Gus Mus: Mereka Kawan dari Kecil, Bisa Bicara Baik-Baik
MoneyTalk, Jakarta – Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam sejarah, terutama di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam konteks politik, NU memiliki perjalanan panjang dan kompleks. Dari keterlibatannya dalam Partai Masyumi, hingga mendirikan Partai NU, kemudian pada tahun 1998 membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dinamika politik NU selalu beririsan dengan kepentingan umat.
KH Mustofa Bisri, atau lebih dikenal sebagai Gus Mus, adalah salah satu deklarator PKB. Kontribusinya tak hanya dalam aspek politik, tetapi juga secara simbolik, seperti mendesain logo PKB yang digunakan hingga kini. Seiring berjalannya waktu, hubungan antara PKB dan NU mengalami pasang surut, terutama dalam konteks perubahan politik pasca-reformasi.
Hubungan PKB dan NU Dinamika yang Terus Berubah
Selama 26 tahun sejak pendirian PKB, hubungan partai tersebut dengan NU sering kali berubah sesuai dengan dinamika politik nasional. Pada masa-masa awal reformasi, PKB dianggap sebagai kendaraan politik bagi NU, khususnya dalam mengartikulasikan kepentingan umat Nahdliyin. Namun, dengan berjalannya waktu, hubungan ini mengalami friksi, terutama setelah tokoh-tokoh PKB dan NU memiliki pandangan politik yang berbeda.
Gus Mus, yang selalu dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan moderat, dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Swara NU pada Sabtu, 14 September, mengungkapkan pandangannya mengenai situasi terkini antara PKB dan NU. Hubungan kedua institusi ini belakangan menjadi perbincangan publik, terutama setelah Pemilu 2024 yang memperlihatkan hubungan keduanya semakin “menghangat”.
Menurut Gus Mus, inti dari permasalahan ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat diselesaikan. Ia menekankan bahwa para pimpinan kedua lembaga ini Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB dan Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua PBNU adalah sahabat sejak kecil. Menurutnya, seharusnya mereka bisa menyelesaikan persoalan ini dengan baik-baik tanpa perlu melibatkan pihak eksternal yang justru akan memperkeruh suasana.
Solusi Ada di Suriah NU
Dalam wawancara tersebut, Gus Mus juga menyarankan agar penyelesaian konflik ini dikembalikan pada mekanisme internal NU, yaitu lembaga Suriah. Lembaga Suriah merupakan lembaga tertinggi di NU yang berfungsi sebagai pengarah dan pengendali kebijakan, sedangkan lembaga Tanfidziyah hanya sebagai pelaksana. Gus Mus menyebutkan bahwa jika Suriah sudah memanggil dan pihak-pihak terkait tidak datang, itu bisa diartikan sebagai bentuk ketidakpatuhan pada ulama-ulama NU.
Menurut Gus Mus, konflik yang terjadi di level pusat antara PKB dan NU ini seharusnya bisa diselesaikan dengan rembukan bersama. Jika Muhaimin dan Gus Yahya tetap mengaku sebagai bagian dari NU, maka mereka harus tunduk pada Suriah NU sebagai lembaga tertinggi. Dalam pandangannya, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan melalui dialog, apalagi jika kepentingannya adalah demi umat, baik umat Nahdliyin maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan.
NU Organisasi Tradisional dengan Tantangan Modern
Gus Mus juga menyinggung tantangan yang dihadapi NU sebagai organisasi yang lahir dari masyarakat tradisional. Menurutnya, NU bukanlah organisasi yang modern dalam pengertian penuh. Meskipun disebut organisasi, namun NU masih diwarnai oleh pola hubungan tradisional yang kuat antara kiai dan umat. Hal ini, menurutnya, sering kali menjadi hambatan dalam upaya modernisasi organisasi.
Dalam konteks ini, Gus Mus menilai bahwa salah satu masalah utama NU adalah gap antara jam’iyyah (organisasi) dan jama’ah (masyarakat). Banyak kiai di tingkat bawah yang tidak memahami dengan baik struktur dan mekanisme organisasi NU, sehingga ketika terjadi persoalan di tingkat pusat, seperti konflik antara PKB dan NU, dampaknya sangat terasa hingga ke akar rumput. Gus Mus mengusulkan bahwa pendidikan dan sosialisasi mengenai khittah NU dan prinsip-prinsip organisasi perlu lebih digalakkan hingga ke tingkat cabang dan ranting.
Persatuan untuk Kepentingan Umat
Gus Mus mengakhiri pandangannya dengan menegaskan bahwa tujuan dari seluruh dinamika ini seharusnya adalah untuk kepentingan umat. Baik PKB maupun NU harus mampu melihat bahwa orientasi mereka adalah untuk kemaslahatan rakyat Indonesia, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Ia berharap agar para pemimpin NU dan PKB bisa kembali bersatu dan memperjuangkan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Konflik dan perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam politik. Namun, sebagaimana yang disampaikan Gus Mus, solusi selalu bisa ditemukan jika para pihak yang terlibat mau berdialog dengan hati yang terbuka dan niat yang baik.