Jangan Sembarang Menuduh Presiden Jokowi!
Jakarta,MoneyTalk – Lagi-lagi profesor yang sudah berganti menjadi Provokator Denny Indrayana (DI) ini memancing huru-hara. Mungkin karena ia sudah tidak lagi jadi pejabat dan orang berpengaruh, seperti dahulu ketika Big Bossnya masih jadi Presiden R.I ke 6, DI terus menerus cari perhatian (Caper) di depan publik. Selain itu DI memprovokasi orang bukannya dari dalam negeri sendiri, melainkan dari luar negeri, yakni Australia.
Tindakan DI seperti ini bisa dikatakan layaknya tindakan seorang pengecut, yang hanya berani melempar batu dari jauh. Untung saja yang jadi Presiden R.I saat ini Pak Jokowi, dan bukan Pak Soeharto, kalau Pak Soeharto yang jadi Presiden saat ini, mungkin Pasport DI sudah dicabut oleh pihak Kedutaan R.I di Australia, sebagaimana yang dahulu dialami oleh para senior saya yang menjadi aktivis di Jerman yang kritis pada Rezim Soeharto.
Jika sebelumnya DI menghantam secara membabi buta ke MK, KPK dan MA serta KSP, kali ini DI mulai gencar menyerang Presiden Jokowi. DI memprovokasi DPR agar memakzulkan Presiden Jokowi, jika saja Presiden Jokowi turut campur dalam keputusan MA terhadap Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Partai Demokrat kubu Pak Moeldoko. Bagi DI, Presiden Jokowi yang dianggapnya diam saja melihat tindakan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, yang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) dengan mengganti Ketum Partai Demokrat AHY, merupakan bentuk intervensi, persetujuan atau pembiaran Presiden Jokowi terhadap tindakan KSP Moeldoko.
Saya jadi berpikir, apa memang DI dan gerombolan SBY lainnya ini sudah merasa akan dan sangat takut kalah di MA, sehingga mereka semakin panik dan secara intensif “meneror” Presiden Jokowi dan institusi atau lembaga-lembaga Pemerintah khususnya MA, dengan tujuan agar PK kubu Pak Moeldoko ditolak oleh MA? DI rupanya masih belum siuman dari teler kemabukan politiknya yang panjang, DI masih mengira karakter Presiden Jokowi sama percis dengan karakter SBY. Ini keliru besar !.
MA sebagai Lembaga Judikatif itu bersifat independen, merdeka, steril, bebas dari campur tangan eksekutif (Lembaga Kepresidenan). Dan ini merupakan buah dari Perjuangan Reformasi ’98 yang dahulu kami perjuangkan secara mati-matian di jalanan dan di mimbar-mimbar orasi di Kampus !. Executive heavy terhadap Lembaga Legislatif dan Judikatif itu sudah berhasil kami musnahkan, walaupun sempat hidup kembali di masa Pemerintahan SBY.
Apakah Prov. DI tau, bahwa konstitusi sudah lama memberangus Executive heavy ini melalui pengurangan kekuasaan Presiden, dan membatasi cara Presiden menjalankan kekuasaan, serta memperbesar kekuasaan DPR?. Itu dulu kami (Aktivis ’98) yang memperjuangkannya, dan mungkin saat itu Prov. DI masih jadi Mahasiswa ingusan. Makanya Prov. Denny Indrayana harus tau dan sadari itu, agar bisa lebih qualified untuk dipanggil dan menerima jabatan sebagai Prof. DI kembali !.
Impeachment yang diatur dalam Pasal 7A UUD ’45 tidak boleh ditafsirkan secara sembarangan oleh provokator-provokator semacam DI, yang masih berhalusinasi Ketum Partainya yang masih Bocil dan Politisi Pemula itu jadi Capres 2024. Tidak segampang itu Pak Prov. (Baca: Provokator) !. Presiden Jokowi tidak pernah melakukan Penghianatan Terhadap Negara, tidak pernah Korupsi dan melakukan Penyuapan, tidak pernah melakukan Tindak Pidana lainnya, atau Perbuatan Tercelah. Presiden Jokowi itu sangat demokratis dan tidak pernah mau turut campur urusan pribadi orang lain !.
Diamnya Presiden Jokowi terhadap manuver politik KSP Moeldoko, itu jangan dianggap sebagai bentuk persetujuan Pak Moeldoko menjadi Ketum Partai Demokrat. DI harus tau, yang menyelenggarakan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat 5 Maret 2021 itu bukan Pak Moeldoko, melainkan para pendiri dan Pengurus Partai Demokrat yang sah ! Pak Moeldoko itu bintang tamu yang diundang, dan karena para peserta kongres kesemsem sama wibawa dan kecerdasan Pak Moeldoko yang dianggapnya jauh lebih pantas jadi Ketum dibanding AHY, mereka ramai-ramai meminta dan memilih Pak Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat.
Mungkin saja karena melihat fakta di lapangan seperti itu, terlebih karena integritasnya sebagai seorang Demokrat sejati, Presiden Jokowi membiarkan Pak Moeldoko mengambil sikap yang seperti itu. Pak Moeldoko sebagai KSP memang iya, namun bukan berarti sebagai KSP Pak Moeldoko terlarang dan dilarang untuk menjalankan pilihan politiknya. Itu sepenuhnya hak politik pribadi Pak Moeldoko. Dan itu juga bukan rangkap jabatan, karena Ketum Parpol itu bukan jabatan !. Kita sama-sama lawyer dan menekuni Ilmu Hukum Tata Negara, mestinya kita sangat tau tentang hal ini bukan?…(MT)
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Sarjana Hukum Tata Negara.