MoneyTalk, Jakarta – Persoalan mendasar dalam negara modern, terutama yang berlabel demokrasi seperti Indonesia, bukan hanya sekadar tantangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi menyentuh inti kesejahteraan rakyat, yang semakin tampak mustahil tercapai. Di tengah berbagai janji dan gagasan besar yang selalu digaungkan dalam tiap pergantian rezim, kemiskinan tetap menjadi momok yang tak kunjung terselesaikan. Janji negara untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera seolah hanyalah ilusi yang diulang-ulang setiap kali pesta demokrasi digelar. Alih-alih merasakan peningkatan taraf hidup yang nyata, rakyat justru masih bergelut dengan kesulitan ekonomi dari tahun ke tahun.
Ironisnya, setiap kebijakan negara yang diklaim bertujuan untuk memperbaiki kehidupan rakyat selalu dibuat oleh para pakar yang dianggap memiliki kapasitas terbaik. Namun, hasilnya sering kali jauh dari harapan, bahkan dalam beberapa kasus justru memperparah masalah. Kebijakan-kebijakan yang berbasis pada teori dan analisis ekonomi modern kerap kali gagal memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat secara umum. Di balik angka pertumbuhan ekonomi yang diceritakan meningkat, kenyataan di lapangan justru menunjukkan kesenjangan yang makin melebar antara si kaya dan si miskin. Tampak bahwa ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kehidupan, di tangan penguasa justru menjadi tameng untuk melanggengkan ketimpangan.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa seluruh kekayaan alam Indonesia sejatinya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun, realitas berkata lain. Alih-alih dikelola dengan transparan dan adil, sumber daya alam kita justru menjadi ladang emas bagi segelintir elit dan investor asing. Dalam banyak kasus, rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama malah berada di baris belakang, hanya kebagian dampak lingkungan yang rusak dan kehilangan ruang hidup. Penjagaan atas kedaulatan sumber daya yang seharusnya menjadi kunci kemakmuran justru dilupakan dalam kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah bersama korporasi besar.
Di sisi lain, partai politik yang awalnya dimaksudkan sebagai jembatan aspirasi rakyat kini tampak lebih seperti alat bagi para pemodal dan kaum elite untuk mengukuhkan kekuasaannya. Partai-partai ini sering kali tidak bertindak sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya. Di dalamnya, hanya segelintir kelompok yang memiliki pengaruh besar dan mendominasi keputusan-keputusan penting, sementara rakyat kebanyakan hanya menjadi massa yang dikendalikan dengan janji-janji saat pemilu. Dengan demikian, alih-alih membawa kemakmuran bagi rakyat, partai politik kini terlihat lebih sebagai kendaraan bagi para ‘hulubalang’ untuk menguasai orang banyak.
Pergantian pemimpin dengan segala janji perubahan yang dilontarkan dari waktu ke waktu juga tak membawa perubahan nyata bagi kehidupan rakyat. Walaupun wajah pemimpin berganti, wajah kebijakan dan sistem yang diterapkan tampak sama saja. Setiap pemilu hanya menjadi momentum rotasi kekuasaan di kalangan elite, sementara bagi rakyat, perbedaan pemimpin tidak serta-merta berarti perbedaan dalam kesejahteraan. Kepercayaan publik pun kian terkikis karena janji-janji manis yang berakhir sebatas slogan. Pada akhirnya, rakyat semakin sadar bahwa kesejahteraan mereka tidak dapat diharapkan dari perubahan di permukaan. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik yang mendalam, di mana seluruh kebijakan benar-benar berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pada keuntungan kelompok tertentu.
Di tengah realitas ini, rakyat perlu merumuskan ulang makna demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi bukan sekadar memilih pemimpin setiap lima tahun, tetapi sebuah komitmen untuk menegakkan keadilan sosial dan membangun sistem yang benar-benar pro-rakyat. Sejarah dan pengalaman yang sudah dilewati kiranya menjadi pelajaran berharga, bahwa kesejahteraan rakyat tidak akan bisa dicapai hanya dengan mengganti pemimpin, tetapi membutuhkan transformasi menyeluruh dalam struktur dan orientasi kebijakan negara.
Penulis: Kundrat Kanda Permana (Pengamat Sosial Kemasyarakatan)