Kejahatan Apartheid dan Tragedi Pelanggaran HAM Berat di PIK-2
MoneyTalk, Jakarta – Kasus penggusuran paksa yang terjadi di Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK-2) telah memicu perbandingan dengan kejahatan apartheid di Afrika Selatan. Hafid Abbas, mantan Komisioner sekaligus Ketua Komnas HAM RI ke-8 (2012-2017), melalui tulisannya yang diterima MoneyTalk pada Senin (30/09), menegaskan bahwa pelanggaran HAM di PIK-2 mencerminkan pola diskriminasi yang serupa dengan apartheid, terutama dalam hal penggusuran paksa terhadap warga yang rentan.
Pada rezim apartheid di Afrika Selatan, penduduk diklasifikasikan berdasarkan ras, dan hak-hak mereka bergantung pada kategori tersebut. Warga kulit putih yang jumlahnya hanya sekitar 10% menikmati keistimewaan penuh, sementara mayoritas kulit hitam (75%) hidup dalam diskriminasi dan kemiskinan. Undang-Undang Group Areas Act (1950) digunakan untuk menggusur paksa warga kulit hitam dari kawasan strategis, yang kemudian dijadikan kawasan eksklusif bagi warga kulit putih. Penggusuran ini diiringi dengan kekerasan, pengabaian hak-hak dasar, dan intimidasi oleh aparat negara serta kontraktor swasta.
Tragedi penggusuran paksa di PIK-2 sangat mirip dengan pola kejahatan apartheid di Afrika Selatan. Pada 31 Mei 2024, Tempo mengungkap laporan investigatif yang menyebut dugaan pencaplokan tanah warga sebagai bagian dari proyek nasional PIK-2. Dalam salah satu videonya, seorang warga lansia memprotes setelah tanahnya seluas 12 hektare diuruk tanpa kompensasi. Ia menyatakan bahwa tanah bersertifikat hak milik tersebut belum pernah dijual, namun alat berat sudah menggusurnya secara paksa.
Proyek PIK-2 yang mencakup 9 kecamatan di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang mengancam ratusan ribu warga yang akan kehilangan tempat tinggal. Penggusuran paksa ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya tanah leluhur, tetapi juga memutus akses warga terhadap sumber penghidupan mereka. Sama seperti di Afrika Selatan, kelompok yang rentan dipindahkan untuk memberi jalan bagi pembangunan pemukiman eksklusif dan komersial.
Menurut prinsip-prinsip HAM internasional, penggusuran paksa merupakan pelanggaran berat. Basic Principles and Guidelines on Development-Based Evictions and Displacement (A/HRC/18, 2009) menyatakan bahwa pemindahan paksa melanggar berbagai hak dasar, termasuk hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, serta keamanan pribadi. Penggusuran yang terjadi di PIK-2 melanggar hak-hak tersebut, karena dilakukan tanpa kompensasi yang layak atau perlindungan hukum yang memadai.
Panduan PBB lainnya, Fact Sheet No. 25/Rev.1 (2014), menyebutkan bahwa penggusuran paksa melanggar hak-hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang diakui secara internasional. Dalam kasus PIK-2, penggusuran massal tidak hanya mempengaruhi hak-hak individu terkait tanah, tetapi juga hak mereka untuk hidup layak dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta budaya komunitas mereka.
Berdasarkan panduan Dewan HAM PBB, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga dari penggusuran paksa yang tidak sah. Negara wajib memastikan adanya solusi hukum yang adil bagi warga yang hak-haknya terancam. Selain itu, negara harus menghindari kebijakan atau tindakan yang merugikan perlindungan terhadap warga, terutama yang dilakukan untuk keuntungan korporasi atau pihak tertentu.
Penggusuran di PIK-2 menunjukkan kegagalan negara dalam memenuhi tanggung jawab ini. Warga yang digusur tidak hanya kehilangan tanah dan rumah, tetapi juga akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian. Dampak sosial yang dialami oleh korban penggusuran sangat besar, dan jika tidak segera ditangani, tragedi ini akan memperburuk ketimpangan sosial di wilayah tersebut.
Kasus penggusuran paksa di PIK-2 merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan lembaga terkait. Seperti yang disampaikan Hafid Abbas, pola penggusuran yang terjadi di PIK-2 mengingatkan kita pada kejahatan apartheid di Afrika Selatan, di mana kelompok rentan menjadi korban diskriminasi sistematis. Negara harus segera menghentikan penggusuran ini dan menjamin bahwa hak-hak warga yang terdampak dihormati sesuai dengan standar HAM internasional. Jika tindakan ini terus berlanjut tanpa kompensasi yang adil, citra Indonesia sebagai negara yang melindungi HAM akan tercoreng di mata dunia.(c@kra)