Penjualan Batubara, Pendapatan Pemerintah Kalah dengan Pendapatan Broker
MoneyTalk,Jakarta – Jika Pengusaha Melaporkan Menjual Batubara Seharga 40 Dolar Per Ton, Maka Pemerintahan Prabowo-Gibran Dapatnya Seupil. Hal ini diungkapkan oleh Salamuddin Daeng dalam rilis tertulis yang diterima oleh MoneyTalk Kamis (12/09).
Daeng menjelaskan bahwa baru-baru ini, pemerintah mengumumkan rencana ambisius untuk memproduksi batubara sebanyak 1 miliar ton. “Wow, dahsyat! Uang Indonesia akan melimpah ruah, seperti banjir bandang yang tidak bisa dibendung siapa pun,” katanya Daeng
Tapi, apakah benar uangnya akan sebanyak itu? Mari kita coba hitung bersama.
Menurut harga acuan yang ditetapkan pemerintah, nilai 1 miliar ton batubara bisa mencapai 125,85 miliar dolar AS. Jika dikonversi dengan kurs Rp15.500 per dolar, nilai tersebut setara dengan 2.000 triliun rupiah. Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga acuan batubara (HBA) untuk Januari 2024 sebesar USD 125,85 per ton batubara.
Lalu, berapa bagian yang akan diterima negara dari penjualan tersebut? Berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batubara, tarif yang dikenakan untuk setiap penjualan batubara berdasarkan harga acuan (HBA) adalah sebagai berikut:
Untuk HBA di bawah US$70 per ton dikenakan tarif 14%.
Untuk HBA di antara US$70 hingga US$80 per ton, tarifnya 17%.
Untuk HBA di rentang US$80 hingga US$90 per ton dikenakan tarif 23%.
Tarif 25% berlaku untuk penjualan batubara dengan HBA antara US$90 hingga US$100 per ton.
Tarif maksimal sebesar 28% dikenakan untuk HBA di atas atau sama dengan US$100 per ton.
Selain itu, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUPK yang bukan dari kelanjutan operasi atau perjanjian dikenakan royalti dengan tarif yang bervariasi antara 3%, 5%, hingga 7%, tergantung kalori batubara.
Jika penjualan batubara sebanyak 1 miliar ton ini dilakukan dengan harga acuan tertinggi, maka pendapatan negara dapat mencapai 28% dari nilai penjualan, atau sekitar Rp560 triliun. Pemerintahan Prabowo-Gibran akan mendadak kaya raya! ungkap Daeng.
Namun, realitasnya tidak seindah itu. Dalam RAPBN 2025, pendapatan dari sumber daya alam direncanakan sebesar Rp217,96 triliun, yang terdiri atas: a) pendapatan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi; b) pendapatan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi.
Angka ini menunjukkan bahwa potensi pendapatan dari batubara bisa tiga kali lipat dari total pendapatan sumber daya alam migas, mineral, dan seluruh hasil pertambangan lainnya.
“Dengan produksi batubara 1 miliar ton, minyak yang dulunya menjadi primadona APBN bisa dianggap masa lalu. Minyak kini seupil dibanding batubara, apalagi dengan kondisi industri hulu migas Indonesia yang hancur-lebur.
Produksi migas yang dulu mencapai 1,6 juta barel per hari kini hanya 600 ribu barel per hari. Inilah yang membuat pemerintahan Jokowi agak kere karena harus menanggung beban migas, terutama impor yang menggila dan subsidi BBM serta LPG 3 kg yang ugal-ugalan, tambah Daeng.
Namun, Daeng mengingatkan pemerintahan Prabowo-Gibran untuk tetap waspada.
Sejauh ini, penerimaan negara dari batubara hanya mencapai puluhan triliun rupiah, jauh dari harapan. Pengusaha batubara ini memang dikenal “pelit mendit” dan lebih suka menjual murah batubara mereka ke luar negeri, misalnya ke Tiongkok, dengan harga 40 dolar per ton.
Dengan strategi ini, mereka bisa menghindari peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Mineral dan Batubara. Dengan harga jual rendah, pendapatan negara pun hanya ‘seupil’, bos! Jangan-jangan, uang hasil penjualan batubara ini malah dikirim ke tempat lain di luar negeri? Siapa tahu, coy! kritik Daeng.
Rencana pemerintah untuk memproduksi 1 miliar ton batubara memang terdengar spektakuler dan menjanjikan pendapatan besar bagi negara. Tapi pemerintah juga harus lebih jeli dan tegas dalam memastikan pendapatan yang sesuai dari sektor ini.
Pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang konsisten akan menjadi kunci agar potensi pendapatan dari batubara tidak hanya menjadi ‘mimpi basah’ belaka bagi APBN, tetapi menjadi kenyataan yang bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia, pungkas Daeng. (c@kra)