INVEST: PLN Harusnya Jadi Infrastruktur, Bukan Lahan Bisnis Para Oknum

  • Bagikan
INVEST: PLN Harusnya Jadi Infrastruktur, Bukan Lahan Bisnis Para Oknum
INVEST: PLN Harusnya Jadi Infrastruktur, Bukan Lahan Bisnis Para Oknum

MoneyTalk, Jakarta – Koordinator Investigasi Energi dan Sumber Daya Alam Terpadu (INVEST), Ahmad Daryoko, menyampaikan pernyataan tertulis, diterima MoneyTalk, Minggu (3/11). Dalam pernyataan tersebut Daryoko mendukung sikap Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya pemberantasan korupsi, khususnya dalam pengelolaan sektor ketenagalistrikan, dalam pidato Deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) yang disampaikan pada Sabtu, 2 November 2024 di Gelora Bung Karno (GBK).

Prabowo dalam pidatonya menyoroti pentingnya nilai-nilai anti-korupsi dalam menjalankan pemerintahannya. Pesannya untuk menindak praktik-praktik korupsi ini disambut baik oleh Ahmad Daryoko yang mencatat permasalahan korupsi di sektor ketenagalistrikan terkait erat dengan perubahan status ketenagalistrikan dari infrastruktur publik menjadi komoditas komersial.

Daryoko menyampaikan, pengalihan status ketenagalistrikan dari fungsi infrastruktur publik menjadi komoditas komersial dimulai dengan perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 menjadi UU No. 20 Tahun 2002. Perubahan ini menurutnya menyebabkan munculnya konflik kepentingan di mana banyak pihak, termasuk pejabat negara, ikut bermain dalam bisnis kelistrikan dengan memanfaatkan PLN sebagai objek usaha. Ia menyatakan, adanya pejabat hingga pada level tinggi seperti wakil presiden yang terlibat dalam bisnis kelistrikan, menunjukkan adanya kerusakan di sektor ini.

Daryoko menjelaskan, PLN yang seharusnya menjadi infrastruktur untuk mendukung industrialisasi nasional, kini menjadi lahan bisnis bagi para oknum yang bekerja sama dengan pihak asing dan taipan lokal. Akibatnya, biaya operasional kelistrikan meningkat karena dijalankan dengan sistem Multi Buyer and Multi Seller (MBMS) yang dicanangkan dalam UU terbaru. Bahkan, peran Pusat Pengatur dan Penyalur Beban (P3B) PLN, yang semestinya menjadi tulang punggung distribusi listrik, kini dianggap sudah dipecah-pecah oleh sistem ini.

Daryoko juga menguraikan bagaimana permasalahan dalam sektor ketenagalistrikan ini dimulai sejak Indonesia menandatangani Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada 31 Oktober 1997 di bawah Presiden Soeharto. LOI ini disusul dengan lahirnya Power Sector Restructuring Program (PSRP), program restrukturisasi yang mempersiapkan penjualan PLN Jawa-Bali ke investor asing dan menyerahkan pengelolaan PLN luar Jawa-Bali ke pemerintah daerah. Program ini kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertambangan dan Energi menjadi kebijakan restrukturisasi yang dikenal sebagai White Paper, yang kelak menjadi dasar penerbitan UU No. 20 Tahun 2002.

Pada 15 Desember 2004, UU No. 20 Tahun 2002 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena pasal-pasal unbundling-nya dinilai menciptakan mekanisme liberal yang melanggar Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Namun, setelah pembatalan itu, muncul kembali UU No. 30 Tahun 2009 yang memiliki semangat dan dasar akademik serupa.

Ketika Prabowo mulai memasuki panggung politik pada 2008, ia menginspirasi Serikat Pekerja PLN (SP PLN) untuk menolak liberalisasi yang tercantum dalam UU No. 30 Tahun 2009. Dalam semangat “Anti Leizesfire,” yang berarti anti-liberalisasi, SP PLN mengajukan kembali Judicial Review untuk UU ini, dan akhirnya MK melalui Putusan No. 111/PUU-XIII/2013 membatalkan UU tersebut.

Meski begitu, UU ini hingga kini masih menjadi dasar pengelolaan PLN. Kondisi ini, menurut Daryoko, bertentangan dengan Konstitusi dan berpotensi membuka celah bagi korupsi di PLN, karena memungkinkan pihak-pihak tertentu memanfaatkan UU yang sudah dibatalkan MK tersebut sebagai kedok.

Dalam pernyataan penutupnya, Ahmad Daryoko menyerukan dukungan kepada pemerintah Prabowo untuk menindaklanjuti pembatalan UU No. 30 Tahun 2009 dalam pengelolaan PLN. Ia menyatakan bahwa sektor ketenagalistrikan harus dikembalikan sebagai infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat, bukan komoditas yang menjadi ajang bisnis para pemodal besar. Hal ini diharapkan mampu mengembalikan integritas sektor ini dan mencegah potensi korupsi yang berakar dari sistem liberalisasi.

Daryoko menegaskan, penting bagi pemerintah Prabowo untuk menghapus kebijakan-kebijakan yang membuka ruang liberalisasi di sektor ketenagalistrikan. Dengan demikian, ia berharap bahwa PLN dapat kembali dikelola dengan integritas, menghindari praktik unbundling yang membuka pintu liberalisasi, serta menjamin bahwa sektor ketenagalistrikan Indonesia benar-benar melayani kepentingan nasional sesuai dengan amanat UUD 1945.

Dukungan kepada Presiden Prabowo ini menggarisbawahi adanya keinginan kuat dari sejumlah pihak agar Indonesia memiliki sektor ketenagalistrikan yang bebas dari kepentingan komersial semata. Sebagaimana yang disampaikan Daryoko, publik diharapkan untuk mendukung langkah-langkah pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. (c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *