DPD Gerindra Maluku Utara Tak Perlu Menghalangi Anaknya AGK
MoneyTalk, Jakarta – Keputusan DPD Gerindra Maluku Utara yang belum merekomendasikan pelantikan Nazlatan Ukhra Kasuba (NUK), putri mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba (AGK), sebagai anggota DPRD Provinsi Maluku Utara mengundang sejumlah pertanyaan dari perspektif hukum dan keadilan. Pernyataan Ketua DPD Gerindra Malut, Sahril Taher, yang mengatakan bahwa NUK masih menjadi saksi dalam kasus yang melibatkan ayahnya sebagai alasan penundaan tersebut, dapat dianggap tidak tepat dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Hukum dan Prinsip Praduga Tak Bersalah
Dalam sistem hukum Indonesia, asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah adalah prinsip fundamental yang harus dijunjung tinggi. Setiap warga negara dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sebaliknya. Dalam hal ini, NUK diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya sebagai saksi, bukan tersangka atau terdakwa. Posisi sebagai saksi seharusnya tidak menghalangi hak-hak politik seseorang, termasuk hak untuk dilantik sebagai anggota DPRD jika telah memenuhi persyaratan hukum dan administrasi.
Oleh karena itu, argumen DPD Gerindra Malut yang menunda rekomendasi pelantikan NUK karena statusnya sebagai saksi dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang melibatkan AGK adalah tidak berdasar. Prinsip hukum yang berlaku tidak boleh diabaikan demi alasan politis atau pertimbangan yang tidak objektif.
Hak Politik dan Proses Hukum yang Berbeda
Ada perbedaan yang jelas antara proses hukum pidana dan hak politik seseorang. Kasus dugaan TPPU yang melibatkan AGK sebagai tersangka tidak serta-merta mencabut atau membatasi hak politik putrinya, NUK, yang hanya dipanggil sebagai saksi. Setiap individu berhak atas perlindungan hukum dan hak politik yang setara di hadapan hukum. Memperlakukan seseorang sebagai “bersalah karena hubungan keluarga” adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip dasar hukum.
Jika ada keraguan atas integritas NUK, seharusnya hal tersebut dibuktikan melalui proses hukum yang sah dan transparan, bukan melalui penundaan yang tidak berdasar dalam proses politik seperti ini. Dengan kata lain, hak politik seseorang tidak boleh dibatasi hanya karena dia terkait secara biologis atau keluarga dengan seseorang yang sedang terlibat dalam proses hukum.
KPU dan Proses PAW yang Seharusnya Dijaga Independensinya
KPU Maluku Utara, sebagai lembaga penyelenggara pemilu, memiliki kewenangan penuh untuk melakukan rapat pleno terkait Pergantian Antar Waktu (PAW) tanpa dipengaruhi oleh intervensi politik dari partai. Keputusan DPD Gerindra yang belum merekomendasikan pelantikan NUK berpotensi mengganggu proses demokrasi yang seharusnya berjalan lancar dan independen. Jika KPU telah mengakui hak NUK untuk dilantik sebagai anggota DPRD, maka partai politik tidak boleh menghalanginya dengan alasan yang tidak sesuai dengan prinsip hukum dan demokrasi.
Potensi Konflik Kepentingan dan Ketidakadilan
Keputusan DPD Gerindra ini berpotensi menciptakan preseden buruk dalam politik di Maluku Utara. Partai politik seharusnya memperjuangkan hak-hak kadernya berdasarkan kinerja, integritas, dan kapabilitas, bukan berdasarkan faktor eksternal yang belum terbukti secara hukum. Mengaitkan keputusan politik dengan proses hukum yang masih berjalan bisa menciptakan konflik kepentingan dan ketidakadilan bagi kader partai tersebut. Hal ini juga dapat memengaruhi citra partai di mata publik yang menginginkan keadilan dan transparansi dalam proses politik.
DPD Gerindra Harus Menghormati Prinsip Hukum dan Demokrasi
Sebagai Ketua Padepokan Hukum Indonesia, saya berpendapat bahwa DPD Gerindra Maluku Utara seharusnya menghormati prinsip hukum dan demokrasi dengan tidak menghalangi hak politik NUK. Selama NUK tidak dinyatakan bersalah atau menjadi terdakwa dalam kasus hukum, haknya untuk menduduki kursi DPRD harus dihormati sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
DPD Gerindra harus mempertimbangkan kembali keputusannya dan memberikan rekomendasi yang sesuai dengan asas keadilan. Demokrasi yang sehat memerlukan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hukum yang berlaku, bukan manipulasi politik yang mengorbankan hak individu. Dengan demikian, harapan publik terhadap proses demokrasi yang adil dan transparan dapat terwujud.
Penulis : Mus Gaber,Ketua Padepokan Hukum Indonesia