Republik dalam Bahaya: Kriminalisasi Tom Lembong Hanyalah Permulaan

  • Bagikan
Tom Lembong Ditangkap, Inikah Praktik Industri Hukum di Indonesia?
Tom Lembong Ditangkap, Inikah Praktik Industri Hukum di Indonesia?

MoneyTalk, Jakarta – Pernyataan tertulis Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe), pada 3 November 2024, membuka pandangan yang mengkhawatirkan atas ancaman yang dihadapi Republik Indonesia. Kasus kriminalisasi terhadap Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan dan figur penting dalam kampanye pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, menunjukkan tanda-tanda potensi krisis serius yang dapat merongrong stabilitas dan legitimasi pemerintah. Alhadar menekankan, kasus ini seakan disengaja untuk mendelegitimasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan menciptakan konflik di dalam tatanan pemerintahan.

Tom Lembong yang juga pernah menjabat sebagai penasihat ekonomi dan pembuat pidato untuk Presiden Joko Widodo, baru-baru ini dijadikan tersangka atas dugaan korupsi terkait impor gula kristal mentah. Meskipun kasus tersebut berasal dari periode yang jauh, bahkan sebelum beberapa menteri perdagangan yang menjabat setelahnya melakukan hal serupa dengan jumlah impor yang lebih besar, Lembong justru menjadi satu-satunya yang diproses secara hukum. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat maupun pakar hukum.

Langkah Kejaksaan Agung dianggap sebagai bentuk kriminalisasi kebijakan—sebuah tindakan yang dinilai janggal. Banyak pihak menduga ada motif politik yang ingin menyingkirkan figur-figur kritis dari panggung politik. Padahal, setelah pemilu selesai dan Prabowo-Gibran terpilih, logikanya tidak ada kepentingan politis untuk menyingkirkan Tom Lembong, terutama mengingat ia tidak memiliki basis massa yang besar.

Smith Alhadar secara tegas menyebut, tidak ada indikasi Presiden Prabowo Subianto terlibat dalam kasus ini. Bahkan, Partai Gerindra menyampaikan kekecewaannya atas langkah Kejaksaan Agung yang menargetkan Lembong. Dalam skenario ini, Prabowo sebenarnya berfokus pada stabilitas, dengan niat menghindari keributan yang dapat memperburuk citranya di awal pemerintahan. Namun, dinamika di balik layar memperlihatkan keberadaan loyalis Jokowi di berbagai posisi strategis, yang memunculkan kecurigaan akan adanya upaya untuk mengganggu kestabilan pemerintahan.

Salah satu loyalis yang disorot adalah Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang sudah lama mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Smith menilai Burhanuddin merupakan “pasien komorbid” Jokowi, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Situasi ini memunculkan asumsi bahwa kriminalisasi Lembong hanyalah permulaan dari strategi yang lebih luas untuk menciptakan skandal dan krisis demi memburukkan citra pemerintahan saat ini.

Menurut Alhadar, model politik Jokowi yang dikenal sebagai authoritarian legalism, yakni memanfaatkan hukum untuk mempertahankan kontrol, sangat terlihat dalam manuver yang terkesan ingin melemahkan Prabowo. Meski Jokowi sudah tidak menjadi presiden, ia masih memiliki kendali melalui penempatan loyalis di berbagai institusi penting seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan kepolisian. Keberadaan kekuasaan “bayangan” ini berpotensi besar membahayakan Republik karena adanya kepentingan yang melampaui otoritas resmi pemerintah.

Prabowo menghadapi tantangan besar untuk mengembalikan stabilitas dan kepercayaan publik pada pemerintahannya. Alhadar menyoroti bahwa Prabowo harus mengambil langkah tegas untuk menyingkirkan “unsur-unsur Jokowi” yang dianggap merusak. Ini bukan langkah yang mudah karena loyalitas yang kuat kepada Jokowi masih terlihat di beberapa kalangan pejabat tinggi. Namun, jika Prabowo tidak bertindak, ia justru bisa tersandera oleh situasi ini, yang akan menambah ketidakstabilan politik dalam negeri.

Alhadar menyebutkan, aksi-aksi Jokowi melalui loyalisnya dapat didorong oleh motif politik tertentu, termasuk potensi ambisi politik keluarga Jokowi di masa depan. Keinginan untuk mengamankan posisinya dalam jangka panjang bisa jadi alasan di balik upaya untuk mendelegitimasi Prabowo. Hal ini mengindikasikan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, pemerintah Prabowo bisa terjebak dalam lingkaran ketidakstabilan yang tidak kunjung usai.

Untuk mencegah krisis lebih lanjut, Prabowo perlu melakukan reformasi internal di jajaran pemerintahannya. Langkah-langkah strategis seperti memperkuat peran lembaga-lembaga independen, mengurangi pengaruh tokoh-tokoh bermasalah, serta memperjelas kebijakan hukum yang adil dan transparan sangat diperlukan. Reformasi ini harus mencakup pencopotan pejabat yang terbukti lebih loyal kepada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dibandingkan dengan dedikasi mereka terhadap negara.

Bagi Prabowo, ini merupakan ujian untuk membuktikan bahwa ia bisa memimpin Indonesia ke arah yang lebih baik dan mewujudkan cita-cita reformasi yang disuarakan sejak 1998. Jika gagal, ia tidak hanya akan kehilangan dukungan publik, namun juga berisiko dikenang sebagai presiden yang gagal membawa perubahan dan justru menambah permasalahan yang menjerumuskan Republik ini ke dalam krisis yang lebih dalam.

Pernyataan Alhadar menjadi pengingat akan bahaya laten dalam sistem pemerintahan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Jika situasi ini tidak segera ditangani dengan pendekatan yang serius, Indonesia berpotensi mengalami krisis yang lebih mendalam, bukan hanya pada tingkat politik, tetapi juga dalam hal kepercayaan publik terhadap hukum dan institusi negara.

Pemerintahan Prabowo dituntut untuk lebih transparan, tegas, dan berpihak kepada keadilan, bukan kepada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam dinamika politik yang sangat kompleks ini, kemampuan Prabowo untuk mengembalikan Republik ke jalur yang benar akan menjadi bukti apakah ia mampu membawa perubahan atau justru terjebak dalam lingkaran kekuasaan yang sama.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *