MoneyTalk, Jakarta – Relawan Pengusaha Muda Nasional (REPNAS) menggelar REPNAS National Conference & Awarding Night 2024 bertajuk “Energi Mandiri, Ekonomi Berdikari” pada 14 Oktober 2024. Tema besar acara ini adalah Kolaborasi Pengusaha Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8%, menyoroti peran sektor energi dalam perekonomian Indonesia yang berkelanjutan. Salah satu topik penting yang diangkat adalah transisi energi menuju bioenergi sebagai solusi untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.
Rektor IPB University, Prof. Arif Satria, dalam sesi diskusi menyampaikan bahwa perubahan iklim berdampak signifikan terhadap sektor pertanian dan energi. Menurutnya, setiap kenaikan suhu sebesar 1 derajat Celsius bisa menyebabkan penurunan 10% produksi pangan, khususnya padi. Hal ini mendorong pentingnya transisi energi ke bioenergi untuk menciptakan pembangunan rendah karbon dan menjaga ketahanan pangan serta energi.
Namun, di balik potensi besar pengembangan bioenergi, terdapat berbagai tantangan dan risiko yang harus dihadapi. Berikut ini adalah penjabaran mengenai beberapa tantangan utama dalam pengembangan bioenergi di Indonesia:
Pengembangan bioenergi seperti biodiesel dan bioetanol membutuhkan infrastruktur yang memadai untuk distribusi dan produksi. Salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan infrastruktur yang mendukung penggunaan energi terbarukan.
Misalnya, dalam implementasi program B30 (biodiesel dengan kandungan 30% minyak sawit), jarak antara lokasi pembangkit listrik dan jaringan distribusi sering menjadi masalah. Hal ini menyebabkan biaya logistik menjadi lebih tinggi, yang kemudian berdampak pada harga produk energi tersebut.
Di sisi teknologi, meskipun Indonesia memiliki banyak sumber daya bioenergi, seperti sawit, sekam padi, kayu, dan karet, teknologi yang efisien untuk mengolah dan memanfaatkannya masih terbatas. Inovasi dalam teknologi seperti genomik untuk peningkatan produktivitas sawit serta bioetanol dari limbah sawit baru mulai berkembang, namun belum diadopsi secara luas.
Prof. Arif Satria menekankan bahwa pengembangan bioenergi membutuhkan dukungan fiskal yang kuat, terutama insentif untuk produsen biodiesel dan bioetanol. Namun, terbatasnya dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi tantangan utama.
Kebutuhan dana insentif semakin besar jika selisih antara harga indeks biodiesel dan harga minyak bumi semakin melebar. Situasi ini menciptakan risiko fiskal yang tinggi bagi pemerintah, terutama ketika harga minyak dunia menurun, sementara biaya produksi bioenergi tetap tinggi.
Selain itu, penggunaan dana perkebunan sawit untuk program biodiesel masih menjadi perdebatan. Banyak pihak khawatir bahwa peningkatan pungutan ekspor sawit untuk mendukung bioenergi akan menurunkan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia di pasar global. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel dan transparan untuk mendukung industri bioenergi tanpa merugikan sektor pertanian dan ekspor.
Pengembangan bioenergi, khususnya dari kelapa sawit, juga membawa risiko lingkungan yang signifikan. Permintaan yang meningkat untuk minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel dapat mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.
Diperkirakan, untuk memenuhi target B50 (50% biodiesel dari sawit), perlu ada ekspansi perkebunan sawit sebesar 9,2 juta hektar. Ekspansi ini tidak hanya mengancam hutan dan keanekaragaman hayati, tetapi juga berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat deforestasi.
Prof. Arif juga menyoroti bahwa peningkatan penggunaan sawit untuk bioenergi akan meningkatkan tekanan pada sektor pangan, karena sawit juga merupakan bahan baku minyak goreng. Kesenjangan antara produksi energi dan pangan ini dapat menciptakan ketidakstabilan harga pangan di pasar domestik.
Pasar bioenergi di Indonesia masih sangat bergantung pada insentif dari pemerintah. Produsen biodiesel dan bioetanol sering kali kurang tertarik untuk menembus pasar internasional karena permintaan domestik yang tinggi dan dukungan pemerintah. Namun, ini dapat menjadi hambatan dalam jangka panjang, karena pasar internasional menawarkan peluang pertumbuhan yang lebih besar.
Selain itu, munculnya teknologi energi alternatif seperti mobil listrik dan bahan bakar hijau lainnya dapat mengurangi permintaan untuk biodiesel dan bioetanol. Kompetisi ini dapat mengganggu keberlanjutan industri bioenergi jika produsen tidak mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing mereka di pasar global.
Regulasi yang mendukung pengembangan bioenergi di Indonesia sebenarnya sudah ada, seperti undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Namun, penerapan kebijakan ini sering kali terkendala oleh masalah tata ruang, terutama di tingkat daerah. Lahan-lahan pertanian irigasi yang seharusnya dilindungi sering kali dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit atau peruntukan lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Untuk menghadapi tantangan regulasi ini, diperlukan pendekatan yang lebih terintegrasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara sektor energi dan pertanian. Tanpa adanya kebijakan yang tegas dan implementasi yang konsisten, pengembangan bioenergi di Indonesia akan sulit mencapai potensinya yang maksimal.
Menurut Prof. Arif, perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam pengembangan inovasi bioenergi. Inovasi dalam teknologi seperti genomik untuk bibit sawit dan pengembangan bioetanol dari limbah pertanian harus didorong melalui riset yang terintegrasi. Kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah dalam hilirisasi inovasi ini menjadi kunci dalam mendorong pengembangan bioenergi yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, pengembangan green technopreneur atau wirausaha hijau perlu diprioritaskan untuk menciptakan solusi inovatif bagi tantangan energi dan lingkungan. Perguruan tinggi, melalui pendidikan dan risetnya, harus menghasilkan tenaga kerja dan wirausahawan yang mampu berkontribusi dalam transisi energi bersih.
Pengembangan bioenergi menawarkan peluang besar bagi Indonesia dalam mencapai transisi energi bersih dan pembangunan berkelanjutan. Namun, tantangan yang ada, mulai dari infrastruktur, risiko fiskal, hingga dampak lingkungan, memerlukan strategi yang komprehensif dan kolaborasi lintas sektor. Melalui regulasi yang kuat, inovasi teknologi, dan keterlibatan aktif dari akademisi serta industri, Indonesia bisa mengatasi risiko ini dan memanfaatkan potensi bioenergi secara maksimal untuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.(c@kra)