MoneyTalk, Jakarta – Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus utang sekitar 6 juta bagi petani, nelayan, dan UMKM mendapatkan sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri. Langkah ini dinilai sebagai upaya strategis untuk meningkatkan produktivitas petani dan nelayan serta mendukung target swasembada pangan dalam empat tahun mendatang.
Namun demikian, Rokhmin mengingatkan pentingnya pelaksanaan dan pengawasan ketat terhadap program ini. Tujuannya untuk menghindari risiko penyalahgunaan atau “moral hazard.” Berikut ulasan lengkap dialog antara Shinta Zahara dengan Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, serta Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (AkuMandiri), Hermawati Setyorinny, dalam program Squawk Box CNBC Indonesia.
Menurut Rokhmin Dahuri, pemutihan utang ini merupakan salah satu langkah paling beralasan dalam kondisi saat ini. Banyak petani dan nelayan terjerat utang bukan karena kelalaian, melainkan akibat kondisi yang tidak bisa mereka kendalikan, seperti dampak pandemi COVID-19, fenomena El Nino yang mengganggu hasil panen, hingga perlambatan ekonomi global yang berpengaruh pada daya beli masyarakat.
Rokhmin mengungkapkan, swasembada pangan adalah salah satu prioritas utama Presiden Prabowo dalam program ekonominya, seiring dengan swasembada energi, pengentasan kemiskinan, dan industrialisasi. Ketahanan pangan dianggap krusial karena berkaitan langsung dengan kualitas sumber daya manusia dan kemandirian ekonomi suatu bangsa.
“Pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa,” ujar Rokhmin, mengutip pernyataan Presiden Sukarno pada 1952.
Dampak Positif Rencana Penghapusan Utang bagi Produktivitas Pertanian dan Perikanan
Rokhmin menyampaikan bahwa rencana penghapusan utang akan memberikan ruang bagi petani dan nelayan untuk meningkatkan produktivitas tanpa beban finansial yang berlebihan. Ia percaya bahwa pemutihan utang ini akan meningkatkan semangat dan motivasi mereka dalam mengembangkan usaha pertanian dan perikanan.
Dengan produktivitas yang meningkat, swasembada pangan bisa tercapai lebih cepat, sehingga ketergantungan Indonesia pada impor bahan pangan dapat dikurangi. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa rencana ini harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian agar dampaknya benar-benar positif dan tidak menimbulkan beban di masa depan.
Rokhmin menekankan pentingnya pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya moral hazard. Ada dua risiko utama yang ia soroti. Pertama, adanya kemungkinan pihak-pihak yang tidak memenuhi kriteria, seperti kerabat pejabat desa atau keluarga kepala dinas, ikut memanfaatkan program ini. Kedua, program pemutihan ini berpotensi membuat sebagian petani dan nelayan merasa terlalu nyaman dengan bantuan, sehingga semangat untuk berkembang dan berjuang berkurang.
Oleh karena itu, Rokhmin menekankan bahwa bantuan ini harus dijadikan sebagai “pengungkit” untuk mengeluarkan petani dan nelayan dari kemiskinan, bukan membuat mereka terlalu bergantung pada bantuan pemerintah. Menurutnya, kriteria yang ketat harus ditetapkan oleh kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Koperasi dan UMKM.
Dalam dialog tersebut, Rokhmin juga mengingatkan pentingnya sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga terkait, seperti dinas pertanian, dinas perikanan, dan dinas koperasi di tingkat provinsi, kabupaten, hingga desa. Hal ini bertujuan agar program penghapusan utang ini benar-benar tepat sasaran dan manfaatnya dirasakan oleh mereka yang berhak, yaitu petani, nelayan, dan UMKM yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Rokhmin menggarisbawahi bahwa DPR RI, khususnya Komisi IV, akan menjalankan fungsi pengawasan secara profesional untuk memastikan program pemutihan ini berjalan sesuai dengan ketentuan dan tidak menimbulkan kerugian bagi negara.
Rokhmin juga menyinggung rendahnya akses petani dan nelayan terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 3,4% petani dan nelayan yang berhasil mengakses KUR selama 10 tahun terakhir. Meskipun KUR dirancang dengan bunga yang rendah dan tanpa persyaratan agunan, kenyataannya akses mereka masih terhambat oleh prosedur perbankan yang sulit.
Ia menyarankan agar perbankan lebih percaya pada kementerian teknis, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam penyaluran kredit kepada kelompok petani dan nelayan yang dinilai layak. Dengan demikian, mereka yang benar-benar membutuhkan dapat memperoleh akses lebih mudah dan cepat.
Jika dilaksanakan dengan benar, program pemutihan utang ini dapat berdampak besar dalam mendukung tercapainya swasembada pangan yang menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi Indonesia di era kepemimpinan Presiden Prabowo. Selain meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan UMKM, program ini juga diharapkan memperkuat ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Dengan adanya sinergi yang kuat antara pemerintah pusat, daerah, serta dukungan penuh dari legislatif dan perbankan, program ini diharapkan dapat berjalan sesuai harapan dan menjadikan Indonesia lebih mandiri dalam hal pangan, serta meningkatkan daya saing ekonomi di pasar global.(c@kra)