Pengelolaan Air Berdasar Ekonomi Konstitusi Adalah Keharusan!
MoneyTalk,Jakarta – Tanah Air Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang mulia….sebait dari lagu nasional yang menunjukkan kebanggaan serta frasa semangat pelestarian dan keberlanjutan pengelolaan kekayaan alamnya bagi masa depan generasi penerus. Tanah dan Air tidak hanya penampakan fisik yang selalu dilihat manusia, tetapi juga merupakan bagian dari struktur yang membentuk tubuh manusia. Tanpa tanah dan air, maka manusia hanya tinggal kulit, tulang dan nyawa jika tidak diambil kembali oleh Yang Maha Pencipta. Jadi, tanah dan air adalah faktor krusial bagi keberlangsungan kehidupan alam raya dan manusia. Apabila terjadi krisis air, maka kelangsungan tanah dan makhluk hidup serta kehidupan manusia akan terancam!
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk melalui pengorbanan para pejuang dan pendiri bangsa (founding father) telah memperhatikan serius soal pengelolaan air ini. Hal ini jelas termaktub dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 33, ayat 3, yaitu: Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat. Lalu, bagaimanakah tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) air ini diatur oleh pemerintah agar alokasi, kelangkaan dan krisis air dapat diantisipasi? Sebab, isu air ini juga menjadi perhatian serius (concern) dunia selain pangan dan energi (food and water).
Tantangan Krisis Air
Beberapa wilayah di Indonesia memiliki karakter tanah dan kandungan atau kapasitas volume air yang berbeda-beda. Bahkan, sejumlah daerah pernah mengalami krisis air bersih akibat kekeringan seperti di Provinsi Bangka Belitung, sejumlah daerah di Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, dan Jawa Barat. Seharusnya pemangku kepentingan memperoleh pembelajaran atas kasus krisis air dan kekeringan itu, dan menyiapkan langkah-langkah strategis dalam kebijakan pengelolaan air, khususnya air bersih bagi masyarakat di masa depan. Tentu saja, pembiayaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) dan investasi pembangunan sektor SDA air dalam rangka mengantisipasi kekeringan dan atau kelangkaannya sekaligus penyediaan infrastruktur sanitasi air bersih harus dialokasikan secara optimal.
Sebab, angka sanitasi aman Indonesia menurut laporan human development index masih sangat rendah, yaitu hanya sebesar 7% pada tahun 2020. Capaian Indonesia ini lebih rendah dibandingkan Thailand yangmana angka sanitasinya mencapai sebesar 26% dan India mendekati setengah kualifikasi yaitu mencapai 46%. Sementara itu, selain capaian angka sanitasi sangat rendah tersebut, masyarakat juga masih menghadapi permasalahan sulitnya akses terhadap air bersih yang terjadi secara umum di berbagai wilayah Indonesia. Sebagai contoh kasus lain, survei terhadap air minum yang dipublikasikan oleh UNICEF pada tahun 2017 di Yogyakarta, sebuah pusat perkotaan makmur di Pulau Jawa, menemukan bahwa 89 persen sumber air dan 67 persen air minum rumah tangga terkontaminasi oleh bakteri tinja. Terlebih lagi, hanya 7 persen saja air limbah di Indonesia yang diolah menjadi air bersih atau air bernilai tambah lainnya.
Secara umum, faktor-faktor penyebab kelangkaan air bersih diantaranya, adalah peningkatan populasi (over population) yang tidak diimbangi oleh persediaan air yang memadai atau tidak ada cadangan persediaan (water stock reserved). Terjadinya polusi air atau pencemaran yang berpotensi mengurangi ketersediaan air bersih dan musim kemarau yang panjang. Terkait keterjangkauan (accesibility), biasanya sumber air sangat jauh dari pemukiman. Ketersediaan dan kelangkaan air juga dipengaruhi oleh adanya tangki septik tank yang bocor sehingga terjadi pencemaran. Lebih mirisnya, kelompok paling miskin di Indonesia masih tertinggal dengan kesenjangan yang signifikan dalam memperoleh akses sanitasi terutama di antara rumah tangga pada dua tingkat masyarakat paling rendah, yaitu sebesar 40 dan 65 persen di daerah perkotaan dan 36 dan 65 persen di daerah perdesaan
Untuk itulah, diperlukan langkah-langkah mengurangi krisis air secara preventif diantaranya dengan menghemat penggunaan air. Secara kuratif, dapat dilakukan melalui konservasi air hujan, investasi dalam Infrastruktur air bersih beserta pendidikan (edukasi) kepada masyarakat. Mengutamakan sektor pertanian berkelanjutan dalam prioritas pembangunan merupakan cara strategis dan efektif dalam mengatasi polusi air. Begitu pula, partisipasi masyarakat dituntut dalam berbagai kegiatan sosial dan lingkungan agar permasalahan kekeringan, kelangkaan dan sanitasi air bersih dapat diatasi sejak dini.
Kebutuhan Air DKI Jakarta
Jumlah penduduk Indonesia 2024 adalah 281.603.800 jiwa dan menjadi nomor empat terbanyak di dunia. Dikutip dari situs BPS, jumlah tersebut berdasarkan laporan Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050 Hasil Sensus Penduduk 2020 (Pertengahan tahun/Juni). Terdapat peningkatan jumlah penduduk terhadap total penduduk Indonesia, yaitu sejumlah 2.907.600 jiwa dari tahun sebelumnya (2023). Tingginya laju pertumbuhan dan angka kematian yang stagnan per tahun menjadikan jumlah penduduk Indonesia sangat besar.
DKI Jakarta merupakan wilayah peringkat enam (6) terbesar jumlah penduduknya atau 3,9% dari total jumlah penduduk otal kebutuhan air minum pend Indonesia. Kebutuhan air DKI Jakarta, jika mengacu pada kebutuhan standar minum air sehari minimum menurut kesehatan 2 liter/hari, maka konsumsinya adalah 21.400.000 liter/hari. Sedangkan, kebutuhan air bersih tidak saja diperuntukkan bagi air minum di setiap Rumah Tangga saja, melainkan juga untuk kegiatan kebersihan diri dan lingkungan rumahnya.
Selain itu, air bersih juga dipergunakan bagi kebutuhan pelayanan publik pemerintahan, seperti perkantoran, Rumah Sakit, pemadam kebakaran, irigasi dan kegiatan bisnis atau komersial lainnya. Kapasitas kebutuhan konsumsi air bersih harian harian menurut data BUMD PAM Palyja adalah 100 liter per detik atau 360.000 liter/jam. Artinya, kebutuhan air minum dan air bersih sekaligus di DKI Jakarta bisa mencapai lebih dari 46,224 milyar liter/hari. Disamping itu, cakupan air bersih di Jakarta hingga tahun 2023 baru mencapai 67 persen ke Rumah Tangga (RT) penduduk. Artinya, masih terdapat 33 persen RT penduduk yang tidak bisa mengakses air bersih sebagai kebutuhan dasar.
Tantangan pengelolaan air bersih dan air minum di wilayah DKI Jakarta tidaklah ringan, apalagi sebagai kota metropolitan sekaligus ibukota negara komoditas air telah menjadi produk komersial. Dengan tingkat mobilitas dan migrasi penduduk yang tinggi, pengelolaan air oleh BUMD Pamjaya harus dipastikan mendapat perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah Provinsi DKI. Pelibatan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam merumuskan berbagai peraturan terkait pengelolaan air bersih dan minum perlu diupayakan agar partisipasi publik diakomodasikan. Akomodasi ini penting untuk membentuk sebuah kebijakan yang lebih efektif dan efisien dijalankan Pemprov DKI untuk mencapai sasaran (target) secara terarah dan berdaya guna.
*Kebijakan Dan Dana Abadi Air*
Sebagai salah satu cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak merujuk pada perintah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3), maka pemerintah Indonesia harus mengatur pengelolaan sumberdaya alam (SDA) air sebagai penguasaan negara. Penguasaan negara atas air ini ditetapkan melalui kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17/2019 tentang SDA. UU ini juga didukung oleh empat peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan turunannya yaitu PP Irigasi, PP Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), PP Sumber Air, PP Pengelolaan Sumber Daya Air maksimal dua tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang SDA tersebut. Namun, berbeda dengan minyak dan gas bumi (migas) serta ketenagalistrikan, pengelolaan entitas ekonomi dan bisnis komoditas air ini justru tidak dimandatkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pengelolaan air bersih, khususnya air minum selama ini diserahkan pengelolaannya kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang masing-masing berada di daerah otonom. Perlu kiranya, pemerintah mempertimbangkan mandat konstitusi terkait pengelolaan air ini dengan membentuk sebuah BUMN sektor air ini tanpa mengabaikan otonomi BUMD atau Perusahaan Air Minum (PAM) diberbagai daerah yang berjumlah 393 perusahaan. Kehadiran BUMN ini tidak saja difungsikan menjalankan penugasan pemerintah (public service obligation/PSO) yang membantu masyarakat konsumen kurang mampu, juga bermanfaat dalam melakukan penetapan kebijakan harga (setting price policy) untuk kepentingan produk air bersih dalam bentuk kemasan secara komersial. Yangmana hal ini telah diberlakukan terhadap industri migas dan ketenagalistrikan sehingga terbentuk kebijakan SATU HARGA.
Perhatian dunia atas sektor air juga telah dilakukan melalui berbagai pertemuan tingkat menteri dan tingkat tinggi melalui World Water Forum/WWF (Forum Air Dunia). Dan, Indonesia menjadi tuan rumah pada tanggal 18-25 Mei 2024 bagi penyelenggaraan WWF ke-10 di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kura-kura Bali, Denpasar dengan mengusung tema “Water for Shared Prosperity”. WWF ke-10 ini menghasilkan sejumlah hal, salah satunya melalui Deklarasi Menteri di antaranya memuat usulan pembentukan Center of Excellence (CoE) on Water and Climate Resilience atau Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim atau di kawasan Asia Pasifik. Forum juga mengusulkan peringatan Hari Danau Sedunia atau World Lake Day serta mengangkat dan mendorong isu pengelolaan sumber daya air secara terpadu pada pulau-pulau kecil.
Gelaran ini juga mengusulkan adanya Global Water Fund atau platform pembiayaan air dunia. Platform ini nantinya akan menjadi wadah multi-pihak untuk membantu masalah pendanaan air yang efektif dan berkelanjutan. Bahkan, forum ini juga menghasilkan 113 proyek senilai US9,4 miliar atau sekitar Rp151 triliun, yang mencakup proyek percepatan penyediaan air minum bagi 3 juta rumah tangga hingga proyek pengelolaan air limbah domestik bagi 300 ribu rumah tangga di seluruh dunia. Penting juga kiranya, apabila pemerintah melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Ditjen CK Kemen PUPR) mulai memikirkan perlunya dana abadi air dalam menyelesaikan permasalahan investasi dan tantangan pengelolaan air secara strategis di masa depan. Tindaklanjut komitmen hasil kesepakatan WWF atas permasalahan air dunia ini tentu dinantikan negara-negara berkembang.
Penulis : Defiyan Cori,Ekonom Konstitusi