MoneyTalk, Jakarta – Pada 1 November lalu, dalam kanal YouTube Komisidotco, Edi Soeparno, Wakil Ketua MPR RI, dan Nurhidayat, seorang peneliti dari Indonesia Parliamentary Center (IPC), membahas perubahan kabinet dan langkah transisi energi yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam kesempatan ini, Edi menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan Prabowo yang ingin memperkuat fokus masing-masing kementerian, serta komitmen untuk mengurangi ketergemukan birokrasi. Selain itu, Nurhidayat juga mengupas tantangan serta langkah strategis dalam mengatasi isu transisi energi dan harapan besar publik terhadap program pemerintahan baru ini.
Edi Soeparno menjelaskan, salah satu prioritas Prabowo dalam kabinetnya adalah memastikan tiap kementerian memiliki fokus yang spesifik. Dengan pemisahan lebih detail, setiap kementerian diharapkan tidak memiliki beban berlebih yang dapat mengurangi efektivitas kerja. Langkah ini juga termasuk penambahan kementerian baru yang dapat menangani isu spesifik seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek, serta Kementerian Kebudayaan.
Edi Soeparno juga menyoroti belum adanya undang-undang (UU) komprehensif yang mengatur energi terbarukan, meski sudah ada UU Panas Bumi yang berlaku. Menurutnya, jika UU Energi Baru Terbarukan (EBT) segera disahkan. Ini bisa menjadi quick win pemerintahan baru dan simbol nyata dari komitmen terhadap masa depan energi berkelanjutan. Dia juga menyebutkan bahwa pemerintah berencana mempercepat proses pengesahan undang-undang ini.
Salah satu janji Prabowo dalam program unggulan Astaacita adalah mencapai swasembada energi, pangan, dan air, termasuk percepatan transisi energi. Saat ini, Indonesia masih bergantung pada energi fosil dan impor energi, seperti BBM dan LPG. Menurut Edi, Prabowo berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan impor tersebut, namun terlebih dahulu membutuhkan ketahanan energi sebelum mencapai tahap swasembada.
Nurhidayat dari IPC menguraikan lebih lanjut bahwa transisi energi di Indonesia tidaklah sederhana. Beberapa faktor utama yang menyebabkan transisi energi berjalan lambat adalah dominasi energi fosil, seperti batu bara, yang saat ini menjadi sumber utama energi listrik di Indonesia. Tantangan kedua adalah tingginya biaya teknologi energi terbarukan, sehingga harga jualnya pun dianggap mahal. Meski demikian, Nurhidayat optimis bahwa dengan perencanaan yang matang, Indonesia bisa mulai mengimbangi penggunaan energi fosil dengan energi terbarukan.
Nurhidayat mengkritisi konsep biaya “murah” dari energi berbasis batubara. Menurutnya, biaya ini tidak mencerminkan “real cost” atau biaya sebenarnya karena tidak memperhitungkan dampak kesehatan yang diderita masyarakat di sekitar PLTU akibat emisi yang dihasilkan. Mengutip data dari World Bank, Nurhidayat menjelaskan, jika biaya kesehatan dari polusi udara yang dihasilkan PLTU dimasukkan, maka biaya batubara akan mendekati biaya energi terbarukan, membuat perbandingan harga kedua jenis energi tersebut menjadi lebih seimbang.
Nurhidayat dan Edi juga mengakui adanya tantangan besar dari sisi kebijakan dan teknologi. Ketergantungan pada batubara terjadi tidak hanya karena harganya yang lebih murah, tetapi juga karena infrastruktur pembangkit listrik yang sudah tersedia dan kontrak-kontrak lama dengan biaya mahal.
Edi menjelaskan, jika pemerintah ingin mengganti PLTU berbasis batubara dengan yang lebih ramah lingkungan, maka biaya kompensasi sangat tinggi, mencapai sekitar Rp25 triliun untuk dua PLTU di Jawa Barat. Karena itu, Edi menyarankan agar transisi dilakukan dengan pendekatan campuran, misalnya melalui carbon capture atau penggunaan batu bara yang dicampur dengan gas untuk mengurangi emisi karbon.
Dengan segala tantangan yang ada, Edi dan Nurhidayat sepakat bahwa publik sangat berharap akan adanya terobosan cepat, atau quick wins, dari kabinet Prabowo-Gibran. Edi menyampaikan optimismenya bahwa undang-undang yang mengatur perubahan struktur kementerian akan disahkan sebelum akhir tahun. Ia yakin bahwa kabinet ini mampu mencapai target-target yang ditetapkan dan membuktikan pada masyarakat bahwa janji kampanye dapat direalisasikan.
Prabowo diharapkan terus mengoptimalkan kolaborasi antara kementerian demi mewujudkan percepatan transisi energi yang sudah sangat dinantikan. Bagi Prabowo, langkah ini merupakan tantangan untuk menghasilkan perubahan nyata yang berdampak langsung pada masyarakat. Di sisi lain, IPC tetap berperan dalam memantau perkembangan kebijakan dan memastikan transparansi serta partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga harapan terhadap keberhasilan program transisi energi bisa diwujudkan dengan baik.
Dengan pembenahan struktur kementerian yang lebih fokus dan rancangan transisi energi yang matang, pemerintahan Prabowo-Gibran diharapkan mampu menghadirkan perubahan yang nyata bagi masyarakat. Kolaborasi antar sektor energi dan lingkungan menjadi kunci untuk menghadapi tantangan transisi energi dan perubahan iklim. Meski tantangan masih banyak, baik Edi maupun Nurhidayat tetap optimis bahwa dengan adanya komitmen kuat, pemerintahan Prabowo bisa mencapai hasil yang signifikan dalam waktu dekat.(c@kra)