Gestur Elite Djawa vs Non Jawa ala Imam Besar Khilafah Pancasila

  • Bagikan
Gestur Elite Djawa vs Non Jawa ala Imam Besar Khilafah Pancasila
Gestur Elite Djawa vs Non Jawa ala Imam Besar Khilafah Pancasila

MoneyTalk, Jakarta – Sudah beribu-ribu tahun yang lampau, manusia Jawa, Pasundan, Sumatera Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, Flores, Sumbawa, Papua dan seterusnya. Sangat konsisten untuk lelaku berserah diri pada hukum semesta Alam atau Sunnahtulloh.

“Namun ketika Djawa mengalami proses penjajahan Asing-Aseng-Asong, elite politik Djawa hanya pandai dalam menjaga struktur sosial, bukan menjaga kelestarian Alam,” kata SoeDADANG Merdesa yang mengaku sebagai Imam Besar Khilafah Pancasila.

“Makanya dalam kepemimpinan Djawa, pemimpin akan dihormati dan dijadikan pahlawan kalau pemimpin itu sudah melakukan BABAD ALAS, atau bahasa Indonesia nya MEMBABAT HUTAN, itulah yang menjelaskan kenapa pemerintahan Kolonial BELANDA-Protestan, menjadikan masyarakat Djawa sebagai transmigran, ke luar Pulau Jawa,” jelas SoeDADANG Merdesa.

“Dan dalam struktur sosial, pemimpin Djawa walaupun bodoh akan diteruskan dengan konsisten oleh penggantinya. Segala kesalahan pemimpin masa lalu akan dimaafkan dengan dalih, MIKUL DUWUR MENDEM JERO,” lanjut SoeDADANG Merdesa.

“Setiap pergantian rezim, tidak pernah diselesaikan secara hukum. Tapi langsung jalan pintas dengan me-MAAF-kan. Padahal dalam ISLAM, dilarang maaf memaafkan sebelum jatuh putusan PENGADILAN seseorang itu melakukan kesalahan atau tidak,” ujar SoeDADANG Merdesa.

Kalau langsung dimaafkan, justeru akan terjadi fitnah dan pitnah, dan itu lebih berbahaya dibandingkan NETANYAHU membantai Anak-anak dan Perempuan PALESTINA yang tak berdosa, lanjut SoeDADANG Merdesa.

Paska G30SPKI65, Soekarno tidak diadili, oleh penggantinya. Begitu juga kesalahan dan ketulusan Hubertus SoeKOWI DALANG SEGALA BENCANA HARAMJADAH, tidak masuk ke ranah hukum. Melainkan justeru titipan menteri2nya malah diterima dengan penuh kasih mesra. Dan, kesimpulannya Elit Feodalisme Djawa itu sungguh lihai dalam menjaga keberlangsungan KEPEMIMPINAN ELIT DJAWA lanjut SoeDADANG Merdesa.

“Berbeda dengan Rakyat Non-Jawa, konsisten dalam Berserah Diri pada Hukum Smestalam atau Sunnahtulloh, yang biasa disebut sebagai LELAKU ISLAM. Bila pemimpinnya melakukan kesalahan maka diadili oleh HUKUM ADAT, dan bila terbukti bersalah, maka bukan hanya mendapat hukuman saja, melainkan dapat HUKUMAN SANGSI SOSIAL, tentunyaaahh,” pungkas SoeDADANG Merdesa.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *