MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah acara di kanal YouTube Keep Talking pada Sabtu (02/11), Eep Saefulloh Fatah memberikan analisis menarik tentang pernyataan Presiden Prabowo Subianto setelah pelantikannya. Eep menekankan bahwa Prabowo ingin menampilkan diri sebagai presiden yang pro rakyat. Namun, tantangan terbesarnya adalah membuktikan retorika tersebut dengan tindakan nyata. Mari kita jabarkan lebih dalam mengenai tema ini, mengeksplorasi elemen-elemen populisme Prabowo serta tantangan yang dihadapi dalam mewujudkannya.
Setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, Prabowo segera menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang pro rakyat. Dalam pidato pertamanya di sidang umum MPR dan dalam rapat paripurna kabinet, Prabowo mencatat sejumlah tantangan yang dihadapi rakyat dan menekankan perlunya pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan mereka. Jargon-jargon populis ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya akan fokus pada masalah-masalah yang nyata dan mendesak bagi masyarakat.
Eep mencatat salah satu poin utama dalam retorika Prabowo adalah sikap anti-korupsi yang tegas. Dalam banyak kesempatan, Prabowo menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi, mengedepankan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Pernyataan ini sangat penting mengingat korupsi telah menjadi masalah sistemik di Indonesia yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Prabowo juga menekankan pentingnya persatuan. Dengan menggambarkan kabinetnya sebagai “kabinet merah putih” yang besar, ia menunjukkan keinginannya untuk mengakomodasi berbagai kelompok dan golongan dalam pemerintahan. Strategi ini adalah upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan sosial di tengah masyarakat yang pluralis. Eep berpendapat bahwa pendekatan ini tidak hanya retoris tetapi juga strategis, mengingat kondisi sosial-politik Indonesia yang sering terfragmentasi.
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah seberapa jauh retorika ini akan terwujud dalam tindakan. Jika jarak antara ucapan dan realitas semakin lebar, maka masyarakat berhak mempertanyakan komitmen Prabowo terhadap nilai-nilai populis yang ia usung.
Dalam konteks ini, Eep memperingatkan bahwa kebijakan populis tidak selalu sejalan dengan kebijakan teknokratis. Kebijakan yang terlihat populis—seperti program makan siang gratis—harus dipertimbangkan secara matang dari segi anggaran. Sementara itu, kebijakan yang secara teknis diperlukan untuk menjaga keseimbangan anggaran, seperti kenaikan harga BBM, sering kali tidak populis dan dapat menambah kesulitan bagi rakyat.
Prabowo, sebagai presiden, harus menavigasi tantangan ini dengan hati-hati. Ia perlu menggabungkan pendekatan populisnya dengan keputusan yang realistis dan berbasis data. Jika tidak, ia berisiko menciptakan ketidakpuasan di kalangan publik ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak memenuhi harapan.
Eep menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam proses demokrasi. Masyarakat harus aktif mencatat, menimbang, dan mengingat janji-janji yang diucapkan oleh Prabowo, serta mengaitkannya dengan tindakan nyata yang diambil oleh pemerintah. Jika retorika dan kenyataan semakin menyatu, maka publik dapat memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah positif yang diambil. Namun, jika sebaliknya terjadi, masyarakat memiliki alasan yang kuat untuk mengawasi dan melawan.
Populisme ala Prabowo, dalam pandangan Eep, bukan sekadar permainan kata. Ini adalah panggilan untuk memastikan bahwa pemerintahan yang dibangun benar-benar pro rakyat, bukan hanya sekadar retorika yang menggugah semangat tetapi tidak berujung pada aksi nyata. Dalam konteks ini, peran serta masyarakat menjadi krusial untuk mewujudkan harapan dan menjadikan Indonesia lebih baik dalam lima tahun ke depan.(c@kra)