Skandal Satelit Kemhan Gagal Sehingga Aset Indonesia Akan Disita

  • Bagikan
Strategi Menuju Ekosistem AI Inklusif, Fokus pada 3 Aspek Utama
Strategi Menuju Ekosistem AI Inklusif, Fokus pada 3 Aspek Utama

MoneyTalk, Jakarta – Tahun 2015 adalah momen kritis bagi Indonesia. Slot orbit 123° Bujur Timur (BT), yang dipegang sejak era satelit Garuda-1, terancam dicabut oleh International Telecommunication Union (ITU). Ini bukan sekadar masalah teknis sebab slot ini adalah aset strategis nasional. Jika hilang, bukan hanya kedaulatan komunikasi militer yang terancam, tetapi juga posisi strategis Indonesia di percaturan global teknologi satelit.

Di tengah kepanikan itu, Kementerian Pertahanan (Kemhan) di bawah kendali Ryamizard Ryacudu mengambil alih proyek. Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), menilai langkah ini awal dari kekacauan besar.

“Menhan semestinya bukan pemain tunggal di proyek strategis seperti ini. Itu butuh lintas kementerian, butuh keahlian khusus. Tapi mereka bertindak seolah-olah ini urusan pertahanan semata,” tegas Iskandar.

Jebakan penunjukan langsung

Alih-alih membuka tender sesuai UU No. 16/2012 tentang Industri Pertahanan dan Perpres No. 16/2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Kemhan malah memilih jalan pintas yakni melakukan penunjukan langsung. Perusahaan yang ditunjuk? Navayo International AG, sebuah perusahaan kecil dari Liechtenstein, wilayah kerajaan seluas kurang lebih 160 kilometer persegi di antara negara Austria dan Swiss yang segala urusan luar negeri negaranya diurus oleh Swiss. Nama perusahaan itu juga nyaris tak terdengar dalam lingkup industri pertahanan global.

Bondan Tiara Sofyan, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Dirjen Pothan) yang menandatangani kontrak senilai Rp 515 miliar dengan Navayo. Iskandar Sitorus menilai ada aroma tak sedap sejak awal:

“Kenapa harus Navayo? Siapa yang bisa menjelaskan logika memilih perusahaan kecil yang nggak jelas rekam jejaknya? Ini bukan soal kejar tayang semata, ini soal memilih mitra yang jelas-jelas nggak kredibel. Dugaan pemufakatan jahat sangat kuat di sini,” ujarnya.

Satelit gagal, uang hilang, negara dihina

Pada 2017, kecurigaan terbukti. Satelit yang dijanjikan Navayo gagal memenuhi spesifikasi. Lebih parah lagi, satelit tersebut tidak kompatibel dengan sistem komunikasi pertahanan Indonesia.

Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan era itu, lalu memutuskan menghentikan pembayaran. Tetapi Iskandar justru menilai langkah ini setengah hati:

“Menghentikan pembayaran saja nggak cukup! Seharusnya dia langsung konsolidasi untuk langkah gugatan hukum. Tapi ini kayak sengaja diulur. Kenapa? Ini yang kita enggak bisa terima,” ucap Iskandar.

Navayo melawan, Indonesia tumbang di Arbitrase

Pada 2018, Navayo balik menyerang. Mereka menggugat Kemhan ke International Chamber of Commerce (ICC) di Singapura, menuntut US$ 23,4 juta, sekitar Rp 350 miliar sebagai kompensasi atas kontrak yang diputus sepihak.

Justru tahun 2021, ICC memutuskan Navayo menang sehingga Indonesia dihukum membayar US$ 24,1 juta atau sekitar Rp 360 miliar. Menurut Iskandar, kekalahan ini sudah bisa diprediksi:

“Kontrak dari awal sudah lemah. Kalau kita masuk ke arbitrase dengan fondasi hukum setipis ini, hasilnya cuma ada dua yakni kalah atau kalah telak. Dan itu yang terjadi,” ungkapnya.

Aset RI terancam disita, harga mahal dari kontrak buruk

Lalu tahun 2022, pukulan berikutnya datang. Dengan cerdik Navayo membawa putusan ICC ke pengadilan Prancis dan meminta penyitaan aset Indonesia sebagai jaminan pembayaran. Lantas tanggal 4 Maret 2024, pengadilan Prancis mengabulkan permintaan itu. Aset diplomatik Indonesia di Paris, termasuk Kedutaan Besar RI, terancam disita.

Iskandar Sitorus menyebut ini sebagai aib nasional “Gedung kedutaan mau disita karena kesalahan pejabat? Ini penghinaan diplomatik. Mestinya Kementerian Luar Negeri dari awal harus aktif untuk ikut turun tangan. Tapi mereka seperti nonton dari tribun sambil tepuk tangan,” sindir Iskandar tajam.

Jejak orang yang harus bertanggung jawab

Menurut IAW, berikut daftar nama pejabat yang patut dipertanyakan tanggung jawabnya moral dan hukumnya terhadap negara, yaitu:

1. Ryamizard Ryacudu, Menhan tahun 2015-2019 yang berperan mengambil keputusan strategis terkait pengadaan tersebut. Diduga kesalahannya meloloskan penunjukan langsung tanpa uji kelayakan yang sepatutnya.

2. Bondan Tiara Sofyan, Dirjen Pothan 2016 berperan menandatangani kontrak dengan Navayo. Diduga kesalahannya adalah mengabaikan prinsip kehati-hatian dan tidak menggunakan standar regulasi pengadaan internasional.

3. Sakti Wahyu Trenggono, Wamenhan 2021 sebab berperan tanpa konsolidasi yang baik antar K/L lalu menghentikan pembayaran ke Navayo. Diduga kesalahannya tidak melanjutkannya ke jalur hukum sehingga Navayo punya celah menyerang balik di ICC.

4. Navayo International AG yang berperan sebagai pemasok satelit yang gagal. Diduga kesalahannya tetap menuntut pembayaran penuh meski melakukan wanprestasi.

Terlambat, tapi harus dibongkar!

Pada 2024, Jaksa Agung ST Burhanuddin baru membuka penyelidikan atas dugaan korupsi di Kemhan. Padahal kegagalan satelit sudah santer tahun 2017 dan kemudian ada gugatan Navayo yang terpublikasi tahun 2018. Fokus Jaksa Agung justru hanya sekedar pada aliran dana dan potensi pemufakatan jahat dalam penunjukan Navayo. Seharusnya langkah dia bisa lebih dari sekedar itu. Iskandar Sitorus menyambut baik ini, meski menurutnya sudah sangat terlambat:

“Bongkar total! Jangan cuma berhenti di pejabat menengah. Keputusan besar kayak gini pasti ada aktor intelektualnya. Kita butuh pengadilan yang nggak cuma tajam ke bawah, tapi juga ke atas,” tegasnya.

Reformasi tata kelola proyek strategis, atau kita akan kalah lagi

Skandal Navayo bukan sekadar proyek gagal. Ini adalah potret buruknya tata kelola pengadaan strategis di Indonesia karena: pertama, Penunjukan langsung tanpa kajian mendalam. Kedua,Kontrak lemah yang membuka celah hukum, dan Ketiga, Pembelaan yang rapuh di pengadilan internasional.

Indonesian Audit Watch (IAW) menegaskan: jika sistem ini tidak dibenahi, kasus seperti ini hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang lagi.

“Ini bukan sekadar soal duit yang hilang. Ini soal harga diri negara di mata dunia,” pungkas Iskandar Sitorus.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *