Analogi Subjektif Akibat Faktor Kepentingan Sebabkan Pola Berpikir Paradoks

  • Bagikan
Analogi Subjektif Akibat Faktor Kepentingan Sebabkan Pola Berpikir Paradoks
Analogi Subjektif Akibat Faktor Kepentingan Sebabkan Pola Berpikir Paradoks

MoneyTalk, Jakarta – Pilkada serentak 2024 jangan paradoks pemahaman antara manfaat dan mudharat karena bukan pada posisi diaspora.

Saat menjelang pilkada serentak 2024 ada banyak para tokoh individu maupun para kelompok besar dan kecil punya pandangan yang berbeda, ikut memilih, tidak mau milih, dan GERCOS.

Dan ada faktor pemilih pada pilihan berdasarkan pola pikir yang diperlihatkan oleh para tokoh individu namun output (bisa bias) pemaknaan seolah bersifat universal atau general, seolah sebagai kebijakan final sebuah kelompok terkait dukungan pada seorang Calon Gubernur/ Kepala Daerah khususnya wilayah Jakarta.

Umum, kental asumsi Kota Jakarta sebagai sentral atau pusat percontohan suara seluruh anak bangsa, mulai dari sisi model gaun, sampai dengan kehidupan glamornya kaum selebritis dan sosialita, sampai dengan pola “peran serta masyarakat” dalam bentuk aksi, kritisi protes keras sampai dengan model petisi terhadap berbagai kebijakan penguasa negara. Oleh sebab, Dimata pubik dan dimata pemimpin negara-negara asing seolah kebijakan pemerintahan pusat, karena berdomisili di Jakarta, sehingga gejala-gejala (konflik) politik “keputusan pemerintah pusat yang menimbulkan gejolak di Jakarta” seolah representasi mayoritas bangsa di semua daerah, dan kenyataannya memang ada benarnya, andai tolak ukur kebijakan yang ditolak warga Jakarta nyatanya menyentuh kepentingan nasional.

Adapun pola memilih sosok pilihan terhadap kwalitas SDM para cagub, tidak boleh dengan parameter subjektif, andai pun harus membuat ilustrasi atau contoh atau PERUMPAMAAN harus objektif terhadap kriteria seorang calon dan pasangannya lalu permisalan yang dihubungkan terhadap sesuatu peristiwa, jangan dengan menggunakan ilustrasi pembanding secara paradoksos atau tidak boleh berselimut dengan berbagai latar belakang faktor kepentingan, karena walau argumentatif mengandung kebenaran namun menghasilkan dua hasil yang kontradiktif.

Terlebih jika andaikan sounding nya melalui publikasi stiker dan atau media publik lalu narasinya berkonten instruksi yang arahnya tidak bersifat eksklusif (internal) namun malah generalis, melewati batasan kelompok lain walau pada sesama golongan (identitas keyakinan) sehingga terbaca intervensi wilayah dengan tanda pada kalimat yang terekspos , merupakan perintah yang bukan berada pada domainnya. Dan ini mejadi bahan tertawaan publik.

Semuanya mungkin karena ada faktor kepentingan sponsor/ tunggangan, sehingga berkecenderungan sikap yang over dan antiklimaks karena diluar kontrol sehingga dapat membuat ketersinggungan bahkan antipati, hanya akibat kecerobohan yang demikian tendensius sifatnya, ini amat berbahaya dan sebuah kejelasan atas adanya kepentingan yang tidak dapat ditutupi, bahkan lebih celaka dari paradoks sebuah tracking keliru dan menyimpang jauh andai ditolerir atau diikuti.

Sehingga dari sisi pandang objektivitas, pola pikir paradoks memberikan bukti dan kesan alasan memilih, atau menolak calon hanya berdasarkan intuitif (nalar yang irasional). Sesuatu yang bertentangan dengan kualitas dan realitas dari hal peristiwa yang sama-sama diketahui dan dialami oleh publik secara umum, dan selain peristiwa percontohan menohok serta menjadi pusat perhatian, sehingga menolak paradoks menjadi ilmiah jika berdasarkan “fakta dan data (empirik)”.

Sekali lagi paradoks dalam pemahaman, walau terhadap sesuatu “memang benar ada.dan nyata” namun konteks ilustrasi (contoh) berlebihan atau sengaja menyempitkan sisi pandang, karena ada faktor kepentingan tertentu atau memilih atau menolak karena subjektivitas dan pragmatis sehingga paradoks dalam politik dapat menyisakan fakta bad history, sejarah negatif terhadap individu maupun kelompok pendukung yang menyisakan sejarah cemerlang atau sebaliknya jika jagoan pilihannya kalah akan mendapat ejekan. Terlebih andai pada sebuah kelompok yang menggunakan identitas KEMULIAAN namun berlebihan ditunggangi faktor subjektifitas (indikasi faktor kepentingan diluar misi mulia). Maka hasil kepentingan murahan namun punya daya distorsi, tidak sekedar merugikan pada anggota kelompok namun merugikan PARA TOKOH BESAR YANG SEHARUSNYA DIMULIAKAN, lalu menyedihkan bagi para simpatisan pada sebuah makna perjuangan dan kemuliaan. Sehingga paradoksis karena ditunggangi, bakal berakhir dengan amat menyedihkan pada banyak sisi.

Lain ceritanya jika menggunakan analogi objektifitas, maka kalah menang atau berhasil atau gagal sekalipun TETAP MULIA DIMATA SIMPATISAN MAUPUN DIMATA PARA LAWAN.

Maka “kacamata pilhan yang menggunakan kacamata paradoks,” ketika masih ada kesempatan, harus segera dibatalkan agar tetap meninggalkan jejak simpati atau setidaknya berani tampil dengan jubah tanpa kenal kata terlambat, salah satu sikap contoh nyatakan transparan, “maaf sesuai hasil musyawarah internal, kami tidak dalam posisi keberpihakan Pilkade DKI Jakarta 2024 walau logika politik pilkada hal yang mustahil putus dalam hubungannya dengan faktor pada semua sektor kekuasaan dalam artian luas. Namun anda kata, “daripada daripada” yang bakal berimplikasi high risk bagi organisasi, organisasi yang dibutuhkan banyak pihak dan berbagai kelompok dari para simpatisan yang banyak mendukung, namun hanya oleh sebab faktor segelintir kepentingan dan bukan keberpihakan yang prinsip harus diletakan pada kondisi momentum wajib. Sehingga nyaris kebijakan paradoks dan berkesan ambiguitas, kelak, andai oleh karena bukan berlandaskan objektivitas dan tidak berdasar rasa keadilan, bakal mengarah distorsi yang permanen, sehingga cita-cita pihak antipati untuk menghancurkan organisasi tercapai dengan sendirinya dibantu oleh paradoksos internal.

Sehingga kemuliaan bisa dirusak oleh segelintir orang yang menunggangi namun ada faktor, “tidak ingin tegas mencegah”, terlebih masih ada temuan nice position yakni netralitas, sebagai cermin sikap yang netral dan realitas menolak tanggung jawab dalam menjatuhkan pilihan yang keliru, selain dalam posisi tidak ada pilihan. Dan posisi netral ini bukan dalam kondisi penduduk diaspora yang minoritas, yang dalam kondisi ikut pemilu di negara asing yang mayoritas berbeda dalam faktor keyakinan atau dasar negaranya.

Dalam hal pemilu pilkada, tentu bagi WNI masih banyak celah perjuangan diluar faktor ikut memilih. Karena ada perjuangan model monitoring atau fungsi kontrol dalam bentuk “peran serta masyarakat” kelak kepada siapapun pemimpin yang tepilih

Sehingga kesimpulannya paradoks untuk sebuah kelompok yang berbasis “asas identik kemuliaan”, mesti pandai-pandai atau cerdas membuat analogi menentukan eksistensi dan timing/ momentum keberpihakan mereka, hal ini tidak sulit cukup dengan berpikir benar atau objektif atau berkata dan berbuat jujur.

Penulis: Damai Hari Lubis, Ketua Aliansi Anak Bangsa

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *