MoneyTalk, Jakarta – Dalam wawancara terbaru di Podcast PHD 4K, Yanuar Rizky, seorang pengamat ekonomi, menguraikan pandangannya terhadap kebijakan fiskal dan ekonomi Indonesia yang dikaitkan dengan sosok Sri Mulyani dan Presiden Prabowo Subianto. Menurut Yanuar, kebijakan pinjaman Indonesia yang berfokus pada standby loan dari Bank Dunia dan peran penting Prabowo dalam mengelola keseimbangan antara kepentingan nasional dan pengaruh internasional, menunjukkan bagaimana Indonesia berupaya menjaga stabilitas ekonomi di tengah tantangan global.
Tantangan Ekonomi dan Peran Standby Loan
Yanuar membuka dengan pembahasan soal mekanisme standby loan dari Bank Dunia, yang menurutnya seringkali menjadi opsi andalan bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas fiskal. Standby loan ini menawarkan pinjaman berbunga rendah (sekitar 4%) yang dapat dicairkan ketika terjadi kondisi mendesak. Menurut Yanuar, meskipun pinjaman ini memberikan ruang fleksibilitas fiskal, tergantung pada hubungan diplomatik yang dibangun oleh Menteri Keuangan, terutama Sri Mulyani. Namun, Yanuar mempertanyakan apakah fasilitas ini akan tetap tersedia di masa depan, terutama jika terjadi perubahan kepemimpinan yang tidak memiliki hubungan kuat dengan Bank Dunia.
Kebijakan Ekonomi Prabowo dan Tantangan 3% Defisit Fiskal
Dalam pandangan Yanuar, salah satu strategi yang mungkin ditempuh Prabowo adalah memanfaatkan ruang fiskal 3% tanpa bergantung pada pinjaman terbuka. Strategi rollover atau pelunasan hutang dengan hutang baru menjadi solusi agar Indonesia tetap mematuhi ketentuan defisit fiskal. Hal ini memungkinkan ruang lebih besar dalam kebijakan fiskal tanpa harus meningkatkan defisit hingga batas yang mengancam stabilitas makroekonomi. Menurut Yanuar, ini mencerminkan kemampuan Prabowo dalam bermain “dua kaki” di tengah kepentingan Bank Dunia dan BRICS, mencerminkan sikap politik bebas aktif yang selalu dijunjung Indonesia.
Dinamika Politik dan Perubahan Mazhab Ekonomi di Kabinet
Yanuar juga membahas perubahan signifikan di kabinet Prabowo, khususnya terkait dengan penunjukan sosok-sosok yang berada dalam lingkaran mazhab ekonomi Sri Mulyani. Menurutnya, ini menunjukkan adanya dominasi pemikiran teknokratis yang pro-pasar, meskipun sebagian besar sosok tersebut bukanlah orang dekat Prabowo. Prabowo berhasil mempertahankan dominasi mazhab ini, yang dinilai Yanuar sebagai langkah bijak untuk meraih kepercayaan pasar global.
Namun, ia menilai bahwa strategi Prabowo ini juga melibatkan peran diplomatik aktif melalui Menteri Luar Negeri yang dianggap lebih bersifat portofolio politik. Hal ini terlihat dari upaya Prabowo dalam memasukkan Indonesia ke dalam BRICS, yang sekaligus memberi sinyal kepada IMF bahwa Indonesia tetap terbuka pada aliansi ekonomi lainnya. Menurut Yanuar, dengan begitu, Prabowo menyeimbangkan politik internasionalnya tanpa mengorbankan stabilitas domestik.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 8% dan Realitas di Lapangan
Yanuar juga menyoroti target Prabowo yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, yang dianggapnya ambisius jika dibandingkan dengan target Sri Mulyani yang hanya sekitar 5%. Menurutnya, meskipun ini menunjukkan optimisme, capaian tersebut harus didukung oleh tim teknokrat yang kompeten di kabinet. Ia menyebutkan bahwa teknokrasi makro yang kuat harus dibarengi dengan teknokrasi di level mikro, khususnya di kementerian sektoral, untuk memastikan implementasi kebijakan yang sesuai.
Yanuar juga menilai bahwa kebijakan sektoral yang diambil Prabowo, khususnya dalam hal pangan, energi, dan perdagangan, seringkali tidak mencerminkan tujuan Prabowo dalam mengentaskan rakyat dari korupsi atau melawan kepentingan oligarki. Contoh lain, Yanuar mempertanyakan kebijakan Prabowo yang memberi portofolio strategis kepada sosok-sosok dengan potensi konflik kepentingan yang tinggi, yang menurutnya dapat mengurangi efektivitas pemerintahan dalam mencapai tujuan besar seperti swasembada pangan dan energi.
Implementasi Kebijakan
Masalah di Lapangan dan Tekanan Politik Menurut Yanuar, di tengah target besar yang dicanangkan, Prabowo menghadapi tantangan dalam menjaga konsistensi antara visi makro dan implementasi mikro. Ia menilai, pada sektor-sektor tertentu seperti perbankan dan energi, penunjukan pejabat cenderung dilakukan dengan pertimbangan politik, yang menurutnya dapat menimbulkan ketidakjelasan arah kebijakan. Misalnya, posisi perbankan yang seharusnya bersifat teknis namun diserahkan kepada pejabat politik, menurut Yanuar hanya akan menambah ketidakpastian bagi pasar dan investor.
Lebih lanjut, ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang belum optimal dalam mengimplementasikan kebijakan energi hijau. Menurutnya, Prabowo seharusnya menempatkan teknokrat yang berkompeten di bidang energi agar batu bara dan sumber daya lainnya dapat diolah menjadi energi yang lebih ramah lingkungan melalui teknologi gasifikasi, yang sekaligus mendukung program carbon trading.
Keseimbangan Kebijakan Prabowo di Tengah Tantangan Ekonomi Yanuar menyimpulkan bahwa kepemimpinan Prabowo yang menyeimbangkan kepentingan nasional dengan geopolitik internasional adalah langkah tepat dalam menjaga stabilitas di tengah tantangan global. Namun, untuk mencapai target ambisiusnya, ia harus memastikan bahwa tim ekonominya, khususnya di sektor-sektor teknis, mampu menjalankan visi besarnya tanpa terganggu oleh kepentingan politik yang kontraproduktif.
Prabowo harus bijak dalam memilih sosok-sosok di kabinet yang memiliki latar belakang teknokrat dan mampu bersinergi dengan kebijakan makro. Strategi win-win yang dilakukan Prabowo antara kepentingan pasar internasional dan ambisi politik nasionalnya memang mencerminkan kebijakan bebas aktif yang selama ini dianut Indonesia, namun untuk dapat mencapai pertumbuhan 8%, dibutuhkan langkah nyata dalam menjaga konsistensi implementasi di level mikro.
Hal ini memberikan pandangan Yanuar Rizky tentang kebijakan ekonomi Indonesia di bawah Prabowo Subianto dan strategi yang diterapkan dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Poin utamanya adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara visi besar dan implementasi teknis di lapangan, serta memastikan bahwa kebijakan nasional tetap mampu beradaptasi di tengah dinamika geopolitik.(c@kra)