Sistem Ekonomi Dunia Baru yang Mengatasi Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Bagikan

Jakarta, MoneyTalk – Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sejatinya tidak saja terjadi pada dunia berkembang atau dikenal dengan istilah dunia ketiga (the third world). Dunia pertama tentu saja adalah negara-negara Eropa yang dianggap lebih awal menerapkan peradaban (civilization). Yang kedua, yaitu negara yang tergabung dalam gerakan anti sistem kapitalisme yang dimotori oleh Uni Sovyet serta meluas pada wilayah timur Eropa. Negara ketiga, adalah negara-negara bekas jajahan dari benua Eropa itu berada sebagian besar di kawasan Asia-Afrika dan Amerika Selatan. Akibat kolonialisme inilah kemudian muncul masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi melalui penerapan demokrasi liberalisme serta sistem ekonomi kapitaliame.

Selama 15 Tahun lebih (sejak krisis ekonomi 1997 dan 2008) negara-negara berkembang (the emerging market) telah didorong untuk membuka diri dalam perdagangan bebas (world trade) dan keuangan terbuka (financial and economic liberalization) diantaranya di sektor moneter dan fiskal dengan alasan menyelamatkan perekonomian negara-negara di dunia dari krisis ekonomi dan depresi besar. Namun, yang terjadi justru kendali atau pendulum ekonomi struktural, sektoral dan regional tidak berubah sama sekali, faktanya kelompok yang besar menjadi semakin mendominasi ekonomi dunia, dan yang kecil semakin termarginalisasikan.

Terhadap beberapa permasalahan terkait meningkatnya resiko dan ketidakpastian perekonomian dunia yang berasal dari suatu sistem ekonomi arus utama (mainstream), haruslah dicari rumusan baru untuk menata perekonomian dunia. Meskipun, melalui indikator ekonomi makro terdapat keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun hanya dinikmati oleh beberapa negara saja, seperti Amerika Serikat dan RRC di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, justru berbagai negara malah mengalami pertumbuhan ekonomi yang lemah dan tidak stabil disebabkan oleh inovasi teknologi dan perang dagang yang membuat pengaruh pada industri sektoral negara-negara yang sedang tumbuh oleh tekanan pasar bebas global ini.
Artinya, keberhasilan sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme dalam mengatasi krisis ekonomi dan depresi dunia hanya semu dan akan memunculkan krisis ekonomi baru di masa depan. Diantaranya, yaitu adanya kekhawatiran dan keprihatinan atas terjadinya ancaman dan krisis lebih dalam akibat persaingan penguasaan kapital dan sumber daya alam oleh hanya beberapa negara maju.

Maka dari itulah, negara-negara didunia perlu duduk bersama untuk mengatasi 2 (dua) permasalahan utama tersebut. Salah satunya, yaitu dengan membangun kekuatan menolong diri sendiri beberapa negara berkembang (alliancehelp) dan tidak hanya mengandalkan bantuan asistensi International Monetary Fund (IMF) dan The World Bank (WB) yang berulangkali gagal mengatasi permasalahan perekonomian kawasan dan dunia. Oleh sebab itu, perlunya sebuah tatanan perekonomian melalui sistem ekonomi dunia baru yang lebih berkeadilan untuk mengantisipasi terjadinya keadaan lebih buruk lagi sebuah keniscayaan, khususnya untuk mengatasi dampak negatif meningkatnya utang luar negeri negara-negara berkembang akibat salah kelola ekonomi dan keuangan oleh negara-negara maju yang mengandalkan pada utang.

*Kesenjangan Dalam Kapitalisme*
Salah satu upaya menyusun tatanan dunia baru setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2 adalah dengan membangun kerjasama internasional dan mengurangi ketimpangan (kemiskinan dan pengangguran) dan pembangunan kembali (rekonstruksi) wilayah yang hancur akibat peperangan, khususnya negara-negara Eropa. Atas dasar itulah, pada bulan Juli 1944 sebelum berakhirnya Perang Dunia ke-2 perwakilan negara yang terlibat dalam peperangan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia serta beberapa negara lainnya mengadakan pertemuan di Bretton Woods dan merupakan inisiatif awal berdirinya IMF dan WB yang kemudian secara resmi didirikan pada Tahun 1945. Semenjak didirikan, keanggotaan IMF dan WB telah mencapai 189 negara sebagaimana mengikuti keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945. Misi utama IMF dan WB pada awalnya sangat mulia, tak berbeda dengan PBB, yaitu berperan aktif dalam menciptakan perdamaian, kemanusiaan dan keadilan dunia melalui pembangunan yang berperadaban, utamanya di bidang ekonomi, yang meliputi kerjasama moneter internasional, stabilitas finansial, perdagangan internasional, penyerapan tenaga kerja dan program pengentasan kemiskinan.

Selama berdirinya IMF dan WB telah banyak kontribusi yang diberikan oleh lembaga ini terhadap pembangunan dan berbagai penyelesaian krisis ekonomi yang terjadi pada negara-negara anggotanya. Sayangnya, sampai sejauh ini tak ada satupun faktor keberhasilan (success factor) yang dapat dijadikan acuan sebagai penanganan krisis terbaik yang berhasil dilakukan di suatu negara, khususnya negara-negara kawasan Asia-Afrika (seperti Tanzania, Uganda, Somalia, Afrika Selatan dan lain-lain) dan Amerika Latin (Meksiko, Brazil, dan Argentina). Sebagai contoh terakhir adalah krisis ekonomi Tahun 1990-an yang terjadi di Meksiko pada Tahun 1995 kemudian merembet ke kawasan Asia, Thailand, Malaysia dan Indonesia pada Tahun 1998. Bahkan di Eropa sendiri, IMF dan WB gagal mengatasi krisis di Yunani yang terjadi pada Tahun 2011 sehingga menjalar ke Argentina, Spanyol, Perancis, dan Yunani. Yunani sebagai sebuah negara kecil yang hanya berpenduduk 11 juta orang menuju ambang kebangkrutan akibat ketidakmampuan membayar utang luar negeri yang membengkak kepada IMF sebesar Rp 22 Triliun pada tanggal 30 Juni 2015. Jumlah total utang Yunani saat krisis (sebelum dapat tawaran pinjaman lagi Tahun 2015) adalah sebesar €360 Milyar atau Rp 5.000 Triliun dengan rasio utang terhadap PDB adalah 155,3 persen.

Kenapa hal ini terjadi pada Yunani yang penduduknya hanya 16 persen dari penduduk di Provinsi Jawa Barat, adalah karena penjualan surat utang (global bond) atau obligasi kepada investor yang begitu massif dilakukan sehingga menggerogoti perekonomian dan keuangan negara Yunani. Pada akhir Yunani menolak syarat utang baru yang diajukan IMF dan WB, dan tentu saja penolakan ini konsekuensinya adalah tak memperoleh dana segar dari IMF dan Eropa untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang saat itu sudah mencapai 25 persen. Dari rekam jejak ini dapat disimpulkan, bahwa IMF dan WB selalu menggunakan satu resep dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara, yaitu melalui UTANG. Melalui kebijakan ini pulalah stabilitas ekonomi di negara-negara Afrika tidak bisa ditangani dengan baik, justu yang terjadi adalah perang saudara di masing-masing negara tersebut.

Selama 5 (lima) tahun berlalu, tingkat pengangguran dunia berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, 2013-2018) berkisar antara 0,10 persen sampai dengan 46,10 persen, dan rata-rata persentase tertinggi terjadi di negara-negara kawasan Asia-Afrika. Persentase pengangguran terendah di dunia terdapat di negara Qatar, yaitu 0,10 persen, lalu diikuti oleh Kamboja dengan tingkat pengangguran sebesar 0,30 persen dan Belarus sebesar 0,40 persen. Sedangkan negara dengan persentase pengangguran tertinggi adalah Kongo, yaitu 46,10 persen, diikuti oleh Bosnia Herzegovina sebesar 35,86 persen dan Namibia sebesar 34 persen. Sementara itu, persentase pengangguran di Indonesia adalah sebesar 5,13 persen, masih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja yang hanya sebesar 0,30 persen, Laos sebesar 0,40 persen, dan Myanmar yang sebesar 0,70 persen (padahal negara-negara ini baru selesai berkonflik Tahun 1990-an).

Dua tahun setelah itu, juga mengacu pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Januari 2020, lebih dari 470 juta penduduk dunia menganggur atau setengah menganggur. Dan, minimnya akses terhadap pekerjaan yang layak bagi penduduk dunia akan berkontribusi pada sejumlah kerusuhan sosial di berbagai negara. Jumlah penduduk dunia yang tercatat menganggur diperkirakan meningkat dari 188 juta pada Tahun 2019 menjadi 190,5 juta pada tahun 2020. Pada saat yang sama, sekitar 285 juta penduduk dunia dianggap menganggur, yaitu mereka yang menjalani pekerjaan namun tidak sesuai dengan harapan, berhenti mencari kerja, atau kurang memiliki akses pada pasar tenaga kerja. Jika kedua kategori tersebut ditotal jumlahnya, maka angka itu mewakili 13 persen tenaga kerja di seluruh dunia.

Salah satu negara yang mengalami kenaikan angka pengangguran paling tinggi yaitu Amerika Serikat, pada Tahun 2019 hanya 3,7 persen, lalu melonjak tinggi menjadi 10,4 persen pada Tahun 2020 disebabkan oleh adanya pandemi Covid19. Sementara itu, angka pengangguran tertinggi pada masa pandemi Covid19 terjadi di Italia, dari 10 persen pada Tahun 2019, menjadi 12,7 persen pada Tahun 2020. Disusul oleh Perancis, dari 8,5 persen pada Tahun 2019 menjadi 10,4 persen di Tahun 2020. Kemudian, negara-negara lainnya (European Area), dari 7,6 persen pada Tahun 2019, menjadi 10,4 persen di Tahun 2020

Di Asia, sejumlah negara tak luput dari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), diantaranya Jepang, dari 2,4 persen pada Tahun 2019 menjadi 3 persen di Tahun 2020, Korea Selatan dari 3,8 persen (2019) menjadi 4,5 persen (2020), dan Hongkong dari 3 persen (2019) menjadi 4,5 persen (2020). Kawasan benua Asia relatif lebih stabil dalam menanggapi berbagai tantangan perekonomian terkait masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan ekonomi struktural, regional dan kultural. Yang harus diantisipasi, yaitu jangan sampai jemiskinan dan ketimpangan ekonomi menimbulkan konflik antar kawasan sehingga berpotensi memicu perang dunia, sebagaimana yang terjadi pada masa perang dunia ke-1 dan ke-2 terkait penguasaan sumber daya alam.

*Sistem Ekonomi Konstitusi*
Pasca runtuhnya tembok Berlin pada tanggal 3 Oktober 1990 yang menandai reunifikasi Jerman (Barat dan Timur), maka hampir tak ada satupun negara yang menerapkan sistem ekonomi komunisme secara utuh. Dengan demikian, dominasi dan hegemoni kapitalisme menjadi kian terbuka, termasuk ke Indonesia dengan terbitnya UU sektoral yang liberal tanpa merujuk pada konstitusi pasal 33 UUD 1945. Liberalisme pasar dan kapitalisme ekonomi telah memungkinkan pula pergerakan modal asing yang lebih massif saat struktur dan kultural kebutuhan ekonomi belum menjadi pola pikir (mindset) suatu negara dalam menyusun prioritas pembangunan. Tak heran, sebagian besar negara mengulangi kesalahan negara lain dalam merencanakan prioritas pembangunan, yaitu dengan menekankan pada pemenuhan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, irigasi, bendungan dan lain-lain melalui skema utang luar negeri IMF dan WB, yang membuat dominasi dan hegemoni negara-negara maju semakin kokoh,sedang negara-negara berkembang menjadi korban. Dominasi dan hegemoni ini harus dihentikan atas nama perebutan kekuasaan dengan membangun kekuatan dunia baru melalui usaha bersama sebagai warga bangsa dunia.

Pada pertemuan IMF dan WB di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo telah memberikan masukan (input) dengan menganalogikan cerita dalam film *Game of Throne*. Kepada para delegasi negara-negara maju di dunia itu Presiden menyampaikan pesan, bahwa dunia membutuhkan koperasi (cooperation) dan kolaborasi (collaboration)! Dunia tidak menginginkan adanya dominasi dan hegemoni satu atau beberapa negara atas negara lain dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan dan krisis ekonomi. Artinya, dominasi suatu negara atas negara-negara lain sebaiknya tidak perlu diteruskan sehingga kerjasama ekonomi diletakkan atas dasar keseimbangan para pihak.

Sebagai negara berdaulat, Pemerintah Indonesia memiliki konstitusi UUD 1945 dan pemerintah terikat pula pada komitmen yang tertuang didalamnya. Pembukaan UUD 1945 sangat jelas menetapkan tujuan dari membentuk pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Maknanya, bahwa ketertiban dunia hanya akan terjadi apabila juga terjadi perdamaian dan keadilan sosial bagi bangsa-bangsa di dunia yang saat ini masih menghadapi permasalahan ketimpangan penguasaan ekonomi. Termasuk didalamnya menempatkan posisi independen, peran dan fungsi bank sentral masing-masing negara (Bank Indonesia) dalam mengatur kebijakan moneter atas fungsi mata uangnya secara konstitusional.

Pidato Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya sebuah bangunan kerjasama (cooperation) dan kolaborasi (collaboration) dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi dunia. Pernyataan yang disampaikan Presiden itu jelas merupakan sebuah frasa konstitusi ekonomi NKRI yang terdapat pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 1, bahwa: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Selanjutnya, pada ayat 2 dari pasal 33 itu menyatakan, bahwa terdapat peran Negara dalam menguasai sumber daya alamnya melalui cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Hal ini merupakan landasan bagi tata kelola perekonomian yang bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran semua orang bukan orang per orang saja. Peran negara sangat penting dalam mengatasi ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran berdasarkan amanat konstitusi ini melalui mandat yang diberikan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Posisi monopoli BUMN pada cabang-cabang produksi atau sektor penting adalah hak konstitusional dan melakukan privatisasi dengan cara memecahbagikan saham negara (stock split) melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) ke pasar bursa adalah pelanggaran dan penyimpangan konstitusi meskipun hanya sebagian atau persentase tertentu saja.

Perdebatan atas peran negara melalui entitas BUMN di sektor ekonomi yang menjadi sumber tafsir dan perdebatan antara kalangan akademisi (sebagian besar ekonom pro kapitalis bahkan hakim MK) dan praktisi ekonomi yang menganggap negara melalui pemerintah hanya sebatas pembuatan kebijakan (public regulation) tidak perlu terjadi. Kalau saja mereka memahami proses kolonialisme oleh korporasi swasta Belanda dulu melalui penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia. Dengan begitu, tafsir soal pemerintah hanya membuat kebijakan saja, sementara para pelaku ekonominya diserahkan ke pasar (swasta atau individu dan kelompok) dan negara tak boleh turut campur, seharusnya sudah selesai.

Oleh sebab itu, perumusan masalah dominasi dan hegemoni sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme dan peran negara-negara di dunia dalam melakukan intervensi atas penguasaan sumber daya ekonomi yang terbatas (limited resources) saat ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi perbaikan kebijakan ekonomi dan keuangan IMF-WB tersebut. Paradigma utang yang selama ini sangat besar untuk pembangunan infrastruktur yang diberikan kepada negara-negara berkembang supaya tidak mengulangi krisis keuangan dan kebangkrutan yang dialami oleh Yunani harus dipandang dalam perspektif yang lebih proporsional dan penanganan yang lebih berkeadilan serta berperikemanusiaan.

Keperluan berutang suatu negara secara makro, jika mengacu pada analisa kebutuhan yang disampaikan teori Maslow secara mikro, bahwa kebutuhan dasar manusia adalah pangan, sandang dan papan sebelum masuk ke jenjang kebutuhan selanjutnya. Untuk itu, dalam konteks negara, maka orientasi pembangunan ekonomi yang lebih prioritas adalah membangun infrastruktur yang menunjang pemenuhan kebutuhan pokok manusia ini secara mandiri sesuai kandungan lokal (local contents) agar terjadi pertumbuhan ekonomi. Bergeraknya sektor ekonomi produktif masyarakat suatu negara melalui koperasi dan kolaborasi tentu akan memampukan pemerintahnya dalam membangun infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan dan lain-lain dengan menetapkan kebijakan perpajakan secara mandiri dan kebutuhan utang luar negeri yang semakin minimal.

Relevan kiranya bagi IMF dan WB untuk mereformasi dan mengkaji kembali (review) secara kelembagaan ide awal berdirinya lembaga ini dalam membangun kerjasama ekonomi, moneter dan perdagangan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi negara-negara di dunia atas kebijakan utangnya untuk pembangunan infrastruktur di negara berkembang. Agak aneh, jika keperluan dan kebijakan utang diarahkan untuk membangun infrastruktur yang dioperasikan secara ekonomis dan bisnis, sementara sektor ekonomi produktif tak berjalan. Akibat dari keperluan berutang seperti ini menyebabkan dana utang tertanam sangat lama dan potensi kerusakan lebih cepat karena faktor iklim dan geografis. Sebaiknya, pembangunan infrastruktur suatu negara lebih banyak diakomodasi oleh IMF dan WB melaui dana hibah dari berbagai negara anggotanya yang merupakan latar belakang mulia saat lembaga ini didirikan untuk membantu rekonstruksi negara Eropa pasca Perang Dunia ke-2. Memaksakan keperluan berutang untuk sektor ini, maka akan menciptakan krisis ekonomi baru di negara lain, alih alih keberhasilan IMF dan WB dalam menyelamatkan negara berutang yang tak teratasi.

Semangat kebersamaan dan kekeluargaan/kemitraan (koperasi dan kolaborasi) dalam mengatasi permasalahan ketimpangan ekonomi dunia yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia dihadapan delegasi pertemuan IMF-WB di Bali yang disampaikan Presiden Republik Indonesia tersebut, merupakan hakikat ekonomi konstitusi yang telah disosialisasikan dengan cara yang sangat elegan. Tawaran alternatif inlah yang memperoleh sambutan tepuk tangan sambil berdiri (standing ovation) meriah dari para hadirin dan semoga bisa menjadi alternatif arus utama siatem ekonomi dunia yang dibahas dalam forum IMF-WB tersebut. Tentu kita bangga menjadi bangsa Indonesia memiliki Presiden yang mampu mensosialisakan hakikat ekonomi konstitusi dalam mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan sumberdaya ekonomi di dunia, termasuk juga implementasinya di Indonesia melalui penguatan kelembagaan Koperasi dan BUMN atau Perusahaan Negara, serta sinergi dan kolaborasi kedua entitas ekonomi ini. (MT)

Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *