Ketika Telepon Effendi Saman Berdering

  • Bagikan

MoneyTalk,Jakarta – “Dek, bisa ke sini? Ada yang penting untuk didiskusikan.” Itu kira-kira telepon atau pesan dari Effendi Saman jika ingin bertemu. Dan aku hampir pasti meluangkan waktu karena biasanya memang ada hal tertentu untuk dibahas. Entah itu masalah advokasi korban pinjaman online, nasib Taman Ismail Marzuki yang menurutnya tak patut dijauhkan dari para budayawan, isu mafia tambang dan lingkungan, serta banyak lagi hal lainnya. Aku memang sering tak terlibat dalam isu yang digelutinya. Tapi menjadi pendengar dari seorang Abang Senior, yang kepalanya dipenuhi isu pembelaan terhadap ketidakadilan, baginya lebih dari cukup.

Bang Epek atau Effe — demikian ia biasa dipanggil — memang hampir pasti tak pernah tenang pada ketidakadilan. Dan inilah yang membuatnya sejak muda sudah mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN), mendorong konsolidasi para aktivis melalui komunitas Prodem, dan banyak lagi lainnya. Pikiran dan hatinya seakan tak pernah berhenti untuk memikirkan bagaimana agar negeri ini lebih baik, adil dan demokratis. Denyut jantungnya juga tak pernah lepas dari empati terhadap korban, termasuk ribuan korban pinjaman online, yang secara probono didampinginya (litigasi dan nonlitigasi) untuk mendapat perhatian dari negara.

Bang Epek juga tak segan-segan menelepon untuk mengajak makan dan nongkrong jika ia sedang banyak rezeki. Aku dan Desyana, atau Rinjani, hampir pasti selalu mendapat rezeki nomplok jika ia sedang banyak uang. Epek memang dikenal tak pelit untuk berbagi. Di saat lain, saat para aktivis berkumpul dan ada panggung untuk bernyanyi, ia kerap tarik suara sambil berjoget. Bang Epek tak gengsi untuk bernyanyi dengan suara tinggi melengking, disertasi goyangan sedikit jingkrak-jingkrak.

Effendi Saman, yang kerap mengajakku bicara dalam Bahasa Banjar — karena ia memang keturunan Banjar — memang sosok yang penuh empati dan mudah bersahabat. Ia tak segan bergaul dengan siapa saja tanpa pandang latar dan usia. Wajahnya, yang tak pernah lepas dari senyum, atau suaranya, yang tak pernah mengeluarkan nada amarah, menjadi kekuatannya dalam menjalin persahabatan. Meski kadang ada satu dua tindakannya yang tak pas, ia sosok yang bisa menerima kritik dengan diam dan sesekali tersenyum — tanpa amarah atau penolakan terhadap kritik yang ditujukan kepada dirinya.

Itulah Bang Epek, sosok senior yang bisa ngemong terhadap yang lebih muda, menerapkan respek pada sahabatnya, dan tak pelit berbagi rezeki. Namanya yang cukup terkenal ini mampu menyentak jika ia hadir pada satu diskusi. Sentakan terkejut dan kehilangan yang sama dirasakan, saat berita kematiannya beredar di beberapa grup WhatsApp tanggal 28 Januari 2025 malam. Ia wafat dengan tenang pada usia 65 tahun di Jawa Barat. Tanpa sakit dan tanpa dirawat ia mendadak pergi meninggalkan keluarga, sahabat dan orang-orang yang pernah dibelanya.

Effendi Saman pergi tanpa memberi isyarat, bahkan beberapa belas jam sebelumnya, ia masih mengunggah keprihatinannya terhadap isu kontroversial “pagar laut” di kawasan perairan Banten. Bang Epek telah pergi dalam balutan semangat dan kepeduliannya bagi Indonesia yang lebih baik dan adil.

Selamat jalan, Bang. Semoga dari sana, denyut nadi dan pikiran Abang terus berdetak untuk menyuarakan pembelaan atas ketidakadilan dan penindasan. Dalam tidur abadimu ada semesta yang tak pernah henti berdoa mengiringi banyaknya kebaikan yang sudah Abang lakukan. Al Fatihah.

Penulis : Swary Utami Dewi

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *