Nasib Danantara Akan Seperti Indonesia Investment Authority (INA) 

  • Bagikan

MoneyTalk, Jakarta – Patut untuk kita ketahui bagaimana cikal bakal pembentukan Indonesia Investment Authority (INA) supaya bisa memahami bagaimana kiranya prediksi kinerja dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau (BPI Danantara). Sekarang terungkap bahwa sampai hari ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum pernah melahirkan produk auditnya atas INA. Terbukti didepan publik bahwa BPK belum pernah terlihat nyata berupaya sebagaimana seharusnya sesuai perundangan untuk berkinerja mengaudit tatakelola keuangan negara yang dipisahkan pada INA.

Ini juga bisa untuk menjadi gambaran bagi pengurus Danantara supaya tidak menghadapi hal yang buruk dalam berkinerja, sehinggs tetap sesuai dengan metode pemeriksaan yang baku oleh auditor keuangan negara (AKN).

Embrionya, pembentukan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 52/PMK.01/2007. PIP dibentuk sebagai upaya awal pemerintah dalam mengelola investasi negara sebelum akhirnya dikonsolidasikan dan ditransformasikan menjadi INA.

INA adalah lembaga pengelola investasi milik negara yang didirikan pada tahun 2021 dengan tujuan mendukung pembangunan berkelanjutan dan membangun kesejahteraan bagi generasi mendatang di Indonesia. Dengan landasan hukum tersebut, INA disebut-sebut beroperasi sebagai sovereign wealth fund (SWF) Indonesia yang bertujuan untuk mengoptimalkan nilai aset negara dan mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan, papar Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Senin, 24 Februari 2025.

INA dibentuk berdasar Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja; Peraturan Pemerintah (PP) nomor 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi; UU nomor 6 tahun 2023 yang menetapkan PP Pengganti UU nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dan PP nomor 74 tahun 2020 yang mengatur pembentukan, struktur, modal, dan tata kelola INA.

Disebut Iskandar Sitorus, dalam peraturan itu, INA disebut sebagai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) mirip Badan Pengeloa Investasi yang memiliki status sebagai Badan Hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Modal awal INA disebut berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp75 triliun, yang terdiri dari Rp30 triliun dana tunai dari APBN 2020 dan 2021 dan Rp45 triliun pengalihan saham pemerintah.

Selain itu, INA juga menerima investasi dari mitra internasional, seperti dari Amerika, International Development Finance Corporation dan Japan Bank for International Cooperation.

INA telah mengalokasikan investasi pada berbagai sektor strategis, portofolio itu dimulai dan berjalan dengan berbagai dinamika plus-minusnya, antara lain jalan tol di Trans-Sumatra dan Trans-Jawa, termasuk akuisisi ruas Medan-Binjai dan Bakauheni-Terbanggi Besar dengan nilai sekitar $1,4 miliar bersama APG Asset Management dan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA). Proyek juga dikabarkan sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memulai penyidikan terkait dugaan korupsi dalam pengadaan lahan di sekitar proyek Jalan Tol Trans Sumatera yang dilaksanakan oleh PT Hutama Karya (Persero) tahun anggaran 2018-2020.

KPK mengindikasikan adanya kerugian keuangan negara mencapai belasan miliar rupiah dalam proses pengadaan lahan tersebut. Pada Juni 2024, KPK juga sudah menyita 54 bidang tanah di Lampung Selatan yang diduga terkait dengan kasus ini. Tanah tersebut terdiri dari 32 bidang di Desa Bakauheni seluas 436.305 meter persegi dan 22 bidang di Desa Canggu seluas 185.928 meter persegi, dengan total nilai sekitar Rp150 miliar. KPK telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus ini, yaitu mantan Direktur Utama PT Hutama Karya berinisial BP, mantan Kepala Divisi di PT Hutama Karya berinisial MRS, dan seorang pihak swasta berinisial IZ. Mereka diduga terlibat dalam korupsi pengadaan lahan untuk proyek tol tersebut. Kasus-kasus itu menunjukkan pentingnya pengawasan ketat dan transparansi dalam pelaksanaan proyek infrastruktur berskala besar untuk mencegah praktik korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan.

Disebut juga INA bermitra dengan DP World untuk mengelola dan mengembangkan Belawan New Container Terminal (BNCT), yang merupakan terminal peti kemas tersibuk di Sumatera.

Dalam bidang elekomunikasi, INA menginvestasikan $800 juta ke dalam PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) operator menara telekomunikasi terbesar di Indonesia, bersama dengan Abu Dhabi Investment Authority dan Abu Dhabi Growth Fund. Demikian juga bisnis Pusat Data bekerja sama dengan GDS Holdings untuk mengembangkan platform pusat data guna mendukung transformasi digital di Indonesia.

Diketahui Mitratel bertransaksi tukar guling saham (Share Swap) dengan PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG). Pada tahun 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap rencana transaksi tukar guling saham antara Mitratel dan TBIG. Kajian tersebut mengindikasikan bahwa transaksi berpotensi merugikan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sebagai induk perusahaan Mitratel. Demikian juga penyelidikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tahun 2018, atas dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi tukar guling saham antara Mitratel dan TBIG. Penyelidikan ini dilakukan karena adanya indikasi bahwa transaksi tersebut dapat merugikan negara hingga Rp26 triliun. Ada juga laporan dugaan korupsi tahun 2017 oleh organisasi Pemuda Mandiri Peduli Rakyat Indonesia (PMPR Indonesia) yang melaporkan dugaan korupsi yang melibatkan direksi Mitratel ke BPK. Laporan tersebut menyoroti pembentukan Koperasi Mitra Telekomunikasi (Komitel) oleh Mitratel pada tahun 2010, yang diduga mengelola sekitar 25.000 menara komunikasi tanpa pengawasan dan kontrol yang memadai dari BPK.

INA juga menginvestasikan $500 juta ke dalam Pertamina Geothermal Energy, berkolaborasi dengan Masdar, untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Sementara terkait PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terdapat beberapa isu dan kekhawatiran yang pernah disorot terkait perusahaan itu yakni pengalihan aset PGE yang dilaporkan Februari 2023, mengindikasikan ada potensi korupsi dalam proses pengalihan aset PGE. Laporan tersebut menyarankan KPK melakukan investigasi lebih lanjut untuk memastikan penyimpangan dalam proses tersebut. Juga terkait penawaran umum perdana (IPO) PGE pada Februari 2023 menuai kritik dari beberapa pihak. Kritikus berpendapat bahwa langkah ini dapat merugikan keuangan negara dan meminta KPK untuk memantau proses tersebut guna memastikan tidak ada praktik korupsi yang terjadi.

Disektor kesehatan INA menginvestasikan $150 juta ke dalam PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), perusahaan farmasi milik negara, bersama dengan Silk Road Fund. KAEF menghadapi sejumlah tantangan keuangan yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Perusahaan ini telah mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi masalah keuangan yang dihadapinya. Seperti kerugian finansial dan penutupan pabrik, tahun 2023, KAEF melaporkan kerugian sebesar Rp1,82 triliun, yang sebagian besar disebabkan oleh lonjakan beban usaha pada anak perusahaannya, PT Kimia Farma Apotek (KFA). Kenaikan beban usaha ini diduga terkait dengan pelanggaran integritas dalam penyediaan data laporan keuangan di KFA. Sebagai respons, perusahaan itu berencana menutup 5 dari 10 pabrik obat yang dimilikinya dalam kurun waktu 3 hingga 5 tahun ke depan, sebagai upaya rasionalisasi dan efisiensi operasional. Selain itu, KAEF sedang melakukan audit investigasi terkait dugaan kecurangan dalam laporan keuangan di KFA. Proses investigasi ini diharapkan selesai pada Agustus 2024. Dampak pada Investasi INA
sebesar $150 juta ke dalam KAEF maka INA kemungkinan akan memantau perkembangan ini dengan cermat untuk memastikan bahwa investasinya tetap memberikan nilai tambah sesuai dengan tujuan awal.

Dibisnis teknologi dan pariwisata, INA memberikan pendanaan $300 juta kepada Traveloka, platform perjalanan digital terbesar di Asia Tenggara, untuk mendukung industri pariwisata dan ekonomi digital. Sementara Traveloka sedang menghadapi beberapa permasalahan yang melibatkan konsumen dan otoritas terkait di antaranya pernah disebut dalam sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel harga tiket pesawat oleh beberapa maskapai penerbangan. Namun, Traveloka tidak memenuhi panggilan persidangan tersebut, dan hingga kini tidak ada keputusan resmi mengenai keterlibatan Traveloka dalam kasus ini.

Untuk bisnis logistik dan pergudangan INA bekerja sama dengan ESR Group dan Mitsubishi Corporation untuk berinvestasi dalam tiga taman logistik guna meningkatkan efisiensi rantai pasok di Indonesia.Seperti itu terekam bagaimana kondisi portofolio INA, urai Iskandar Sitorus.

Walau kinerja INA disebut juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, dimulai pada tahun 2021 dengan pembentukan organisasi dan strategi investasi. Tahun 2022 mulai menyalurkan investasi ke berbagai sektor dan 2023 dengan pendapatan Rp5,4 triliun (tumbuh 57%) dengan laba bersih Rp4,3 triliun (naik 64%), total aset Rp147,6 triliun.

Namun dengan sedemikian kondisi kinerja INA maka bisa saja berpotensi konflik hukum dan pengawasan karena memiliki risiko dalam aspek keuangan negara. Apalagi hingga saat ini, INA belum pernah diaudit oleh BPK maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Itu disebut karena aturan PP nomor 74 tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi. Laporan keuangan INA diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) yang dipilih oleh Dewan Direktur berdasarkan persetujuan Dewan Pengawas dimana KAP harus terdaftar di BPK dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), papar Iskandar.

Dalam perspektif UU Keuangan Negara nomor 17 Tahun 2003 INA mengelola dana negara, tetapi jika tidak dianggap sebagai bagian dari keuangan negara, maka pengawasannya dapat diperdebatkan. Sebab dalam perspektif UU BPK nomor 15 tahun 2006 disebut BPK memiliki kewenangan untuk mengaudit keuangan negara. Jika INA dianggap sebagai entitas independen, pengawasannya bisa terbatas maka bertentangan dengan beberapa pasal yang mengatur kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan negara yang dipisahkan, termasuk kekayaan negara dalam BUMN/BUMD. Pasal yang relevan terkait dengan hal itu adalah pasal 6 ayat (1), yang menyebut bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, urai Iskandar Sitorus.

Selanjutnya, pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, serta lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Pasal 11 mengatur bahwa BPK melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sebut Iskandar Sitorus.

Sementara itu, pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar konstitusional BPK dengan tegas menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Hal ini bermakna bahwa BPK tetap memiliki otoritas tertinggi dalam mengaudit keuangan negara, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. Termasuk jika definisi kekayaan negara yang dipisahkan tersebut kemudian disimpangkan secara berbeda hanya oleh produk setingkat UU, tambah Iskandar Sitorus.

Maka perlu audit reguler oleh BPK untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas INA. Perlu juga harmonisasi regulasi dengan UU Keuangan Negara, UU BPK, dan UU Tipikor agar tidak ada celah hukum bagi potensi penyalahgunaan investasi INA. Dengan struktur yang lebih jelas dan transparan, INA dapat beroperasi secara efektif tanpa mengurangi aspek pengawasan dan akuntabilitas hukum yang seharusnya melekat dalam pengelolaan dana negara, tutup Iskandar Sitorus.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *