Menggerus Skenario Megawati?

0

Jakarta, MoneyTalk – Tulisan berikut mencoba menelusuri pandangan banyak orang, bahwa Prabowo dan Jokowi satu frekwensi politik, sedangkan Jokowi dan Megawati sedang adu gulat. Mari kita telusuri.

Di permukaan Jokowi seakan manut dan taat terhadap keputusan Partai; tapi sesungguhnya Jokowi dan Ketua PDIP, Megawati sedang adu gulat; tampak berpelukan padahal mereka sedang “adu piting”. Benarkah?

Bergabungnya PAN dan Golkar ke koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, membuktikan skenario Jokowi lebih maju daripada Megawati. Ketua Golkar, Airlangga Hartarto pernah terancam Munaslub–tapi gagal–, merupakan satu-satunya ketua partai yang “bengal”. Skenario “Munaslub” ini mirip yang diterapkan ke Partai Demokrat untuk menggusur AHY, tidak membuat Partai Golkar pecah. Golkar tetap solid, menolak Munaslub. Namun setelah itu, Airlangga diangkat kasusnya dalam korupsi minyak sawit mentah, dipanggil Kejagung (24/7/23). Jaksa Agung ST Burhanuddin ini loyalis Presiden. Kali ini ternyata skenario sangat manjur, tidak lama setelah itu, Airlangga langsung tergopoh-gopoh merapat ke koalisi pendukung Prabowo.

Sementara PAN, semula sudah mepet-mepet ke koalisi pendukung Ganjar; tapi sekonyong-konyong berbelok mendukung Prabowo; hal ini semakin kuat dugaan, Erick Thohir yang dijagokan PAN, tidak mendapat tempat yang layak di koalisi Ganjar. Bagi PAN, lebih menjanjikan bergabung ke koalisi Prabowo daripada Ganjar. Ketua Zulhas mencium, Prabowo tidak akan dipasangkan dengan Ketua PKB, Muhaimin Iskandar, melainkan dengan seseorang yang termasuk skenario besar dibawah ini.

Nama Gibran dimunculkan menjadi bakal cawapres Prabowo itu cuma gimick, akal-akalan Prabowo (tentunya atas izin Jokowi) untuk mengangkat Gibran masuk dalam orbit tokoh nasional, demi kepentingan jangka panjang. Hal ini cuma bumbu penyedap Pilpres, tidak perlu ditanggapi serius.

Yang menarik, partai-partai pengusung Prabowo; khususnya PAN, Golkar, dan PKB semua ketuanya tersangkut kasus hukum, yang terkunci di “sarang rajawali”, dan karena itu posisi mereka bukan untuk tawar-menawar–, mereka sudah seperti sapi “dicokok hidung”. Prabowo bisa dengan sesuka hati menentukan calon pendampingnya, tanpa perlu cemas akan “ancaman” suatu partai, misalnya keluar dari koalisi jika tidak memenuhi maunya partai. Akibatnya bisa fatal; bagi Prabowo, keluar koalisi artinya masuk bui.

Pilpres 2024 kesempatan terakhir, jadi Presiden atau tidak sama sekali. Kalah yang ke-3 kali, kemudian harus menunggu 2029? Bukan masanya lagi bagi Prabowo, yang sekarang sudah 71 tahun. Karena itu Prabowo tidak main-main, segala sesuatunya dipertaruhkan mati-matian. Yang sudah bergabung koalisi, jangan coba-coba loncat. Amunisi sudah dihitung secara cermat; bom atom tidak boleh lagi salah sasaran.

Bagaimana dengan koalisi Ganjar? Seakan-akan Ganjar ditinggal sendirian? Tidak begitu. Saya melihat dengan khusnudzon–meski masih spekulatif. Sebenarnya Jokowi tidak meninggalkan Ganjar; tapi akan menjemput kemudian. Ganjar nanti akan dipasangkan dengan Prabowo. Kombinasi Prabowo-Ganjar; akan diandalkan bisa menang satu putaran. Hal ini sesuai dengan Perjanjian “Batu Tulis”, Bogor, koalisi permanen PDIP dan Partai Gerindra, 2014.

Oleh karena itu, Budiman Sujatmiko sepertinya sudah menangkap skenario ini; dia mencuri start (biar dapat jatah menteri) mendukung Prabowo duluan, toh kemudian akan dijemput oleh calon dari partainya sendiri, PDIP, Ganjar Pranowo.

Pengamat Politik, Kurnia P. Kusumah (Udeng).

Views: 0

Leave A Reply

Your email address will not be published.