MoneyTalk, Jakarta – Dalam salah satu tayangan YouTube-nya pada Selasa, 15 Oktober 2018, Awalil Rizky memaparkan pandangannya tentang kondisi impor komoditas pangan Indonesia. Terutama beras, gandum, kedelai, garam, daging, gula, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Berdasarkan data yang diambil dari BPS dan Bank Indonesia, Rizky menyoroti ketergantungan Indonesia pada impor komoditas pangan menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan, terutama dalam konteks ketahanan pangan nasional. Artikel ini akan menguraikan pandangan Awalil Rizky mengenai kondisi impor dan tantangan yang dihadapi sektor pertanian di Indonesia.
Impor Beras dan Gandum, Awalil memulai dengan menyoroti besarnya ketergantungan Indonesia pada impor beras, yang cukup meningkat sejak tahun 2014. Hal ini semakin menonjol menjelang pemilu, di mana volume impor kerap mengalami kenaikan, yang diduga sebagai antisipasi akan tingginya kebutuhan pangan.
Berdasarkan data, meskipun impor gandum relatif stabil dalam volume, nilainya cenderung meningkat seiring dengan kenaikan harga gandum. Indonesia juga menghabiskan devisa yang cukup besar untuk mengimpor gandum dan beras. Total kebutuhan devisa untuk kedua komoditas ini mencapai lebih dari 3 miliar dolar AS per tahun.
Impor Kedelai, Tren yang Mengkhawatirkan. Awalil Rizky mencatat bahwa produksi kedelai domestik mengalami penurunan yang signifikan dari 954.000 ton pada awal pemerintahan Presiden Jokowi menjadi sekitar 350.000 ton pada tahun 2023. Akibatnya, impor kedelai meningkat tajam. Penurunan produksi kedelai dikarenakan beberapa faktor, antara lain kurangnya minat petani untuk menanam kedelai karena harga dan biaya produksi yang tidak menguntungkan, serta keterbatasan lahan.
Impor Garam dan Ironi, Negara Maritim. Indonesia adalah negara dengan garis pantai yang panjang, namun ironisnya tetap mengimpor garam dalam jumlah besar, khususnya garam industri. Meskipun volume impor garam relatif stabil, nilainya terus meningkat, menambah beban neraca perdagangan.
Impor Daging, Ketergantungan pada Daging Sapi. Impor daging sapi juga menunjukkan peningkatan yang signifikan, baik dari segi volume maupun nilai. Rizky menyoroti bahwa konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Namun, peningkatan permintaan tetap ada, dan impor daging diharapkan akan terus meningkat karena produksi lokal yang stagnan.
Impor Gula, Kecenderungan Stagnasi Produksi Domestik. Produksi gula di Indonesia telah mengalami stagnasi selama beberapa tahun terakhir, sementara impor terus meningkat. Awalil juga mencatat bahwa peningkatan impor gula ini sering kali terjadi menjelang pemilu, mencerminkan ketergantungan tinggi pada gula impor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Impor Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran, Dominasi Produk dari Cina. Awalil mengungkapkan, impor buah-buahan di Indonesia mencapai 1,4 miliar dolar AS pada tahun 2023, jauh lebih besar dibandingkan ekspor. Selain itu, sayuran, yang secara tradisional bisa ditanam secara lokal, kini juga banyak diimpor. Sebagian besar buah dan sayuran impor ini berasal dari Cina, sekitar 64% untuk buah dan 74% untuk sayuran. Menurut Awalil, kondisi ini mencerminkan ironi bagi negara agraris seperti Indonesia yang memiliki potensi besar untuk menjadi produsen utama buah dan sayur.
Sektor Pertanian Lainnya, Dominasi Impor. Rizky mencatat bahwa meskipun ekspor udang dan ikan menunjukkan peningkatan, kebanyakan komoditas hasil pertanian Indonesia tetap mengalami defisit perdagangan. Ini berarti bahwa nilai impor untuk sebagian besar produk pertanian lebih tinggi daripada nilai ekspornya. Indonesia mengimpor sejumlah besar bawang putih, dengan tren volume impor yang terus meningkat.
Dalam analisisnya, Awalil Rizky menggarisbawahi bahwa sektor pertanian Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius. Ketergantungan pada impor komoditas pangan utama seperti beras, kedelai, dan sayuran mencerminkan kelemahan dalam produksi domestik. Selain itu, ketergantungan pada impor buah dan sayuran juga menjadi cerminan bahwa Indonesia perlu melakukan revitalisasi sektor pertaniannya.
Awalil mendorong pemerintah untuk meningkatkan kebijakan yang lebih proaktif terhadap peningkatan produksi lokal. Ini mencakup berbagai langkah seperti meningkatkan akses petani terhadap teknologi modern, insentif harga yang menarik bagi petani, serta penyediaan bibit dan pupuk berkualitas tinggi.
Ke depan, jika Indonesia ingin mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, petani, dan pelaku industri pertanian. Hal ini penting tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan impor, tetapi juga untuk memastikan bahwa petani mendapatkan keuntungan yang layak dari usaha mereka dan memiliki lahan yang memadai untuk mendukung produksi pangan nasional. (c@kra)