Propaganda di Balik Kabinet: Ancaman Besar Jika Tak Dilanjutkan?

  • Bagikan
Propaganda di Balik Kabinet: Ancaman Besar Jika Tak Dilanjutkan?
Propaganda di Balik Kabinet: Ancaman Besar Jika Tak Dilanjutkan?

MoneyTalk, Jakarta – Mardigu Wowiek Prasetyo, pengamat strategi dan geopolitik, dalam kanal YouTube-nya pada Rabu (30/10), menyampaikan pandangannya terkait konsep propaganda sebagai alat untuk mengubah pola pikir masyarakat secara besar-besaran, yang ia sebut sebagai “changing mindset.” Ia menyoroti bahwa bentuk perang modern bukan lagi sebatas perang fisik atau “battleground” seperti yang umumnya dibayangkan, melainkan lebih kompleks dengan konsep “battlespace” — sebuah perang ideologi dan informasi yang terjadi di udara, di dunia maya, dan dalam konten yang dibagikan secara luas.

Propaganda sebagai Pengubah Pola Pikir

Menurut Mardigu, propaganda adalah ilmu tertinggi dalam strategi mempengaruhi opini publik. Berbeda dari sekedar agitasi atau provokasi, propaganda bertujuan untuk secara perlahan mengubah pola pikir individu atau kelompok, seringkali tanpa mereka sadari. Dalam konteks Indonesia, Mardigu mencontohkan propaganda bisa saja digunakan untuk mengarahkan masyarakat pada ideologi tertentu. Walaupun ia menyebutkan “khilafah” sebagai contoh hipotetis, esensinya adalah propaganda mampu mengubah persepsi publik secara masif untuk mendukung atau menolak konsep tertentu.

Ia menekankan, propaganda tidak bisa dinilai dari satu informasi saja, karena sering kali ada serangkaian pesan yang saling terkait untuk membentuk pemahaman atau kepercayaan tertentu. Melawan propaganda tersebut, menurut Mardigu, harus dilakukan dengan “counter-propaganda” yang terorganisir, melibatkan pemahaman mendalam atas perubahan dalam ilmu komunikasi massa yang telah berkembang dari penggunaan media cetak hingga media sosial yang kini menguasai medan perang informasi.

Perang Ekonomi dan Kedaulatan Negara

Mardigu melihat, salah satu bentuk “ancaman besar” bagi Indonesia adalah ketidakmampuan menjaga kedaulatan ekonomi, finansial, dan sumber daya alam. Ia menyoroti kasus Freeport sebagai contoh ketidakseimbangan ekonomi yang menyebabkan Indonesia hanya menerima sebagian kecil keuntungan dari tambang Grasberg di Papua, sementara hasil samping berharga seperti emas, platinum, dan uranium diklaim negara lain. Menurutnya, aturan yang mengharuskan kandungan konsentrat nikel hanya 25% adalah bentuk “jebakan” yang membuat Indonesia tidak bisa mengakses mineral berharga lain seperti lithium dan ferro.

Mardigu mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk “penjajahan ekonomi modern.” Peraturan kandungan mineral yang rendah untuk ekspor, seperti yang diterapkan pada nikel dan timah, mengakibatkan Indonesia hanya dibayar berdasarkan kandungan mineral utama saja, sementara unsur penting lain seperti torium dan osmium yang terdapat dalam timah tidak dihargai. Ia menyatakan, jika kondisi ini berlanjut tanpa perubahan kebijakan yang signifikan, Indonesia akan terus merugi dalam eksploitasi sumber daya alamnya.

Keberadaan “Metal Road” sebagai Jalan Kedaulatan

Untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi, Mardigu mengusulkan konsep “metal road” atau jalan mineral sebagai bentuk modern dari jalur perdagangan rempah di masa lalu. Ia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki hampir semua unsur mineral dalam tabel periodik di wilayah Nusantara. Dengan memanfaatkan kekayaan alam tersebut secara mandiri dan menetapkan harga yang wajar, Indonesia dapat mengontrol distribusi dan penjualan mineral tanpa bergantung pada negara lain.

Indonesia, menurut Mardigu, sudah dianugerahi dengan kekayaan alam yang luar biasa, dan kebijakan “metal road” ini adalah salah satu cara mengamankan potensi yang ada. Melalui kebijakan tersebut, Indonesia bisa mengembangkan sektor industri mineral sendiri sehingga keuntungan dari setiap mineral yang diekstraksi bisa dinikmati penuh oleh bangsa ini, bukan oleh negara asing. Ini adalah bentuk “sovereignty” atau kedaulatan yang perlu dimiliki dalam menghadapi era perang informasi dan ekonomi global.

Ancaman “Battlespace” untuk Generasi Mendatang

Mardigu berpendapat, ancaman terhadap kedaulatan ekonomi ini hanya akan terus meningkat di era “battlespace,” di mana perang lebih kepada kontrol atas narasi, pemikiran, dan pemahaman publik. Ia memperingatkan generasi muda, terutama yang nantinya akan memimpin dalam empat hingga lima tahun ke depan, untuk tidak hanya fokus pada kepentingan jangka pendek. Generasi ini, menurutnya, harus memanfaatkan waktu untuk mempelajari geopolitik dan ekonomi agar siap mempertahankan kedaulatan bangsa.

Ia menyoroti pentingnya pemahaman anak muda tentang ilmu komunikasi massa dan propaganda, terutama dalam memahami kapan suatu informasi atau wacana merupakan bagian dari agenda besar pihak lain yang mungkin memiliki niat tertentu untuk melemahkan kedaulatan Indonesia. Pengetahuan ini menjadi kunci dalam mencegah Indonesia menjadi korban dari propaganda internasional yang secara sistematis ingin menguasai sumber daya alam dan mengendalikan pasar serta ekonomi nasional.

Mengantisipasi Ancaman yang Dihadapi Kabinet

Sejalan dengan pandangan Mardigu, terdapat keharusan untuk lebih waspada terhadap “ancaman besar” yang mungkin muncul jika pemerintah gagal mengantisipasi pengaruh propaganda ekonomi dan ideologi asing. Kabinet perlu memperkuat posisi Indonesia dalam perjanjian ekonomi internasional dan menerapkan kebijakan yang melindungi sumber daya alam dari eksploitasi asing.

Dengan mengadopsi strategi yang mengedepankan kepentingan nasional, kabinet dapat mengelola kekayaan alam dan ekonomi untuk kemakmuran rakyat, serta menyiapkan generasi muda agar tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga pemegang kendali dalam perang informasi dan ideologi di masa depan. Ancaman di era “battlespace” ini adalah nyata, dan Indonesia perlu melangkah lebih jauh dalam mempertahankan kedaulatan bangsa agar tidak tergantung pada kekuatan asing yang secara sistematis menguasai sektor-sektor vital ekonomi dan informasi.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *