MoneyTalk, Jakarta – Dugaan ketidaksesuaian dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik anggota DPRD DKI Jakarta, H. Idris, kembali menjadi sorotan
Berbagai elemen mahasiswa meminta Kejari Jakarta Utara, Dandeni Herdiana, S.H., M.H, untuk melakukan publik expose dari pulau Karang Congkak sampai dugaan ayam aduan Rp 100 miliar yang tidak tercantum di Lhkpn.
Kali ini, sorotan publik mengarah pada tidak dicantumkannya aset ayam hias atau ayam aduan yang nilainya diperkirakan mencapai Rp100 miliar, serta kontroversi terkait kepemilikan Pulau Karang Congkak di wilayah Kepulauan Seribu.
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Hukum (GEMAH), Badrun Atnangar, menyayangkan sikap Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang hingga kini belum mengumumkan hasil gelar perkara terkait kasus Karang Congkak dan dugaan ketidaksesuaian isi LHKPN milik H. Idris.
“Proses hukum terhadap persoalan Karang Congkak dan LHKPN yang tidak sesuai fakta lapangan seharusnya sudah ada kejelasan. Apalagi ini menyangkut kawasan konservasi,” tegas Badrun.
Permasalahan mencuat saat ditemukan perbedaan data luas lahan Pulau Karang Congkak.
Berdasarkan Pergub Nomor 31 Tahun 2022, luas pulau tersebut tercatat sebesar 11.200 meter persegi
Namun, data dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu menyatakan hanya 3.004 meter persegi.
BPN (Badan Pertanahan Nasional) kemudian menolak klaim Idris atas luas tanah 11.200 meter persegi karena berdasarkan data resmi, tanah yang dimiliki hanya seluas 3.004 meter persegi.
“Permohonan sertifikat ditolak karena data lapangan menunjukkan hanya 3.000 meter, bukan 30 ribu seperti yang diklaim haji Idris,” ungkap salah satu pejabat Pemprov DKI Jakarta.
Lebih dari itu, pejabat tersebut menegaskan bahwa reklamasi di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu tanpa izin adalah tindakan ilegal yang bisa berujung sanksi hukum.
Polemik Karang Congkak ternyata hanyalah satu dari sekian konflik lahan di Kepulauan Seribu.
Penelusuran di lapangan menemukan indikasi jual beli tiga pulau lainnya: Pulau Gosong Peniki, Gosong Rengat, dan Gosong Karang Bongkok.
Beberapa waktu lalu Aksi unjuk rasa yang digelar oleh kelompok mahasiswa GEMA, dipimpin Rahman Akim, turut menambah sorotan terhadap isu ini.
Ketika ditanya soal netralitas aksi, Rahman menjawab, “Kami murni turun ke jalan, tidak ada sponsor, semua swadaya.”
Menanggapi tudingan bahwa hanya Bupati yang disorot dalam aksi, Rahman menjelaskan bahwa fokus utama demo adalah pada kasus Pulau Karang Bongkok, meskipun mereka juga mengantongi data terkait pulau-pulau lain.
Sementara itu, pihak kepulauan Seribu membantah tuduhan adanya jual beli pulau.
Ia menjelaskan bahwa Pulau Karang Bongkok Kecil telah beralih kepemilikan secara sah kepada Ronny Sukamto dari keluarga penggarap sebelumnya, yakni Bapak Sain.
Dari sisi regulasi, berdasarkan Perpres Nomor 48 Tahun 2020, BPN memiliki tanggung jawab menyusun dan melaksanakan kebijakan pertanahan termasuk survei, pemetaan, pendaftaran hak tanah, dan penanganan sengketa.
Oleh karena itu, validasi data menjadi elemen penting dalam mencegah konflik agraria.
Kasus Pulau Karang Congkak menjadi bukti penting akan urgensi transparansi, keakuratan data pertanahan, dan pengawasan ketat terhadap kawasan konservasi.
Publik kini menantikan klarifikasi resmi dari H. Idris atas penolakan BPN serta dugaan perbedaan luas tanah yang tercantum dalam LHKPN.
Masyarakat, aktivis lingkungan, hingga LSM kini mendorong pemerintah untuk bertindak tegas dalam menyelesaikan sengketa ini dan mencegah kerusakan lingkungan serta ketidakadilan dalam tata kelola lahan di Kepulauan Seribu.




