Ichsanuddin Noorsy: Munafiknya Politik Indonesia

  • Bagikan
Ichsanuddin Noorsy: Munafiknya Politik Indonesia
Ichsanuddin Noorsy: Munafiknya Politik Indonesia

MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah dialog tajam dan analisis kritis, Ichsanuddin Noorsy, seorang ekonom dan pengamat politik senior, mengupas berbagai aspek dari munafiknya politik Indonesia. Melalui diskusi yang penuh dengan wawasan, Noorsy membedah permasalahan yang meliputi hubungan luar negeri Indonesia, kebijakan ekonomi, hingga dinamika politik domestik.

Menurut Noorsy, salah satu indikasi politik Indonesia bersifat munafik adalah klaim tentang kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Dalam praktiknya, Noorsy menyoroti bagaimana kebijakan yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya, terutama di era Joko Widodo, menunjukkan kecenderungan yang kontradiktif. Sebagai contoh, keputusan Indonesia yang awalnya ingin bergabung dengan BRICS, namun kemudian justru lebih condong ke arah OECD, menunjukkan ketidakjelasan arah dalam kebijakan luar negeri.

Noorsy menegaskan, politik bebas dan aktif seharusnya berarti tidak terikat oleh pengaruh ideologi asing dan berperan aktif dalam perdamaian dunia. Namun, kenyataannya, keputusan-keputusan besar sering kali tidak mencerminkan upaya untuk melindungi kepentingan nasional, melainkan menunjukkan kecenderungan tunduk pada kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Cina.

Dalam wawancara tersebut, Noorsy menyoroti perjalanan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ke negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina. Menurutnya, kunjungan ini harus ditelaah lebih dalam, apakah benar-benar bertujuan untuk menjaga kepentingan Indonesia atau hanya simbolik semata. Ia menggarisbawahi pernyataan Prabowo tentang “tidak ingin mengganggu dan tidak ingin diganggu” sebagai sesuatu yang perlu diuji realitasnya.

Noorsy mempertanyakan, apakah Indonesia benar-benar memiliki keberanian untuk mengidentifikasi secara jelas jenis-jenis intervensi yang dilakukan oleh negara-negara besar tersebut. Ia juga menyebutkan bahwa banyak pejabat Indonesia yang, dalam kata-katanya, “menyediakan diri untuk diganggu”, sehingga melemahkan posisi negara dalam kancah internasional.

Tidak hanya pada kebijakan luar negeri, Noorsy juga mengkritik penerapan kebijakan ekonomi yang menurutnya terlalu dipengaruhi oleh pandangan neoliberal. “Jika bisa membeli, mengapa harus memproduksi?” adalah filosofi yang kerap kali dijadikan dasar kebijakan oleh para tokoh neoliberal di Indonesia. Pandangan ini, kata Noorsy, telah menghancurkan industri dalam negeri, seperti sektor tekstil dan pangan, serta menjadikan Indonesia bergantung pada impor.

Sebagai contoh, industri tekstil yang pernah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia kini terpuruk karena kebijakan impor yang tidak terkontrol. Menurut Noorsy, hal ini merupakan cermin dari kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada kepentingan nasional dan hanya menguntungkan segelintir elite.

Salah satu poin penting yang diangkat oleh Noorsy adalah kurangnya penegakan hukum dan kebijakan yang melindungi kepentingan nasional. Ia menegaskan bahwa birokrat dan penegak hukum sering kali tidak menjalankan tugas mereka dengan benar karena mereka mengikuti contoh dari tingkat kebijakan tertinggi.

“Birokrat dan penegak hukum tidak melakukan perlindungan terhadap kepentingan nasional karena meniru kebijakan dari atas yang tidak memberikan perlindungan,” kata Noorsy.

Hal ini menurutnya menunjukkan betapa lemahnya komitmen politik untuk melindungi kedaulatan nasional.

Noorsy juga menyinggung tentang bagaimana sistem politik Indonesia yang diatur untuk mengizinkan adanya oposisi, namun praktiknya justru menunjukkan penolakan terhadap suara oposisi. Demokrasi yang dijalankan sering kali hanya bersifat simbolis tanpa memberikan ruang yang sehat bagi perbedaan pendapat.

Ia menutup dengan menyebut kondisi ini sebagai “munafiknya politik Indonesia”, yang menurutnya bisa dikategorikan sebagai bentuk ketidakjujuran politik di tingkat tertinggi. “Di satu sisi, kita bicara tentang demokrasi liberal, tetapi pada kenyataannya, kita melihat bahwa oposisi ditekan dan tidak ada upaya nyata untuk memastikan partisipasi politik yang inklusif,” tuturnya.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *