Jakarta, MoneyTalk – Anda tidak akan menjadi apa-apa, penganggur, jatuh miskin dan akan menderita karena oposisi terhadap kami pemerintah Jokowi”. Pesan seorang kader Partai Penguasa, orang dekat Joko Widodo di lingkaran Istana Negara pada Medio 2017.
Membaca teks secara tersirat menyatakan bahwa negara menjamin Harta, Tata, Wanita/Pria dan hidup dan kehidupan. Suatu cara pandang filosofi Jawa dalam relasi feodalisme antara Raja dan Abdi Dalem yang disebut “manunggaling kawulo Gusti”.
Pemerintahan kepemimpinan Presiden Jokowi dan sudah berlangsung hampir 9 tahun lebih lamanya. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dituliskan dan dilakukan oleh pemerintah selama ini telah dinilai secara paripurna. Mengikuti beriring waktu apa yang dipertontonkan pemerintah. Ibarat panggung sandiwara juga bagai permainan yang membosankan.
Oposisi bertahan pada kritikan-kritikan yang tajam dan menohok, sementara partisan defensif.
Karena itu tahun yang ke 9 ini tulisan ini difokuskan untuk menilai para pendukung pemerintah Kepemimpinan Jokowi yang saya beri nama Jokowier. Siapa saja yang dimaksud dengan Jokowier? Jokowier disini saya batasi pada Pejabat Pemerintah yang mengklaim diri orang-orang lingkaran dalam (iner sircle) Jokowi, Kerabat Penguasa, Pendukung Pemerintah baik Tim Sukses, Relawan. Namun tentu saja semua penjelasan berikut berbasis pada fakta peristiwa telah disuguhkan oleh media sebagai jendela bangsa. Ada yang terbukti, masih dalam proses hukum dan ada yang masih bersifat praduga tidak bersalah.
Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah menelan waktu 9 tahun berlalu. Sembilan tahun itu pula Jokow(i)er, Para Penguasa, Jokopedia, Seknas, Bara JP, Partai Pendukung dan simpatisan berkoar koar memuja-muji Pemerintah saban hari tanpa henti. Tanpa lelah dan tanpa bosan beriring bersama lapuknya waktu.
Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme. Pemerintah memberantas mafia, kartel, Pemerintah menepati janji. Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, bermoral, menghormati kebebasan ekspresi.
Semua kata-kata memang enak didengar dan itu adalah kesimpulan, tentu saja dihormatinya. Namun perlu dipertanyakan bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang Wali Kota ke Gubernur dan Presiden. Dalam waktu kurang dari 3 tahun, orbit bak meteor ditengah-tengah pemilihan berbiaya trilyunan. Kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki ekonomi maupun para mafia di negeri ini?
Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sedangkan BUMN dijadikan alat banjakan puluhan orang penganggur jalanan dan Job seeker ditampung sebagai pemimpin perusahaan berplat merah? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden. Udar Pristono diduga dibungkam. Sumber Waras sumber masalah tersimpan bara bahkan anak anak Jokowi dijadikan Wali Kota disaat Bapaknya penguasa negeri ini.
Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika. Dengan mempermudah ijin eksport konsentrat dan menyetujui kontrak karya meski menentang amanat undang-undang minerba. Belum lagi 66 janji Presiden dihadapan rakyat Indonesia seperti membeli kembali Indosat, tidak Import pangan. Tidak utang luar negeri, menyelesaikan persoalan HAM dan lain sebagainya dan lain sebagainya. Semua riak di negeri ini bersumber dari untaian kata-kata manis yang keluar dari pemimpin negeri ini.
Dalam pemerintahan ini, kita telah sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara murahan pemerintaha. Antar institusi negara dibentrokan, hukuman mati, penenggelaman sampan-sampan murahan. Negeri maritim yang paceklik, hukum Jahiliah kebiri, kapitalisasi politik laut Cina selatan yg suhu politiknya tidak pernah besar. Dan tidak akan pernah besar.
Dengan pura pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan semangat nasionalisme diatas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik). Penipuan murahan dan omong kosong dan membantai terhadap orang-orang telanjang di Papua. Dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal.
Selama 9 tahun, Pemimpin di negeri ini hadir tanpa perasaan, tanpa peduli terhadap kaum marjinal, orang-orang miskin. Pundi-pundi orang kaya tumbuh 10% / tahun. Pengusaha hanya tumbuh 3%. Orang miskin hanya turun 1 digit. Rangking IPM dunia bangsa ini turun 8 tingkat dari 108 di tahun 2014 dan 116 di tahun 2022, Ironi ditengah negara telah habiskan uang rakyat 20 ribu trilyun selama 9 tahun APBN.
Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo. Yang mendobrak citra seorang Wali Kota hingga menjadi presiden, orang nomor 1 Republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto. Meskipun konon katanya masih diperdebatkan atas kebenaran akan diproduksinya. Padahal Jokowi janjikan proyek ini tidak pernah kunjung usai sampai apa tahun yang ke-3.
Dalam politik transaksional, bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan. Selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur , jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu. Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah. Kemudian dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?.
Memang berkuasa itu enak. Mumpung berkuasa, aji mumpung dan Itulah kekuasaan. Dengan berkuasa, secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya.
Ada benarnya jika seorang Inggris, Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan cederung korup dan mau melakukan korupsi secara mutlak (power tends to korups, and will corupts absolutely). Karena itu kecenderungan pemimpin negeri ini berharap pada negara, pejabat dan sanak saudara. Berdagang pengaruh kekuasaan dan jabatan (trading in influences). Sebuah tindakan amoralitas yang berlangsung sejak Jaman (hukum hamurabi) babilonia, korupsi, kolusi dan nepotis. Seperti lazimnya negara berpolitik dan birokrasi patrimonial dinegeri Republik, egalitarian, rational dan democratis.
Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik. Sebagaimana Pengamat Politik berkebangsaan Australia Herber Feith pernah sampaikan. Kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik. Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik. Sehingga timbul kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis. Mereka tidak mengerti bahwa negeri mereka sedang dijarah dan rampok.
Apapun argumentasinya, negara ini telah berbaik hati pada penguasa dan pendukung. Hidup bersedekah dari negara seperti rakyat dinegeri feudal berhadap rezeki berberkah ratu pandito raja. Memalukan!.
Karena itu jangan pernah berpidato mengutif kata-kata kepahlawanan John F Kenedy. Yaitu jangan bertanya apa yang diberikan oleh negara tetapi bertanya apa yang Engkau berikan kepada Negara. Bulshit, omong Kosong. Tetap saja; Manunggaling Kawulo Gusti!
Mereka yang hidup manunggaling kawulo gusti tersebut yang sangat nampak saat ini. Adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung ahok, pendukung Mega, pendukung Luhut, hampir semua pendukung penguasa.
Para punggawa politik mereka oleh para pendukung menganggap sebagai titisan dewa. Kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini. Bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap tita dewa, Devine Right of the King, seperti yang pernah praktekkan oleh raja Jhon di Inggris abad ke 15 pada masa monarki absolut. Sekali lagi itulah perwujudan nyata dari apa yang disebut manunggaling kawulo gusti.
Semoga Jokower pendukung Jokowi tidak demikian. Sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial, objektif. Untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat. Bukan atas dasar tahayul, fanatisme agama, suku, ras antar golongan.
Kita sudah terlalu lama hidup didalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa. Tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum Individu.
Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Pemimpin mesti memimpin secara rasional agar tiap warga negara hidup berkreasi dan kompetisi.
Sangat ironis bahwa Kelompok yang mengaku priyayi dan abangan tidak memiliki doktrin ideologi. Ideologi mereka hanya kekuasaan, mereka tidak punya harapan dan cita-cita untuk bumi putera. Karena mereka hamba sahaja kolonial sebagai pemungut cukai. Lain dengan kelompok santri yang jatuh bangun berjuang membebaskan negeri. Semua pahlawan yang merintis lahirnya negeri ini adalah pahlawan kaum bersorban.
Sudah 9’tahun memimpin negeri ini, berbagai sandiwara dipertontonkan para Jokowier. Mereka mengklaim diri sebagai pemilik kekuasaan, mampu mengontrol otoritas negara, orang dekat kekuasaan. Pola pikir ponga dan bedebah yang dipertontonkan ke publik sebagai pedagang pengaruh (Trading in influences). Bayangkan berbagai kasus suap dan korupsi yang merusak bangsa ini. Sebagian besar di lakukan karena memanfaatkan atau memperdagangkan pengaruh. Menjual nama pejabat, kedekatan dengan pejabat dan bahkan sanak saudaranya.
Disaat yang sama selama 9!tahun juga menyerang para oposisi secara babi buta tanpa perasaan, tanpa berperikemanusiaan. Menyerang oposisi dengan berbagai kata-kata rendahan berbagai bentuk kekerasan verbal. Penyebutan monyet dan gorila oleh Jokowier kepada lawan politik, suatu tindakan yang relevan hanya dilakukan Simbol manusia tidak bernilai dan berbudaya karena cenderung diskriminatif dan rasialis.
Demikian pula ancaman labilitas intergradasi vertikal dan horisontal yaitu antara negara dan rakyat dan rakyat dan rakyat selama ini, khususnya sebagaimana dialami oleh umat islam sungguh menyakitkan di negeri Pancasila yang beragama mayoritas muslim.
Penyerangan, penganiayaan, pelarangan dan diskriminasi terhadap para ulama, kyai, ustad, habaib telah menyatakan secara lancang tentang adanya islamophobia di negeri ini. Hal ini merusak tatanan dan nilai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Berbagai kebijakan dan tindakan pendukung Jokowier lebih mencerminkan pemanfaatan kekuasaan, jabatan dan uang hanya untuk melanggengkan kekuasan dengan cara machiavelian sekalipun. Pertimbangan utamanya adalah karena para Jokowier tidak mau terusik dari zona nyaman mereka.
Jokowier, rakyat ini sudah lama menderita, seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman pancarobah 6 tahun lalu, mereka sudah kasih talak 3 ke nagara.
Apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok nusantara ini hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted anugerah Ilahi. Dengan sumber daya alam yang melimpa ruah di bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup. Bahkan lebih aman.
Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yg dibuat oleh negara,
Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yg menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara. Nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu.
Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita rakus berkuasa. Kekuasaan memang penting. Namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh nusantara. Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan.
Orang Ambon sudah lama menderita, 50 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland. Sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri. Walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri.
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan. Meskipun saudara-saudara kita, Laode-Laode banyak orang hebat di negeri ini. Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri. Padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong. Mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah.
Selain distribusi kekuasaan, ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan. Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif. Ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil, sampai saat ini belum pernah selesai. Bukan berita hoax, pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970. Ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun secara baik.
Boleh saja percaya diri berlagak pemilik kuasa dengan Percaya Diri (PD tinggi), sementara Indeks Prestasinya (IP) rendah. Tetapi hidup manunggaling kawulo gusti. Perilaku yang memalukan karena negeri ini bukan monarki. Juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA. Negeri milik bersama.
Dimana kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat ( Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium). Karena itu esensi dari negara demokrasi. Maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice). Melalui distribusi kekuasaan ( distribution of power) dan distribusi pembangunan ( distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif dan tahayul. (MT)
Oleh:
Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis HAM