Payah !!! Heru Budi Pjs Gubernur DKI Jakarta Bagai Robot?
MoneyTalk, Jakarta – Prinsip efektivitas dalam menjalankan pemerintahan adalah kunci untuk mempercepat kemajuan suatu daerah. Namun, rangkap jabatan kepala daerah sering kali menjadi momok bagi bangsa, menambah beban anggaran pemerintah, memperlambat kinerja, dan mengurangi kewibawaan. Hal ini menjadi sorotan Sugiyanto (SGY), Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat), yang menyoroti rangkap jabatan yang diemban oleh Heru Budi Hartono melalui tulisannya pada Senin, 19 Agustus.
SGY mencermati bahwa rangkap jabatan yang diemban oleh Heru Budi Hartono sebagai Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) dan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta terbukti menjadi beban nyata, baik bagi dirinya maupun masyarakat Jakarta. Kejadian pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus tahun ini adalah contoh paling jelas dari dilema tersebut.
Lebih lanjut, SGY mengungkapkan bahwa ketika semua kepala daerah atau pejabat gubernur di seluruh Indonesia bertindak sebagai Inspektur Upacara di wilayah masing-masing, Jakarta justru kehilangan kehadiran pemimpin utamanya. Heru Budi Hartono, yang seharusnya menjalankan tugas tersebut, berada di Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur untuk melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Sekretariat Presiden.
Menurut SGY, ketidakhadiran Heru Budi dalam kapasitasnya sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta pada momen penting tersebut berdampak pada masyarakat Jakarta yang kehilangan sosok pemimpin mereka. Tugas sakral sebagai Inspektur Upacara HUT Ke-79 RI di Monas akhirnya harus diambil alih oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Jakarta, Joko Agus Setyono.
SGY menyayangkan ketidakhadiran Heru Budi pada acara yang sangat simbolis dan bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia ini, karena jelas merugikan masyarakat Jakarta. Kehadiran seorang pemimpin pada momen-momen penting seperti upacara peringatan kemerdekaan memiliki nilai yang sangat signifikan, baik sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah bangsa maupun sebagai simbol pemersatu masyarakat.
Rangkap jabatan ini menyebabkan Heru Budi harus memprioritaskan tugas-tugas kenegaraan di IKN, yang tentunya penting, namun mengorbankan tugasnya sebagai Pj Gubernur Jakarta. SGY berpendapat bahwa Jakarta, sebagai ibu kota yang masih aktif dan pusat pemerintahan serta perekonomian negara, memerlukan seorang pemimpin yang hadir penuh waktu untuk mengatasi berbagai tantangan dan kebutuhan kota.
SGY juga menjelaskan secara logis bahwa beban ganda yang dihadapi oleh Heru Budi dapat mengakibatkan kekosongan kepemimpinan pada momen-momen krusial di Jakarta. Hal ini berdampak pada kurang optimalnya pelayanan publik dan pengambilan keputusan strategis di tingkat daerah.
Kejadian ini juga membuka ruang bagi perdebatan tentang efektivitas rangkap jabatan dalam pemerintahan. Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan risiko terhadap kredibilitas dan kapabilitas kepemimpinan di mata publik.
Efektivitas pengelolaan pemerintahan daerah menjadi terhambat, dan SGY menilai bahwa rangkap jabatan Heru Budi Hartono telah menunjukkan kelemahannya, terutama ketika tugas-tugas yang berbeda saling berbenturan. Masyarakat Jakarta layak mendapatkan perhatian penuh dari pemimpin mereka, terutama dalam peristiwa-peristiwa penting yang memerlukan kehadiran simbolis dan praktis seorang pejabat gubernur.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali model kepemimpinan seperti ini demi memastikan bahwa semua daerah mendapatkan pelayanan dan perhatian yang optimal dari pemimpin mereka. Momentum peringatan HUT 17 Agustus seharusnya menjadi saat bagi kepala daerah untuk merayakannya bersama masyarakatnya. Namun, sayangnya, hal ini tidak terjadi di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, Jakarta. Ironis, bukan? tutup SGY. (c@kra)