MoneyTalk, Jakarta – Abednego Panjaitan, Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992, menyampaikan pandangannya mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait prioritas penggunaan tenaga kerja lokal dan pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Putusan MK ini adalah respons atas permohonan uji materi UU Cipta Kerja yang diajukan oleh berbagai federasi dan serikat pekerja.
Dalam pernyataannya Abednego mengatakan, “Yang sudah menjadi keputusan hukum kita hormati dan patuhi, walaupun terkait PKWT malah putusannya lebih buruk dari UU nomor 13 Tahun 2003.”
Konteks dan Makna Putusan MK
MK dalam putusan terbaru ini, memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Cipta Kerja yang diajukan oleh beberapa federasi dan serikat pekerja. Salah satu poin penting dari putusan ini adalah penegasan bahwa setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal dibandingkan dengan tenaga kerja asing (TKA) di semua jenis jabatan yang tersedia.
Selain itu, MK juga menetapkan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), di mana jangka waktu penyelesaian PKWT tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan yang diperbolehkan. Dalam UU Cipta Kerja sebelumnya, PKWT kerap kali diperpanjang tanpa batas yang jelas, menyebabkan ketidakpastian bagi tenaga kerja, yang sering kali bekerja dalam status kontrak jangka panjang tanpa kepastian pengangkatan sebagai karyawan tetap.
Abednego Panjaitan mengungkapkan, sikap hormat terhadap keputusan hukum yang diambil MK, meskipun ia menyampaikan kekhawatirannya terkait aturan PKWT yang justru dirasakannya lebih buruk dibanding UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Abednego, meskipun putusan MK ini mempertegas penggunaan tenaga kerja lokal dan memberikan batas waktu bagi PKWT, masih terdapat kekurangan dalam melindungi pekerja kontrak yang tidak dijamin kepastian status dan kesejahteraannya.
“Putusan ini memang memberikan kejelasan waktu pada PKWT, tetapi jangka waktu maksimal lima tahun masih cukup lama untuk seorang pekerja terombang-ambing tanpa status tetap. Dalam UU No. 13 Tahun 2003, meski ada kelemahan, perlindungan bagi pekerja kontrak terasa lebih manusiawi,” jelas Abednego.
Dampak Putusan MK terhadap Tenaga Kerja Lokal dan Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Putusan ini berdampak signifikan dalam memberikan prioritas kepada tenaga kerja Indonesia, terutama dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing. Selama ini, beberapa sektor strategis, terutama di bidang teknologi dan konstruksi, sering kali diisi oleh tenaga kerja asing dengan alasan keterampilan khusus. Namun, dengan putusan ini, perusahaan di Indonesia kini harus menempatkan tenaga kerja lokal sebagai prioritas, memberikan kesempatan bagi pekerja Indonesia untuk mengisi posisi-posisi penting dalam industri yang berkembang.
Namun, Abednego menekankan bahwa prioritas tenaga kerja lokal ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Menurutnya, pemerintah dan perusahaan harus lebih aktif dalam memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan agar tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing yang lebih tinggi dan siap bersaing dalam posisi-posisi strategis.
Kontroversi Jangka Waktu PKWT
Putusan MK terkait batasan jangka waktu PKWT maksimal lima tahun menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, keputusan ini memberikan batasan yang lebih jelas sehingga perusahaan tidak bisa memperpanjang kontrak kerja tanpa batas. Namun, bagi beberapa serikat pekerja, aturan ini masih belum cukup melindungi pekerja kontrak. Mereka mengkhawatirkan bahwa pekerja masih akan terjebak dalam status kontrak hingga lima tahun, yang dinilai terlalu lama tanpa adanya jaminan pengangkatan sebagai karyawan tetap.
Abednego mengungkapkan keprihatinannya terhadap durasi lima tahun ini, dengan menyatakan, “Waktu lima tahun adalah masa yang sangat panjang bagi seorang pekerja untuk berada dalam ketidakpastian. Kesejahteraan dan jaminan sosial pekerja kontrak harus tetap diperhatikan.” Dalam pandangan SBSI, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk memperkuat perlindungan bagi pekerja kontrak, termasuk aturan mengenai pesangon dan tunjangan lainnya, agar mereka tidak berada dalam posisi yang rentan.
Harapan dan Langkah ke Depan
Abednego berharap bahwa putusan ini menjadi momentum untuk memperbaiki perlindungan bagi pekerja Indonesia, baik yang berstatus tetap maupun kontrak. Ia juga menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan. Selain itu, Abednego juga mendorong pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap implementasi prioritas tenaga kerja lokal, terutama dalam industri-industri strategis.
“Kita perlu memastikan bahwa putusan ini bukan hanya sekadar aturan di atas kertas, tetapi benar-benar dilaksanakan dengan konsisten di lapangan. Hanya dengan cara inilah kita dapat melindungi tenaga kerja kita dan memberikan mereka kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa,” tegas Abednego.
Putusan MK terkait prioritas tenaga kerja lokal dan batas waktu PKWT merupakan langkah penting dalam reformasi ketenagakerjaan di Indonesia. Meskipun masih terdapat kekurangan yang perlu disempurnakan, keputusan ini diharapkan dapat menjadi fondasi bagi perlindungan pekerja Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing.
Dengan komitmen semua pihak, terutama pemerintah dan pelaku industri, kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dan memperkuat perekonomian nasional.