Gus Ulil: Kalah Pemilu selalu Memperpanjang Masalah di Media Sosial
MoneyTalk, Jakarta – Gus Ulil , seorang pengamat politik dan media sosial, membahas fenomena kebiasaan memperpanjang masalah pasca pemilu dan dampak media sosial dalam politik Indonesia pada acara Cokro TV Rabu (18/09).
Dalam komentarnya, Gus Ulil menyoroti bagaimana kebiasaan ini berpotensi merusak kebebasan demokrasi dan bagaimana isu-isu seperti “Fufu Fafa” serta Mulyono sering digunakan untuk mendiskreditkan penguasa yang terpilih.
Gus Ulil mengamati bahwa setelah pemilihan umum, ada kecenderungan di kalangan pihak-pihak yang kalah untuk memperpanjang pertarungan politik dengan memobilisasi sentimen melalui media sosial. Dicatat bahwa meskipun isu-isu yang beredar di media sosial sering kali tidak berpengaruh signifikan terhadap masyarakat luas, mereka dapat menciptakan suasana komunikasi publik yang tidak sehat dan penuh ketegangan.
Isu seperti “Fufu Fafa” dan Mulyono, menurut Gus Ulil, merupakan contoh nyata dari upaya untuk mendiskreditkan pemerintah dan memperburuk suasana politik dengan cara yang provokatif.
Hal ini menciptakan dinamika di mana perdebatan politik bukan hanya mengenai kebijakan, tetapi juga tentang serangan personal dan isu-isu yang sering kali tidak substansial kata Ulil.
Hal ini sangat dikuatirkan berdampak di media sosial, dan imbasnya kepada kebebasan demokrasi. Media sosial memungkinkan berisi pesan-pesan provokatif atau kampanye hitam untuk tersebar luas dengan cepat.
Sering kali dengan akun anonim atau menggunakan nama-nama besar yang tampaknya kredibel. Ini mengarah pada situasi di mana retorika ekstrem dan insinuatif bisa mengancam kualitas demokrasi dan kebebasan berpendapat ujar Ulil
Selanjutnya Gus Ulil menilai bahwa selama pemerintahan Jokowi, kebebasan di ruang media sosial relatif terjaga, meskipun ada beberapa upaya untuk membatasi atau mengatur platform seperti X. Namun, kebijakan tersebut harus diteruskan dengan bijak agar tidak mengekang kebebasan berpendapat secara berlebihan.
Jika menarik paralel dengan situasi di luar negeri, terutama di Amerika Serikat setelah kekalahan Trump dalam pemilihan 2020. Situasi ini mirip seperti Indonesia, di mana pihak yang kalah menggunakan berbagai isu dan narasi untuk mempersingkat atau memperpanjang perseteruan politik.
Fenomena ini, menurut Gus Ulil, mencerminkan kemunculan “kaum puritan baru” yang mendominasi narasi politik dengan klaim kebenaran mutlak dan ekstrem.
Untuk mengatasi tantangan ini lanjut Gus Ulil, perlu ada upaya untuk mengurangi polarisasi dan memperbaiki komunikasi publik. Salah satu solusinya adalah dengan mendorong tokoh-tokoh politik untuk lebih terintegrasi dalam partai politik, sehingga agenda mereka lebih terstruktur dan tidak hanya bergantung pada klaim kebenaran yang ekstrem.
Hal seperti inilah, kata Gus Ulil yang telah dilakukan oleh Jokowi. Dimana Jokowi telah berusaha untuk meredakan polarisasi dengan memasukkan Prabowo ke dalam pemerintahan, yang dianggapnya sebagai langkah positif untuk melunturkan ketegangan politik pasca pemilu.(c@kra)
Views: 0