MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah episode podcast “Akbar Faisal Uncensored” yang disiarkan pada 1 November 2024, pernyataan mengejutkan muncul dari Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, dan Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI).
Diskusi berfokus pada krisis yang dihadapi PT Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang tengah terjerat dalam masalah kepailitan dan utang yang menggunung. Melalui pernyataan yang kuat, mereka mengungkapkan kekhawatiran dan tuduhan adanya praktik korupsi serta manipulasi di balik masalah yang dihadapi Sritex.
Seperti diketahui, PT Sritex yang pernah mempekerjakan hingga 50.000 karyawan kini berada di ambang kepailitan setelah mengalami penurunan signifikan dalam operasionalnya pasca-pandemi COVID-19. Dari ribuan pekerja yang tersisa, banyak yang khawatir akan masa depan mereka seiring dengan kesulitan finansial yang melanda Perusahaan.
Immanuel menyebutkan, ada “pemain” di balik masalah ini. Ungkapannya mengisyaratkan seperti ada individu atau kelompok yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi.
Immanuel mengklaim, hanya satu dari banyak kreditor yang menggugat Sritex, dengan utang yang hanya mencapai 100 miliar, sementara mereka tetap memenuhi kewajiban pembayaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan transparansi dalam proses tersebut. Ia mengkritik sistem yang ada, mencatat bahwa ada orang-orang di pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab, tetapi malah terlibat dalam praktik merugikan.
Menanggapi situasi ini, Menteri Prabowo Subianto telah menginstruksikan empat kementerian untuk berkoordinasi dan mencari solusi guna menyelamatkan Sritex. Immanuel menekankan pentingnya tindakan cepat dan tegas dalam menangani masalah ini agar tidak berdampak lebih jauh pada industri tekstil nasional. Kalimat: “Saya pilih dipecat jika tidak bisa memberantas para bedebah ini” menunjukkan komitmennya untuk membersihkan praktik korupsi yang ada.
Dari perspektif Redma yang mewakili asosiasi produsen serat dan benang, menjelaskan bahwa tidak hanya Sritex yang mengalami masalah, tetapi banyak perusahaan tekstil lainnya juga menghadapi kesulitan serupa. Menurutnya, lebih dari 30 perusahaan telah bangkrut dalam dua tahun terakhir, dan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Redma mengungkapkan kekhawatiran, jika masalah di Sritex tidak segera diatasi, akan ada banyak lagi perusahaan yang terpaksa menutup operasi mereka.
Kedua narasumber sepakat bahwa pemerintah perlu lebih aktif dalam memantau dan mengatur industri tekstil, serta mencegah praktik manipulatif yang merugikan. Immanuel menekankan perlunya kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti tuduhan yang ada. Ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses bisnis agar kepercayaan masyarakat terhadap industri ini dapat pulih.
Redma menambahkan, “Kita perlu membangun ekosistem yang sehat bagi industri tekstil kita, agar tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang.”
Ia menyarankan bahwa pemerintah harus memberikan dukungan lebih bagi perusahaan-perusahaan yang terdampak, termasuk akses ke pembiayaan yang lebih baik dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri.
Diskusi ini mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap masa depan industri tekstil Indonesia, terutama dalam konteks Sritex. Dengan adanya tuduhan terhadap praktik korupsi dan manipulasi, jelas bahwa langkah-langkah konkrit diperlukan untuk membersihkan sistem dan melindungi ribuan pekerjaan yang tergantung pada kelangsungan perusahaan-perusahaan ini. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi sektor tekstil di Indonesia.(c@kra)