MoneyTalk, Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengesahkan perubahan ketiga atas Undang-undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna 4 Februari 2025. Revisi UU BUMN tersebut awalnya diketahui publik dominan untuk menjadi payung hukum terkait pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara.
Namun ternyata UU BUMN itu sekaligus merevisi defenisi uang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, menjadi uang negara yang dipisahkan tetapi tidak lagi diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak bisa ditangani aparat hukum jika terjadi penyimpangan yang akibatkan kerugian negara. Defenisi itu sudah menyimpangi pengertian umum selama ini, dimana perundangan lain masih tetap menggunakan defenisi yang tidak seperti dalam UU BUMN itu. Maka, jika demikian bisa saja uang negara dalam definisi baru itu disebut sebagai “uang negara yang dihilangkan statusnya” atau “uang yang di-offshore-kan”. Itu kajian secara hukum dan administratif, urai Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Minggu 23/2/2025.
Dia katakan, secara umum dalam konteks keuangan negara dan hukum terdapat beberapa istilah yang bisa digunakan untuk menyebut fenomena “defenisi” uang negara yang dipisahkan dalam UU BUMN baru tersebut sebagai:
1. Uang negara yang dikaburkan statusnya, ini menunjukkan bahwa dana tersebut awalnya berasal dari keuangan negara tetapi kemudian dialihkan ke mekanisme yang membuatnya sulit diperiksa atau diawasi.
2. Uang negara yang dikonversi, adalah ketika dana negara dialihkan ke dalam mekanisme yang menjadikannya tidak lagi tunduk pada aturan pengawasan keuangan negara.
3. Dana semi privatisasi, itu terjadi jika uang negara dipisahkan dalam bentuk dana khusus atau perusahaan yang dikelola swasta, tetapi tetap terkait dengan kepentingan negara.
4. Shadow Funds atau dana bayangan yang merujuk pada dana yang secara hukum dan administratif tidak lagi masuk dalam kategori keuangan negara meskipun berasal dari negara.
5. Dana non audit atau Unaccountable Fund yang terjadi ketika dana negara dipisahkan dalam suatu mekanisme sehingga tidak lagi dapat diaudit oleh BPK atau diawasi oleh penegak hukum.
6. Uang negara yang didelegitimasi, itu menunjukkan bahwa dana negara sengaja dipisahkan atau dipindahkan ke mekanisme yang menghilangkan jejaknya sebagai bagian dari keuangan negara, urai Iskandar Sitorus.
Padahal didalam konteks hukum Indonesia, tentang pengelolaan dan pengawasan keuangan negara telah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang menegaskan bahwa BPK memeriksa seluruh pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. Dasar hukum terhadap hal itu meliputi:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pada pasal 23E ayat (1) disebut “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.”
2. Undang-undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara di pasal 2 huruf g, menyatakan bahwa keuangan negara mencakup “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah.”
3. UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pada pasal 6 ayat (1) sebut BPK berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
4. UU nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan di pasal 6 ayat (1), menegaskan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN/BUMD.
5. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 62/PUU-XI/2013, Mahkamah menegaskan bahwa meskipun kekayaan negara telah dipisahkan dan menjadi modal BUMN/BUMD, tetapi kekayaan tersebut tetap merupakan bagian dari keuangan negara, tegas Iskandar.
Jika merujuk pada 5 aturan di atas, maka BPK menjadi tetap berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab atas kekayaan tersebut. Sehingga berdasarkan aturan hukum di atas, istilah yang tepat untuk menggambarkan uang atau kekayaan negara yang telah dipisahkan tetap berada dalam pengawasan dan pemeriksaan BPK, karena uang itu adalah “kekayaan negara yang dipisahka”, tambah dia.
Istilah kekayaan negara yang dipisahkan menegaskan bahwa meskipun kekayaan tersebut telah dialokasikan sebagai modal atau dikelola pada entitas seperti BUMN/BUMD, statusnya sebagai bagian dari keuangan negara tetap melekat, dan oleh karena itu, tetap berada di bawah yurisdiksi dan pengawasan BPK serta aparat penegak hukum, tegas Iskandar Sitorus.
Iskandar sambil senyum menyindir, entah mengapa UU BUMN yang baru bisa menyimpangi defenisi atau pengertian uang negara yang dipisahkan tanpa menyadari dampaknya terhadap UU yang lain. Mereka tampak seperti hanya ingin senang saja untuk membuat terminologi baru tanpa sadar bahwa mereka hanya memisah-misah defenisi “uang/kekayaan negara yang justru sudah sejak lama terpisah”.
Dia memberi masukan bahwa jika ada upaya untuk menghindari pemeriksaan atau pengawasan terhadap kekayaan negara yang dipisahkan, maka jangan disalahkan kalau kemudian dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum dan berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan keuangan negara.
Oleh karena itu, IAW mengharap sebaiknya Presiden Prabowo Subianto mengkaji kembali bukan hanya terkait fundamen BPI Danantara namun secara keseluruhan terhadap defenisi baru uang negara yang dipisahkan itu. Agar yang menjadi terdepan adalah upaya transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintahannya karena hal itu sangat krusial untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan keuangan negara dalam penatakelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, anjur Iskandar Sitorus.
Iskandar percaya bahwa presiden mumpuni untuk menghindarkan kabinetnya jika ada upaya yang hendak mengaburkan status uang negara, dan tentu terhadap seluruh dampak/manfaatnya, dengan sesuatu niat yang secara sengaja untuk menghindarkan pemeriksaan. Karena praktik penghindaraan itu bisa masuk dalam kategori fraud keuangan negara atau pencucian uang (money laundering) dan atau penggelapan keuangan negara (embezzlement), harapan dia.
Oleh karena itu, pola transparansi dan akuntabilitas untuk pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan sesuai UU BUMN yang berlaku saat ini sangat patut untuk dipertimbangkan kembali oleh Presiden Prabowo demi mencegah praktik-praktik yang akan bisa merugikan keuangan negara yang berpotensi dilakukan oleh pembantunya dan atau orang jahat yang berniat buruk terhadap kinerja pemerintahannya, tutup Iskandar Sitorus.