You Jokowi Syndrome
MoneyTalk, Jakarta – Langkah Presiden Jokowi di akhir masa kepresidenannya semakin aneh dan seperti tidak menyadari situasi dan kondisi. hanya dua bulan menjelang lengser dia masih melakukan reshuffle kabinet! Presiden Jokowi mengganti menteri-menteri di sektor-sektor yang sangat strategis seperti ESDM dan KUMHAM.
hal ini menjadi perhatian serius M.Jehansyah Siregar DR. Dosen Institute Teknologi Bandung dalam tulisannya menyoroti kepemimpinan jokowi yang makin nyleneh gak karuan.
Jehansyah mengungkapkan Meskipun ada yang membenarkannya sebagai proses keberlanjutan dan sinkronisasi pergantian presiden, namun tetap saja aneh. Banyak kalangan yang mencapnya sarat kepentingan, penuh dengan siasat politik dan jauh dari persoalan teknis dan teknokratik demi kepentingan masyarakat.
Ada banyak versi yang mengulas fenomena ini. Di antaranya ada yang mengatakan Jokowi seperti menentang fenomena “lame duck president”. Ada pula yang menyebutkan Jokowi melakukan “fait accompli” atau cawe-cawe terhadap presiden terpilih Prabowo Subianto.
Namun singkat cerita, kita namakan saja fenomena unik ini sebagai “Jokowi Syndrome” yang akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi. Mengapa? Karena fenomena ini memang sangat unik dan sangat khas presiden Jokowi.Reshuffle kabinet di akhir masa jabatan itupun tampaknya bukan yang terakhir dari Jokowi Syndrome.
“Kalau kita amati, ada kemiripan dengan fenomena “Cinderella Syndrome”,kata Jehansya
situasi itu menggambarkan kisah seorang wanita biasa yang ingin bertahan sebagai seorang putri. Puteri Cinderella menjelang habis waktunya di tengah malam melakukan berbagai upaya untuk tetap bertahan menjadi seorang puteri dalam kehidupan yang indah.
Jehansya menyamakan hal tersebut sebagai peristiwa “Jokowi Syndrome” berarti adanya keinginan Jokowi untuk mempertahankan statusnya sebagai presiden atau orang yang paling berkuasa. Hal ini semakin terkonfirmasi dari pengakuan sejumlah politisi yang membenarkan adanya keinginan Jokowi untuk 3 periode atau memperpanjang masa jabatan selama 3 tahun.
Keinginan tersebut akhirnya terlaksana dengan dicalonkannya puteranya sebagai wakil presiden. Meskipun banyak pelanggaran di MK yang terjadi. Dengan berbagai upaya, maka terpilih juga puteranya sebagai wakil presiden.
Namun belum berhenti sampai di situ. Fenomena Jokowi Syndrome ternyata terus menyala. Semakin mendekati akhir masa jabatan justru semakin menyala-nyala.
Jokowi Syndrome dialami pula dalam suasana tekanan waktu. Jika Cinderella mengalami tekanan waktu hingga pukul 12 tengah malam, maka presiden tampak sekali tertekan dalam masa waktu hingga tanggal 20 Oktober 2024. Yaitu masa berakhirnya kekuasaan yang digenggamnya.
Cinderella melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan status indahnya sebagai seorang puteri, namun pada akhirnya batasan waktu itu tidak dapat dihindari.
Lebih jauh, fenomena Jokowi Syndrome ini juga mendekati kondisi psikologis yang disebut FOMO, yaitu singkatan dari fear of missing out. Ini sebuah ketakutan psikologis akan kehilangan sesuatu yang berharga, dalam hal ini adalah status sebagai seorang presiden. Ada anxiety atau kecemasan di dalamnya.
Kecemasan muncul akibat tekanan waktu dan ketidakpastian akan masa depan. Ada pula sikap penolakan untuk menerima kenyataan bahwa kekuasaan tidak akan bertahan selamanya.
Istilah “cinderella syndrome” adalah istilah yang juga menggambarkan ketakutan seorang wanita untuk menjadi mandiri dan memiliki keinginan yang kuat untuk dirawat oleh pangeran. Maka “Jokowi Syndrome” juga sangatlah mirip.
Tampaknya ada rasa ketakutan dari Jokowi dan keluarganya untuk kehilangan kekuasaan dan terus ingin berada dalam pelukan kekuasan dan jabatan. Dalam kasus Cinderella, dia takut kehilangan kehidupan mewahnya sebagai seorang puteri. Jokowi dan keluarganya juga seperti yang takut kehilangan kehidupan mewah sebagai presiden atau pejabat tinggi.
Akhirul kalam, fenomena seperti ini barangkali masih jadi yang pertama di dunia. Rasanya belum ada presiden di Indonesia atau bahkan di negara-negara demokratis lainnya yang memiliki sindrom yang serupa. Untuk itu, istilah Jokowi Syndrome patut pula diangkat menjadi istilah baru dalam khasanah politik global.
“Sebagaimana pula istilah “post-power syndrome” ataupun “lame duck president” yang sudah lebih dahulu dikenal. Lebih jauh, fenomena “Jokowi Syndrome” ini memang sangat menarik dan perlu dijadikan bahan telaah dalam studi-studi ilmu politik”, tutup jehansyah.(c@kra)