MoneyTalk, Jakarta – Pada Senin, 28 Oktober, Edy Mulyadi menyampaikan sebuah narasi mengejutkan di kanal YouTube-nya. Ia membahas mengenai proyek strategis nasional, PIK-2 (Pusat Informasi dan Kebudayaan 2). Proyek itu menurutnya telah “makan korban” di tengah ambisi pemerintah.
Dalam videonya, Edy menyuarakan kepedihan masyarakat yang terdampak oleh proyek ini. Terutama terkait penahanan ibu rumah tangga bernama Sulastri, yang merupakan ahli waris pemilik lahan. Kasus ini mencerminkan isu yang lebih luas terkait mafia tanah dan praktik ketidakadilan di Indonesia.
PIK-2 adalah proyek besar yang dirancang untuk mengembangkan wilayah pesisir utara Jakarta sebagai pusat ekonomi dan budaya. Namun, ambisi pembangunan ini membawa dampak negatif bagi warga lokal yang merasa hak-haknya terancam. Edy Mulyadi menekankan bahwa di balik setiap proyek besar seperti ini, ada individu-individu yang dirugikan, dan Sulastri adalah contoh terbaru dari korban tersebut.
Tuduhan Pemalsuan dan Diskriminalisasi
Edy Mulyadi mengungkapkan bagaimana para pemilik lahan seperti Sulastri dituduh melakukan pemalsuan dokumen dan penggelapan. Hal ini menjadi sorotan karena, menurut pengacara Sulastri, Aliudin, tidak ada bukti yang jelas atau pemeriksaan saksi yang dilakukan untuk mendukung tuduhan tersebut. Ini menunjukkan bagaimana sistem hukum bisa disalahgunakan untuk menghancurkan kehidupan masyarakat yang sebenarnya berhak atas tanah mereka.
Mafia Tanah yang Menghantui Rakyat
Edy Mulyadi juga menyoroti bagaimana mafia tanah telah merajalela, memanfaatkan ketidakpastian hukum untuk menguasai lahan milik warga. Dengan membayar aparat penegak hukum dan menggunakan kekuasaan yang ada, mereka berhasil mendiskreditkan para pemilik lahan, menjadikan mereka sebagai tersangka di mata hukum. Ini adalah praktik yang sangat merugikan masyarakat dan menciptakan ketidakadilan yang mendalam.
Seruan untuk Prabowo
Edy Mulyadi langsung menyasar Presiden Prabowo Subianto, menyerukan agar ia mewujudkan janjinya untuk membela keadilan. Edy mencatat bahwa PIK-2 terletak hanya satu jam dari Istana Presiden, menandakan bahwa ketidakadilan ini seharusnya tidak luput dari perhatian pemerintah. Ia meminta agar Prabowo menunjukkan komitmennya terhadap rakyat dan menanggapi situasi yang merugikan mereka.
Harapan untuk Keadilan
Cerita Sulastri dan para pemilik lahan lainnya mencerminkan masalah yang lebih besar dalam konteks pembangunan di Indonesia. Pembangunan tidak seharusnya mengorbankan hak-hak masyarakat. Aliudin, pengacara Sulastri, menegaskan pentingnya investigasi yang adil dan transparan, di mana para pelaku kejahatan, baik yang ada di dalam sistem hukum maupun mafia tanah, harus diadili dengan semestinya.
Narasi Edy Mulyadi tentang PIK-2 menyoroti tantangan serius yang dihadapi masyarakat di sekitar proyek pembangunan. Kasus Sulastri menjadi simbol perjuangan untuk keadilan di tengah praktik mafia tanah dan penyalahgunaan kekuasaan.
Melalui pengakuan dan seruan untuk tindakan dari pihak pemerintah, diharapkan ada perubahan yang membawa keadilan bagi rakyat, serta memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak mengorbankan hak-hak individu. Semoga situasi ini menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah yang berkomitmen untuk berdiri di sisi rakyat.(c@kra)