MoneyTalk, Jakarta – Baru-baru ini, Anthony Sudarsono, seorang content creator Indonesia, mengungkapkan pandangannya dalam video YouTube mengenai pengaruh besar warga China daratan (mainland) di Indonesia, terutama di sektor bisnis. Sudarsono menyampaikan, kini semakin banyak warga China yang tidak hanya berkunjung, tetapi juga menanamkan modal dalam berbagai sektor bisnis di Indonesia, terutama di Jakarta Utara. Investasi mereka tidak main-main — dari restoran, pusat kesehatan, salon, hingga tempat rekreasi, semua dijalankan dengan skala besar dan langsung berorientasi pada penguasaan pasar lokal.
Fenomena ini tidak terlepas dari sejumlah faktor, termasuk kondisi ekonomi China yang sedang menghadapi tantangan besar, serta potensi pasar Indonesia yang sangat menarik bagi investor asing. Di bawah ini kita akan mengulas secara mendalam alasan di balik fenomena ini, serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Menurut Anthony, salah satu faktor utama yang mendorong investor China datang ke Indonesia adalah kondisi ekonomi di China yang sedang tidak stabil. Mulai dari penurunan indeks manufaktur (PMI) yang berada di bawah 50 selama beberapa bulan terakhir, hingga masalah pengangguran yang tinggi, ekonomi China mengalami tekanan besar.
Berdasarkan data terbaru, PMI China mencapai titik terendahnya di angka 49,1 pada Agustus 2024, yang menunjukkan kontraksi. Di sisi lain, tingkat pengangguran kaum muda mencapai angka 18,8% yang menunjukkan bahwa banyak warga China di usia produktif yang sulit mencari pekerjaan di dalam negeri mereka.
Penurunan ekonomi ini memicu banyak pelaku bisnis China untuk mencari pasar di luar negeri guna mengamankan keuntungan dan pertumbuhan bisnis. Kondisi ini membuat Indonesia, dengan pasar yang terus berkembang, menjadi target ideal untuk investasi bisnis.
Indonesia dianggap sebagai “Land of Opportunity” atau lahan peluang besar bagi investor. Dengan populasi yang besar dan tingkat pertumbuhan kelas menengah yang pesat, Indonesia diproyeksikan akan memiliki 75 juta konsumen kelas menengah pada 2030. Pasar e-commerce di Indonesia juga merupakan yang terbesar di ASEAN, dengan proyeksi total nilai transaksi hingga USD 82 miliar pada 2025.
Kombinasi antara ukuran pasar yang besar dan daya beli yang meningkat menjadikan Indonesia tempat yang strategis bagi investor. Ditambah lagi, China telah menjadi salah satu sumber investasi asing terbesar di Indonesia dalam lima tahun terakhir dengan total investasi mencapai USD 30,2 miliar. Dengan FDI yang besar ini, banyak bisnis lokal kini bersaing langsung dengan perusahaan-perusahaan China yang bermodal kuat dan memiliki akses teknologi serta jaringan distribusi yang lebih luas.
Penetrasi bisnis dari China juga sudah terlihat dalam beberapa sektor, salah satunya industri smartphone dan skincare. Sebagai contoh, produk skincare seperti Skintific, yang dipasarkan sebagai produk dari Kanada, sebenarnya merupakan produk China yang telah menguasai 10% pangsa pasar skincare di Indonesia. Dengan market size yang mencapai Rp30,4 triliun, Skintific menunjukkan bahwa produk-produk asal China mampu beradaptasi dengan kebutuhan pasar lokal.
Sektor elektronik, teknologi, hingga kebutuhan rumah tangga pun kini dikuasai produk China. Keunggulan produk-produk ini adalah harga yang lebih kompetitif dibandingkan produk lokal, berkat biaya produksi yang rendah di negara asalnya. Namun, penetrasi ini juga memunculkan kekhawatiran, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Bisnis lokal terancam tersingkir akibat persaingan harga yang ketat dan minimnya dukungan untuk bersaing dengan modal besar dari China.
Dengan hadirnya pelaku usaha China di berbagai sektor bisnis di Indonesia, banyak yang khawatir mengenai masa depan perekonomian lokal. Sebagai contoh, wilayah seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara kini banyak diisi oleh pendatang dari China yang berinvestasi di bidang properti dan usaha retail. Anthony memperingatkan bahwa jika tidak ada regulasi yang ketat, Indonesia bisa menghadapi kenaikan harga properti seperti yang dialami oleh Vancouver, Kanada, akibat tingginya pembelian properti oleh investor asing.
Di sisi lain, ada peluang yang dapat diambil oleh pebisnis lokal jika dapat melihat ini sebagai kesempatan untuk berkolaborasi. Peluang kerja sama dengan investor China dapat meningkatkan permodalan dan memperluas jangkauan bisnis. Misalnya, sektor logistik dan layanan lokal bisa menjadi area kerja sama yang menguntungkan, mengingat banyak investor China membutuhkan tenaga lokal untuk mengatasi tantangan bahasa dan budaya di Indonesia.
Anthony menyarankan bahwa ada dua pilihan bagi bisnis lokal dalam menghadapi dominasi China: bertahan atau berkolaborasi. Bagi yang memiliki modal cukup, mempertahankan nilai jual unik (unique selling proposition) dan memperkuat rantai pasokan serta keuangan bisa menjadi strategi agar tetap kompetitif. Sementara itu, bagi yang ingin lebih fleksibel, kolaborasi bisa menjadi pilihan bijak. Bekerja sama dengan investor China bisa membuka akses ke modal dan pasar yang lebih luas, sekaligus menjadikan bisnis lokal sebagai bagian dari ekosistem bisnis yang lebih besar.
Dalam jangka pendek, produk-produk dari China mungkin menawarkan harga lebih murah dan pilihan yang lebih beragam. Namun, untuk jangka panjang, dominasi ini bisa mempersulit bisnis lokal dan berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi, terutama jika pasar dikuasai oleh pemain asing. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat dari pemerintah agar bisnis lokal tetap berkembang tanpa harus terpinggirkan oleh persaingan dengan modal asing.
Fenomena meningkatnya kehadiran bisnis China di Indonesia menjadi topik yang kompleks dan layak untuk diperhatikan. Ada potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan peluang kerja sama yang menguntungkan, namun juga ada risiko bagi bisnis lokal dan kedaulatan ekonomi Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, pelaku usaha lokal diharapkan bisa adaptif dan inovatif, sementara pemerintah perlu memastikan regulasi yang mendukung perkembangan bisnis lokal serta menjaga kepentingan nasional.
Dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, Indonesia perlu bersiap menghadapi persaingan yang semakin ketat. Hanya dengan kerja sama, inovasi, dan regulasi yang tepat, ekonomi Indonesia dapat berkembang dengan berkelanjutan dan merata bagi semua lapisan masyarakat.(c@kra)