“Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya”.
Jakarta, MoneyTalk – Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf menyatakan akan melawan politik identitas, khususnya identitas agama dalam pemilu 2024–Pernyataan Ketua PBNU itu mengamini pernyataan Presiden Joko Widodo yang menghimbau rakyat agar jangan mengeksploitasi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama.
Tampaknya situasi saat ini sedang benar-benar kritis, bahwa bangsa kita kini tengah mengalami polarisasi sosial. Komitmen kebhinekaan kita tengah digerus oleh politik identitas bercorak “sosio destruktif-monokultur”, berputar-putar ke segala arah, tabrak sana tabrak sini seperti “gangsing”.
Politik identitas kita sebenarnya cuma untuk politik kekuasaan dengan menarik dukungan seluas-luasnya sesama ras, etnis dan agama, namun efeknya menimbulkan polarisasi sosial yang liar, bisa membuat orang susah tidur, bahkan membuat suami-isteri bercerai, tak ada yang tahu, ujungnya berhenti dimana.
Politisasi agama kita memiliki daya rusak yang dahsyat seperti bom hidrogen yang sulit pulih dalam jangka yang lama. Ruang publik kita sudah pengap oleh narasi-narasi provokatif menebar kebencian, bisa membuat orang marah-marah tidak jelas. Bahkan, telah menjadi pemantik api dendam sejarah.
Aroma bau amis politik Pilkada DKI 2017 telah menguak kembali sejarah hubungan Islam dan negara yang tidak enak dikisahkan. Sejarah politik identitas kita sudah jadi bagian dari sejarah kebangsaan yang salah kaprah; yaitu sejarah perlawanan terhadap konstitusi negara. Kita menyaksikan pembangkangan demi pembangkangan dimasa lalu; Kartosuwiryo, di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. PRRI di Sumatera Barat.
Politik identitas bukanlah keniscayaan, tergantung norma etik yang berlaku seperti apa di masa itu. Politik identitas kita hidup di masa yang terus berubah, suatu waktu bisa tidak memenuhi “selera” zaman. Coba hari ini anda meng-up date gerakan komunisme; kemudian mengibarkan bendera palu arit, maka pasti anda akan dibilang mengidap “skizofrenia”.
Zaman sudah berubah, kita sudah setengah abad meninggalkan era sosialisme–mesin uap, memasuki era liberalisme–algoritma digital. Anehnya, pelaku politik identitas kita masih mengolah isu-isu mengada-ada, seakan-akan PKI melakukan aksi-aksi brutal. Itu lebih gila dari orang gila sungguhan.
Pelaku politik identitas, sejatinya adalah kaum revivalisme; mereka bisa dengan lebay menunggang kuda bersorban putih, melintas di sirkuit balap Formula E, di Monas, membelah kerumunan 212, seakan-akan kita diajak hidup kembali ke zaman Umar Bin Khattab.
Beberapa waktu yang lalu para tokoh nasional pimpinan Gatot Nurmantyo mendirikan partai yang pernah berjaya di tahun 50-an, Masyumi, tapi kurang mendapat sambutan dari masyarakat, eksisnya hanya sehari di waktu deklarasi saja. Membangun politik identitas agama sudah ketinggalan zaman, kecuali menebar kebencian dan membuat kegaduhan.
Dulu, dimasa perjuangan kemerdekaan. Identitas kesukuan dalam Sumpah Pemuda, “jong java”, “jong sumatera”, “jong ambon”, dan jong lainnya digelorakan besar-besaran. Namun, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, identitas itu tidak dibutuhkan lagi. Ia ditanggalkan, atau tepatnya–diharamkan, demi menguatnya identitas yang baru, yaitu kebangsaan.
Begitulah tata nilai dan etika moral selalu berubah, seiring perubahan kehidupan yang dinamis. Situasi dan kondisi zaman-pun terus berubah, tidak selamanya politik identitas itu diperlukan secara permanen.
Pernyataan Presiden Jokowi cuma pesan moral, tidak mengikat. Akan tetapi, di masa orde baru, upaya menghabisi politik identitas tidak main-main. Bahkan, engineering politik diturunkan dalam bentuk undang-undang dan tindakan represif aparat. Kontestasi Pemilu saat itu dilebur hanya menjadi dua parpol dan satu golongan.
Politik identitas yang bagaimana yang memenuhi selera zaman? Seperti memelihara kebun di taman, jika terlihat tangkai yang mengganggu keindahan, maka harus dipangkas. Tebang pilih adalah keterpaksaan (bukan kesewenangan); memangkas pembuat kegaduhan, seraya memberi ruang kepada elemen yang produktif terhadap kesatuan dan persatuan bangsa.
Sepertinya, Jokowi juga tidak main-main melawan politik identitas, Presiden yang suka tampil sederhana itu punya caranya sendiri, cara-cara yang terkesan “mendidik”.
Memang tidak ada jaminan politik identitas tidak menguat kembali menjelang Pilpres 2024. Penghimpunan partai-partai dalam koalisi besar, sejatinya adalah untuk menggerus koalisi parta-partai oposisi, pengusung politik identitas.
Penangkapan terhadap Sekjen Nasdem, Jhoni G. Plate, hari ini, merupakan signal, bahwa orang-orang yang ngeyel terhadap negara bisa mendadak menjadi “vloger”, berpose mengenakan busana orange, sambil tangan diborgol. Pelajaran bagi Nasdem duduk di pemerintahan, tapi membangun koalisi dengan partai-partai oposisi; ini kan, jeruk makan jeruk.
Meski rekayasa negara melalui program-program deradikalisasi di BUMN, Perguruan Tinggi dan pemerintahan sampai ke tingkat RT dan RW, tidak ada jaminan tidak muncul lagi politik identitas. Ancaman disharmoni dan polarisasi sosial masih menghantui. Hari esok tidak ada yang tahu. (MT)
Wallohu’alam Bishshowab
Kurnia P. Kusumah
Wakil Ketua PWNU Jawa Barat