menurutnya, “kebenaran tidak bersifat mutlak dan tetap, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Karena, kebenaran adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis, dan berubah seiring dengan perkembangan pengalaman fungsionalitas atau kebutuhan dan kepentingan, kebenaran tidak dapat lepas dari pengenalan yang dilakukan semata disebabkan oleh akal dan daya guna (utilitas)”.
Maka jika dianalisa, “Teori Kebenaran” menurut WJ. Sidis, segala peristiwa harus selalu dilandasi akal yang mengarah ke faktor kepentingan atau pragmatisme, sebuah sisi pandang sempit dengan manfaat sesaat atau kebenaran suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar” andai tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan.
Serius, inilah mungkin pola pikir WJ. Sidis cermin yang lebih meninggikan status fungsi hukum asas manfaat (utilitas) dibanding fungsi keadilan, sehingga paham kebenaran menurut WJ. Sudis narasinya menolak adagium “Salus Populi Supreme Lex Esto” atau menolak substantif daripada hukum yang mengatur orang banyak (bangsa) yang tertinggi semata-mata hanya demi tegaknya keadilan bagi bangsa tersebut, sesuai teori yang dinyatakan Marcus Tullius Cicero, adagium yang dikemukakan didalam bukunya “De Legibus (Tentang Hukum)”. Seorang negarawan romawi kuno, pengacara, filsuf, penulis dan orator (106 SM – 43 SM).
Namun setelah Cicero, ternyata muncul tipikal filsuf oriented pragmatis, yang faham nya justru datang dari “orang pandai”. karena terbukti biografi WJ. Sidis saat umur 3 tahun sudah pandai membaca, saat 4 tahun sidah pandai mengetik, usia enam tahun, sudah lancar berbahasa Inggris, Rusia, Prancis, Jerman, dan Ibrani, dan pada saat yang sama ia juga menguasai bahasa Latin dan Yunani. Dan pada usia muda sudah berbagai gelar disiplin ilmu WJ Sidis dapatkan, namun konsep berpikirnya berorientasi kepada asas fungsionalisme, hal yang politis dan pragmatis.
Dalam konsep WJ. Sidis kebenaran suatu gagasan ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan tersebut. Kata WJ. Sidis “Ide-ide yang benar adalah ide-ide yang dapat serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya jika tidak serasi manfaatnya karena akibatkan kerusakan adalah ide yang salah.”
Tentu “Teori Kebenaran” WJ. Sidis beda jauh dari fungsi hakekat kehidupan menurut aliran teologis dengan konsep berpikir dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada tahun 43 SM dengan diktumnya “fiat justicia ruat caelum”. Sidis juga mengenyampingkan karakter yang menjadi prinsip teori yang ada di abad ke 3 SM dari sang filsuf Aristoteles mengenai hakekat “Kebenaran”, yaitu “sesuatu yang ada berarti ada, atau sesuatu yang tidak ada berarti tidak ada, adalah benar”. Artinya Aristoteles mendambakan hidup dan kehidupan yang harus ideal atau perilaku melulu dalam kebenaran atau masyarakat bangsa yang berfikir dan berperilaku harus selalu jujur atau tidak pragmatic dan ketika menyatakan sesuatu tanpa fakta artinya adalah omong kosong.
Walau aristotelianisme memandang bahwa Tuhan ada namun hanya menciptakan pergerakan di alam semesta, lalu tidak mengurus lagi alam semesta dan ciptaan-Nya.
Sedang teori Kebenaran Korespondensi, atau Correspondence Theoryof Truth atau accordance theory of truth, sebuah teori yang berpandangan bahwa pernyataan- pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut.
Maka andai hasilnya tidak konstruktif dari sisi pandang munculkan dampak kerusakan, adalah tidak berguna (Teori Kebenaran).
Sementara “majas” atau analogi sebuah upaya menjunjung tinggi kebenaran yang telah timbulkan kerusakan namun demi untuk perbaikan moralitas daripada bakal terperosok jauh kelak dalam kehancuran adalah sebuah resiko perilaku amar makruf nahi munkar sekalipun bumi rana isinya menjadi rusak karena langit runtuh.
Dan realitas pada kehidupan golongan muslim sejak abad 6-7 M. Masih senyawa dengan para filsuf Yunani dan atau Romawi kuno Marcus Tullius Cicero, Lucius Calpurnius Piso Caesoninus dan masih bisa beradaptasi variabel dengan arietoteliaisme, yaitu konsep yang (“masih”) sejajar dengan prinsip “amar makruf nahi munkar atau konsep teologis.
Sedangkan konsep Teori Kebenaran adalah pragmatis, karena menganggap perjuangan menjunjung tinggi hakekat kebenaran disertai pelaksanaan yang radikal atau konsisten atau kaffah adalah pola pikir yang keliru, inilah salah satu konsep yang bertentangan dengan konsep NKRI Teori Panca Sila, namun nyata Teori Kebenaran (kebenaran subjektivitas) malah transparansi diberlakukan, dengan pola menjadi ketentuan daripada sistim oligarkis, politik kekuasaan yang terbentuk atau sengaja sepakat dibentuk melalui konspirasi politik antara sekelompok kecil penguasa dan kelompok kecil pengusaha besar (konglomerasi) namun menguasai semua sektoral atau seluruh bidang kehidupan di tanah air (ekpolhukbud).
Maka jika dikomparasi dengan pola kehidupan di tanah air saat ini, teori kebenaran korespondensi versi WJ. Sidis, dari hasil analisa penulis melahirkan interpretasi atau perspektif dari sisi pandang antropologi wujud Teori Kebenaran adalah aliran fungsionalisme atau teori yang berfokus pada saling ketergantungan dalam suatu lembaga. Teori ini menjelaskan pola perilaku untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan sistem sosial harus dapat menghindarkan konflik yang bakal berakibat kerusakan atau korban (manusia dan lingkungan hidup), namun absurd dan hasil kenyataan dari Teori Kebenaran William James Sidis. Karena sejarah pada bangsa-bangsa, dan pada Negara RI terbukti hasilnya justru tranparansi absolut merusak sisi kehidupan sosial dan termasuk merusak lingkungan hidup adat, adab dan budaya yang semestinya dijaga serta dilestarikan (genuine dan HAM).
Maka tiada jalan di persimpangan untuk bangsa ini, dan agar tidak terbawa arus dari berbagai budaya asing dan imbas modernisasi hasil interaksi sosial, termasuk kehadiran IT yang menggunakan sistem komputerisasi tentunya, penguasa pemerintahan dalam penyelenggaraan negara, harus tetap berpedoman kepada “Teori Kesepakatan Bangsa NRI; yakni teori Panca Sila, teori pijakan atas dasar historis politik hukum berdirinya NKRI yang sungguh tak terlepas daripada konteks berpikir yang beralaskan konsep teologis.
Sehingga kebutuhan untuk menghentikan proses degradasi moralitas membutuhkan tarap radikalisme edukasi dalam mengimplementasikan law enforcement atau penegakan hukum pada semua sektor bidang (ekpolhukbud) melalui pola kembali mengadopsi teori teologis yang terdapat pada sila-sila yang ada pada Teori Panca Sila, teori tentang akhlak sebagai faktor penting dari etika dan moralitas atau tata cara berperilaku dengan mentalitas berpikir yang melulu merujuk teori asas-asas panca sila, sesuai gagasan yang sudah dicetus suarakan melalui konsep REVOLUSI AKHLAK OLEH SOSOK ULAMA BESAR INDONESIA, DR. HABIEB RIZIEK SHIHAB/ HRS DENGAN SALAH SATUNYA MENGGUNAKAN TEORI OBTSJUBEDIL DR. EGGI SUDJANA/ BES, yang merupakan kumulasi metode hukum atau perilaku bangsa yang mesti berpikir serta berperilaku dan atau bersikap dengan didasari Objektifitas, Terstruktur, Sistematik, Jujur, Benar dan Adil.
Dan idealnya prinsip OBTSJUBEDIL disuritauladankan utamanya dan prioritas diterapkan oleh pemimpin tertinggi dan tinggi dari para penguasa pejabat publik pemerintahan atau lembaga eksekutif juga oleh seluruh penyelenggara negara di badan legislatif dan yudikatif, sehingga asas atau prinsip berperilaku (behavioral principles) pastinya bakal menjadi role model terhadap pola kehidupan generasi saat ini dan setelahnya (generalis dan Lintas SARA) dari sabang hingga merauke, yang implikasi positifnya, dapat menghapus degradasi moral (dampak moral hazard kekinian sejak rezim Jokowi dan rezim masa lalu) pada semua faktor kehidupan bangsa dan negara, baik pada sektor politik termasuk adab/ etika dan budaya bangsa, serta memperbaiki dan memangkas sistim berbisnis dalam bidang ekonomi dan mengevaluasi serta merevisi atau membatalkan sebagian sistim hukum dan mengamandemen konstitusi dasar.
Sehingga fungsi hukum yang harus menghasilkan kepastian hukum/ legalitas dan manfaat/ utilitas serta keadilan/ justicia, maksimal akan terwujud dan perilaku oligarkis yang telah terbukti menuai kerusakan moral yang penerapannya melalui sistem “diskresi politik ekonomi dan regulasi resmi” yang sesat namun dilegitimasi, dan tanpa sungkan dan tanpa rasa malu dari para stakeholder penguasa eksekutif yang berkolaborasi dengan kelompok legislatif (politik konspirasi) PERIHAL JUAL BELI HARGA DIRI BANGSA INI KEPADA KONGLOMERAT ASENG DAN ASING SENGAJA DIPERTONTONKAN.
Sehingga selanjutnya perilaku kerusakan moral ini dapat segera disetop, walau terpaksa dengan awalan “beresiko kerusakan” sekalipun oleh sebab keadaan keterpaksaan (force mejeur) melalui lahirnya gerakan teori Turun Rame-Rame yang harus Konstitusional Jo. Aksi Kebebasan Menyampaikan Pendapat Jo. Peran Serta Masyarakat, sebagai wujud dukungan atau support terhadap GERAKAN MORAL REVOLUSI AKHLAK dengan menggunakan teori OBTSJUBEDIL sebuah wujud dalam kerangka kewajiban setiap manusia untuk ber – amarmakruf nahiwamunkar atau fiat justicia ruat caelum serta HUKUM YANG TERTINGGI ADALAH SEMATA DEMI TEGAKNYA KEADILAN BAGI RAKYAT (salus populi supreme lex esto).
Oleh karenanya demi mencegah dan menghindari terjadinya amuk massa akibat psikologis massa pada momentum “turun rame -rame” yang bisa saja berlanjut merevolusi gerakan menjadi revolusi sosial, karena begitu lama dan dalam terpendam, sehingga berdampak sulit terkendali., maka selebihnya prinsip metode revolusi akhlak melalui teori OTSJUBEDIL dan kesemuanya pola pelaksanan dari teori yang selaras atau tidak melanggar Dasar Negara Panca Sila dan UUD. 1945 HARUS SEGERA URGENSI DIBERLAKUKAN UTAMANYA DIMULAI OLEH SELURUH PENYANDANG JABATAN SEBAGAI PENYELENGGARA NEGARA TANPA TERKECUALI PADA SEMUA ELEVASI.
Penulis: Damai Hari Lubis, Ketua Aliansi Anak Bangsa