Ratu Adil, Ramalan Djoyoboyo dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik

  • Bagikan
Ratu Adil, Ramalan Djoyoboyo dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik
Ratu Adil, Ramalan Djoyoboyo dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik

MoneyTalk, Jakarta – Di tahun 1983 Sindunata menerbitkan karya sastra berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. Kalahnya moralitas manusia melawan godaan hawa nafsu menjadi akar segala malapetaka.

Mengadaptasi cerita legendaris Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin berhasil membawakan nilai-nilai kemanusiaan dengan epic.

Beberapa hari ini saya masih di Jogyakarta dan biasa selalu mencari buku yang membuatku berbunga-bunga rasa dahaga hilang di Gramedia aku menemukan karyasastra Sindunàta yang berjudul “Buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik”.

Buku ini mengklaim, Romo Sindhu sendiri mengatakan bahwa di buku ini wong cilik bukan dilihat dari agama, tapi kebudayaan. Pandangan kebudayaan dapat menggerakkan pola pikir dan api semangat dari wong cilik dengan caranya sendiri.

Cover buku ayam jago. Ayam jago sendiri merupakan simbol yang kuat terutama dalam kancah perpolitikan.

Di dalam politik, wong cilik tidak memiliki ruang berekspresi sehingga hanya bisa melakukan perlawanan secara simbolisme. Salah satu gerakan protes melawan kolonialisme yang begitu besar adalah lewat sabung ayam jago. Di mana di sana rakyat kecil berkumpul dan merasakan perasaan ‘desir-desir’ kalah dan menang seperti dalam medan perang.

Sindhunata mengatakan bahwa pemilihan kata ‘pemberontakan’ merupakan varian-varian dari protes dan ‘pemberontakan’ memiliki daya dobrak dari perlawanan. Rakyat kecil tidak sekedar melawan, tetapi mereka berani berkorban walaupun kalah untuk menunjukkan bahwa harapan sangat berharga.

Ekspresi rakyat yang digambarkan Sindunata dalam karya sastra nya rakyat Surabaya dengan Bonek nya (Bondo Nekat) berani melawan Inggris dengan tank dan pesawat tempur nya

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.

Bentrokan-bentrokan tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Pimpinan Tentara Inggris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945.

Kematian Jendral Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby yaitu Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 November 1945 yang meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA serta ancaman akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara apabila orang orang Indonesia tidak mentaati perintah Inggris.

Mereka juga mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa semua pimpinan bangsa Indonesia dan para pemuda di Surabaya harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi pada tempat yang telah ditentukan.

Namun ultimatum itu tidak ditaati oleh rakyat Surabaya, sehingga terjadilah pertempuran Surabaya yang sangat dahsyat pada tanggal 10 November 1945, selama lebih kurang tiga minggu lamanya.

Medan perang Surabaya kemudian mendapat julukan “neraka” karena kerugian yang disebabkan tidaklah sedikit.

Pertempuran tersebut telah mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil.

Selain itu diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1600 orang prajurit Inggris tewas, hilang dan luka-luka serta puluhan alat perang rusak dan hancur.

Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itu serta semangat membara tak kenal menyerah yang ditunjukkan rakyat Surabaya, membuat Inggris serasa terpanggang di neraka dan membuat kota Surabaya kemudian dikenang sebagai kota pahlawan

Jika kita kaitkan dengan rakyat Surabaya menghadapi Inggris rakyat mempunyai jiwa heroik berani berkorban jiwaraga nya.
Perlawanan rakyat yang ingin datang nya Ratu Adil adalah cara rakyat mengekspresikan kitadak puasanya nya terhadap ketidak adilan .

Penulis: Prihandoyo Kuswanto, Pojok Angkringan Stasiun Tugu.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *